Sebelum berangkat sekolah. Teras kembali menjadi pelampiasan sebuah lamunan. Tentang kamu, juga tentang puisi yang membuatku penasaran untuk siapa puisi itu.
"Apa kabar, Sam?" tanyaku menyambutmu di gerbang sekolah. Aku begitu riang, sebab niatku yang tidak mau berangkat bareng ke sekolah dengan Dirga terbalas dengan kebahagiaan bisa bertemu dan bersama menuju kelas denganmu.
"Tidak ada jawaban lain selain baik-baik saja," jawabanmu seperti biasanya. Kau sangat unik, Sam.
"Oh iya, Mut. Ada yang ingin aku berikan sama kamu," katamu. Ada sedikit senyum jahil yang kamu lemparkan kepadaku.
"Asik, apaan tuh Sam?" tentu aku sangat antusias mendengarnya.
"Puisi yang kemarin malam itu, Mut."
"Wah kamu menulisnya, Sam?"
"Iya Mut, nanti di kelas deh."
Aku semakin bingung. Apa sebenarnya maksud dari perkataanmu, Sam? Mungkin kah bahwa puisi yang kau bunyikan pada malam itu adalah persembahan untukku? Mungkinkah bahwa sebenarnya kau memiliki perasaan yang sama denganku? Aku hanya bisa berharap kemungkinan itu berubah menjadi sebuah kepastian.
"Baiklah tapi jangan pas ada Dirga yah, Sam." Aku menegaskan kepadamu bahwa tidak boleh ada orang yang bisa menganggu hal yang sangat kutunggu darimu.
"Kenapa Sam?"
Langkahmu terhenti. Kamu terdiam disaat aku menyebut nama Dirga yang tidak ingin menjadi penghalang.
"Oh iya aku lupa, Mut. Si Dirga itu masih sakit? Kok berangkatnya gak bareng sama kamu sih?"
Sam, mengapa kau harus mencemaskannya? Pentingkah kedekatanku dengan Dirga untukmu? Mengapa kau malah menginginkan aku selalu bersama Dirga? Aku kira, puisi yang tadi ingin kamu berikan kepadaku itu untuk membuatku tahu bahwa kamu menginginkanku tapi ternyata tidak seperti dugaanku. Kamu malah mengingatkan aku betapa tidak pantasnya aku untuk menjadi puisimu dan betapa harusnya aku menjaga hubunganku dengan Dirga.
"Lah emangnya pacar itu tukang ojek harus bareng segala? Hahaha, gak gitu juga kali, lagian aku sama dia tuh muter arah jalannya, Sam." Berusaha ingin terlihat baik-baik saja adalah kebohongan yang kujadikan sebagai jawaban untuk pertanyaan darimu Sam.
"Oh begitu," jawabmu begitu singkat. Seolah tak ada lagi yang perlu dibicarakan denganku. Seolah aku tidaklah asyik untuk menjadi teman bicaramu.
Di dalam kelas. Dirga memperlihatkan raut wajah kesalnya kepadaku setelah pelajaran matematika peminatan berakhir. Kenapa lagi orang itu? Untuk wajah kesalnya yang saat ini, aku tidak berharap bersikap sabar lagi untuknya.
"Kamu kok gak bilang mau berangkat duluan? Bukannya udah janji mau berangkat bareng?!" katanya. Hal sesederhana itu pun bisa menjadi masalah besar untuknya. Sebenarnya aku lelah dengan segala sikap mengaturnya itu, Sam. Hanya saja aku sudah terlanjur menjalaninya dan aku tidak bisa memutuskan hubungan bersamanya jika pada akhirnya dia akan membenciku. Aku rasa pertengkaran kala itu bukan alasan yang tepat karena waktu untuk pisah darinya pun belum tepat.
"Aku gak janji Dirga, kamunya aja yang mau. Aku kan bisa naik angkot?" jawabku. Lagi-lagi tidak bisa membiarkan sabarku memudar. Aku masih bersikap sebagaimana sikap mengalah sudah terlanjur menjadi kebiasaan diriku untuknya.