Teras rumah kembali menjadi awal dari setiap lamunan, dan entah kenapa lamunan itu bisa tercipta hanya karenamu saja. Aku terdiam. Menatap sebuah kekosongan. Hanya ada kejadian kemarin yang tertuang dalam ingatan. Bagaimana mungkin aku bisa baik-baik saja setelah bodohnya aku mengira bahwa kau akan menyatakan perasaan mencintaiku sebagaimana yang kuinginkan darimu, namun kau dengan polosnya hanya mengatakan ingin meminjam uang kepadaku yang kedengarannya sangat serius.
Caramu meminjam uang kepadaku, sangatlah menyebalkan karena telah membuatku merasa tertipu oleh orang yang sebenarnya tidak menipu. Uang lima belas ribu telah dipisahkan agar aku tidak lupa apalagi menganggunya. Saku menjadi saksi bisu uang yang ingin kau pinjam dariku akan kubiarkan untukmu saja. Bahkan jika perlu, aku akan secara sembunyi-sembunyi membayarkan kartu perpustakaan yang diwajibkan lunas hari itu. Namun ternyata kau sudah membayarnya tanpa sepengetahuanku.
Sam, sebelumnya aku pernah mengira bahwa puisi yang kamu pasang di mading itu adalah hanyalah untukku saja, meskipun kau tidak membiarkan selembar puisi itu menjadi milikku. Namun, aku pernah mendapati pemandangan yang entah harus membuat aku bahagia atau sedih. Kala itu, kau tersenyum bangga meski senyumanmu itu bersifat menjaga rahasia. Orang-orang sedang berkumpul di depan mading. Dan kamu ada di antara mereka. Membicarakan siapa sebenarnya penulis yang memiliki nama pena 'Catatan Sam' itu. Dan sebab kejadian itu lah aku sadar bahwa nama 'Sam' bukanlah hanya untukku saja. Tapi untuk tulisanmu yang ingin dinikmati oleh banyak orang.
Mengapa aku terlambat tau diri bahwa aku ini tidak berarti seperti puisi?
"Apa kabar Mut?" katamu, setelah sekian lama aku tidak pernah bertegur sapa lagi denganmu.
"Gak ada jawaban lain selain baik-baik saja, bukan?" jawabku. Sesekali menggunakan kalimat saktimu itu. Aku sengaja mengatakan kalimat yang selalu kamu katakan itu. Sebab aku sudah lama tidak mendengarnya.
"Gak ada jawaban lain selain jawaban andalan aku?"
Kamu terlihat seperti tidak setuju karena kalimat khas yang selalu kamu katakan sebagai jawaban itu telah dicuri olehku. Tapi di mana letak salahnya jika kamu tidak suka aku mengatakannya?
"Ya emang semua yang terjadi harus dianggap baik-baik saja bukan?" balasku. Aku menciptakan makna yang sebenarnya aku tidak tahu maksud dari kalimat khas ciptaanmu itu apa. Aku hanya mengartikan jawaban dari kalimat 'tidak ada jawaban lain selain baik-baik saja' itu dengan apa yang sedang terjadi pada diriku sendiri. Aku telah menganggap semua hal buruk yang terjadi kepadaku dengan cara harus menganggapnya baik-baik saja, baik itu tentang puisi yang tidak jadi milikku, atau tentang terlalu berharap ada hal serius di balik caramu meminjam uang, dan bahkan tentang kamu yang ternyata tidak jadi membiarkan aku meminjami uang kepadamu yang sebelumnya ingin aku berikan saja. Kau berbuat kesalahan berkali-kali kepadaku yang kini tidak bisa membuatmu sadar dan peduli.
"Benar kamu Mut, sebab ketika kita selalu merasa baik dalam kondisi apapun, kata baik-baik saja itu akan menjadi pelatih hingga lama-lama bikin kita lupa seperti apa rasanya terpuruk."
"Jadi itu alasannya kenapa kamu suka bilang baik-baik saja?"
"Tentu. Memangnya kenapa?"
"Aku kira kamu tak pandai berpura-pura."
Sam. Aku kira kabarmu memang selalu baik-baik saja. Tapi ternyata kalimat baik-baik saja itu hanyalah tempat untukmu bersembunyi di balik keadaan yang tidak baik-baik saja. Tapi keadaan yang seperti apa, Sam? Jika memang kau pernah terpuruk oleh keadaan, mengapa kau tidak membiarkan aku menjadi sebaik-baiknya pendengar ceritamu? Bahkan jika perlu. Aku rela mengakhiri hubunganku dengan Dirga jika dia menghalangi setiap cerita hidupmu yang aku tidak tahu seperti apa.
Tiba di kelas. Guru yang tidak masuk membuatku malas. Tugas yang diberikannya hanya membuat tanganku lemas mengerjakannya. Aku melihatmu sedang asyik duduk santai bersama Deni menikmati kemalasan mengerjakan tugas. Aku tidak berhak memaksa kalian harus mengerjakan tugas seperti yang aku lakukan kepada Dirga. Dan entah kenapa Dirga saat itu menuruti perintahku.
Setelah mengerjakan tugas. Dan setelah aku memastikan bahwa Dirga pergi hendak keluar dari kelas. Aku menghampirimu juga Deni yang terlihat sedang berbicara sangat asyik. Aku tidak bermaksud mengusik. Apalagi datang hanya untuk berisik. Aku menemuimu juga Deni hanya untuk bisa melihatmu dari dekat dan ikut berbincang dengan hangat.