Sam, semenjak kamu menjadi seorang aktivis dan secara sembunyi-sembunyi sibuk menjadi seorang penulis. Aku semakin susah memiliki celah untuk bisa mendekatimu. Aku ingin berada di dekatmu, berbicara dan bercanda seperti dulu di awal ketika kita baru bertemu. Aku tidak pernah menyangka akan menjadi orang asing untuk orang yang tidak ingin kuanggap asing. Seandainya saja kau tau, Sam. Kau selalu menjadi lamunan di setiap kesepian malamku. Bahkan kau selalu menjadi topik pertengkaran antara aku dan ibuku.
"Kenapa kamu selalu memikirkan laki-laki itu?"
"Itu hak aku Bu. Aku gak akan pernah berhenti bilang sama ibu kalau Syakir itu orang baik."
"Kamu tahu apa soal hak? Dan kamu tahu apa soal kebaikan yang dimiliki oleh lelaki khayalan kamu itu?"
"Khayalan gimana maksud ibu?"
"Ibu tidak akan pernah membiarkan kamu memiliki hubungan dengan laki-laki biasa seperti dia. Jangan pernah berkhayal, masa depanmu masih panjang, Nak!"
"Justru, jika ibu hanya menginginkan aku untuk Budi saja, dengan alasan kehidupan yang terjamin juga nama baik keluarga yang akan terjaga. Secara tidak langsung, ibu memendekkan masa depanku yang masih panjang!"
"Jadi sekarang kamu berani mengatur ibu?"
"Aku tidak mengatur ibu. Aku hanya ingin ibu membiarkan aku mengatur diriku sendiri. Biarkan anakmu ini tumbuh dewasa, Bu!"
Sam, keributan itu selalu menjadi asupan sehari-hariku. Aku sudah biasa dengan kebisingan yang selalu menjadi temu dari setiap rinduku kepada orang tuaku yang selalu sibuk. Dan kebisingan di rumah itu selalu terjadi karena kecemasan mereka yang terlalu mencemaskanku yang tidak sama sekali dicemaskan olehmu. Tak mengapa. Aku tidak menuntut timbal balik darimu. Tapi mengapa, kau tidak pernah mengobatinya? Aku hanya ingin sebuah pertemuan denganmu. Agar setiap kali aku merasa lelah atas semua pembelaanku terhadapmu yang selalu membuat ibuku tidak mengerti, bisa terobati jika adanya hadirmu di sisi. Aku tidak minta hal yang lebih darimu, terlebih sudah jelas aku tahu di balik kesibukanmu, bahwa yang kamu cintai hanyalah dirimu sendiri.
Sam, sudah lama sekali aku tidak menikmati nyamannya berbicara denganmu, namun puisi-puisi karyamu di mading sekolah lah yang selalu membuat aku merasa seperti sedang bersamamu. Tulisan-tulisan indahmu itu selalu menjadi obat dari setiap inginku yang tak pernah bisa menjadi anganmu. Meski sesekali aku selalu dibuat cemburu oleh mereka yang semakin bertanya-tanya dan mengagumi sosok misterius yang bersembunyi di balik nama pena Catatan Sam itu.
Sam, aku sudah bosan pada kebohongan aku sendiri. Aku selalu berusaha terlihat mesra dengan Dirga di hadapanmu, hanya untuk meyakinkan diriku bahwa aku tak pantas untukmu dan seharusnya meyakinkan bahwa Dirga lah yang harus aku cintai. Tapi tetap saja. Kepura-puraan itu hanya menyakiti diriku sendiri yang terlalu menahan diri.
Sam, aku akui, sikap acuhmu kala itu sudah hilang. Sesekali kau selalu menyempatkan untukku saling bertukar senyuman meski tanganku berada digenggaman tangan yang bukan kamu orangnya.
Kamu terlalu sibuk, Sam. Mengapa? Kamu lebih banyak menghabiskan waktu di luar kelas ketimbang di kelasmu sendiri. Organisasi telah menutupi setiap celah untukku mencari tahu semua tentangmu. Bahkan ketika tidak ada acara organisasi yang selalu melibatkanmu pun kamu masih saja menyibukkan dirimu sendiri dengan cara menemui adik-adik kelasmu yang menjadi bagian dari organisasi. Aku akui sikap tidak senioritasmu itu patut dihargai. Tapi mengapa diriku tak pernah kau hargai?
"Apa kabar orang sibuk?" ucapku. Sudah lama sekali tidak bertanya kepadamu.
"Tidak ada jawaban lain selain baik-baik saja. Kamu sendiri?" balasmu masih sama seperti dulu.
"Aku juga gak mau bilang kalau kabarku hari ini buruk, aku merasa baik, sama sepertimu, Sam. Tapi aku bosan."