Sam & Mut

Muhammad Rifal Asyakir
Chapter #33

Surat Ketujuh: Memutuskan Hubungan

Sam, aku masih tak menyangka bahwa sosok kamu yang selalu bersembunyi di balik nama pena Catatan Sam itu telah kubuka di depan umum dengan cara yang membuat orang lain bahkan aku pun tak menduga akan seberani itu melakukannya, tepat di depan orang yang aku cintai. Memang, puisi itu adalah puisi milikmu, tapi tidakkah kau seharusnya tahu apa maksudku, Sam? Bahkan, untuk membuat dirimu semakin tahu apa maksud sesungguhnya aku yang sungguh mencintaimu, pada akhirnya, aku membiarkan diriku memohon kepadamu untuk jangan pernah berusaha menjadi orang yang jauh dariku. Dan betapa bodohnya aku merasa bahwa kalimat itu cukup untuk membuat dirimu tahu bahwa aku tidak bisa hidup tanpamu, seolah kalimat itu cukup untuk menyentuh hati kerasmu yang tidak bisa mencintaiku sebagaimana aku mencintaimu.

Teras rumah menjadi tempat untukku menyendiri. Ibuku sedang tidak ada di rumah, apalagi bapakku yang super sibuk orangnya. Segelas teh hangat menemani aku yang sedang cemburu kepada awan yang begitu tenang melaju pada suatu sore di hari Minggu. Aku ingin menjadi awan yang tenang itu, dan kau menjadi langitnya yang selalu bersamaku.

"Kenapa kamu selalu diam di tempat itu, Nak?" tanya ibuku.

Rasanya, diam di teras rumahku itu lebih nyaman, daripada harus diam di dalam rumah yang hanya ada kesepian.

"Ibu gak jadi pergi?" balasku.

"Ada yang harus ibu tanyakan sama kamu."

Awan yang melaju sangat tenang itu berhenti seketika. Suasana nyaman di teras pun hilang. Aku sudah tahu apa yang akan dibicarakan oleh ibuku. Tidak ada hal yang lebih penting baginya selain masa depanku yang ada di tangannya. Tapi aku tidak akan menjadi putrinya yang akan mengeluarkan kalimat 'terserah' kepadanya.

"Kenapa kamu gak bilang kalau Dirga itu pacar kamu? Bukan teman biasa yang dekat denganmu?"

"Ibu tahu darimana? Dirga cuman teman aku kok."

"Tahu dari Budi."

Aku gak habis pikir. Mengapa Budi mengatakan rahasiaku yang sebenarnya rahasia dia juga? Bukankah di antara aku dengannya sudah saling berjanji untuk saling menjaga rahasia dengan pilihan hatinya masing-masing? Mengapa Budi dengan bodohnya semakin memperjelas kalau dirinya bukanlah orang yang paling dekat denganku sebagaimana keinginan ibuki? Jelas ibuku akan kecewa kepadaku karena pikirannya hanya diisi oleh nama baik keluargaku harus dijaga dan terjamin jika masa depanku adalah untuk Budi. Terus terang saja aku pun mengakui bahwa Budi adalah satu-satunya orang yang bisa melanjutkan bisnis peninggalan antara keluargaku dan keluarganya. Aku sendiri pun kagum akan kecerdasan dan kehebatannya itu.

"Kenapa kamu diam saja, Aruni? Kamu gak bisa mengelak lagi kan sekarang?"

Ibuku sudah terlanjur tahu bahwa Dirga adalah pacarku. Dan kalimat apapun yang akan aku katakan sebagai pembelaan, aku sudah tahu apa yang akan menjadi jawaban ibuku. Yaitu mengakhiri hubunganku dengan Dirga. Tak mengapa, itu tidak akan memberangkatkan ku. Sebab semenjak memohon padamu untuk jangan menjauh dari hidupku adalah bukti bahwa aku pun sudah ingin mengakhiri hubunganku dengan Dirga. Dan hanya kepadamu lah aku mengharapkan adanya sebuah hubungan kedekatan dua insan yang diisi oleh kisah cinta 'Sam dan Mut'. Betapa berharapnya aku kepadamu, Sam.

"Jawab Aruni!" Ibuku membentak, begitu keras. Aku tidak marah. Kekecewaannya itu pantas membentak anaknya yang tidak menjawab ketika ditanya oleh ibunya sendiri.

"Iya Bu, aku memang pacarnya Dirga. Dan apa mau ibu sekarang?"

"Putuskan hubunganmu dengan si Dirga itu! Dan jadilah orang yang selalu berada di dekat Budi!"

"Bu, aku bisa menuruti pinta ibu. Aku tidak keberatan jika harus putus dengan Dirga. Tapi, aku keberatan jika harus terus bergantung sama Budi. Biarkan saja Budi mengikuti apa kata hatinya, kalau ibu mau mengekangku, tak mengapa, karena aku putri ibu, tapi jangan kepada Budi. Dia orang baik. Jangan memaksakan aku untuk menjadi kekasihnya."

"Ini demi masa depanmu, Aruni."

"Bukankah ibu sendiri yang selalu bilang kalau masa depanku masih panjang?"

Diam menjadi jawaban ibuku. Entah karena ia menelan kalimatnya sendiri. Atau karena aku yang tak sengaja menjatuhkan air mata.

"Kenapa kamu menangis Aruni?" ucapan ibuku melemah. Dan entah kenapa tangisanku pun tak bisa kutahan.

"Maaf, jika selama ini aku selalu membebani ibu. Aku bukan anak yang gak mau nurut sama ibunya. Tapi aku juga capek Bu, aku lelah dengan semua peraturan keluarga ini, aku ingin kebebasan, Bu. Aku ingin tenang, seperti perempuan pada umumnya. Kalau ibu sendiri mengharapkan Budi menjadi masa depanku. Lantas kenapa ibu tidak membiarkan saja aku menghiasi masa laluku ini?"

"Nak, ibu gak bermaksud menyakitimu."

"Aku gak sakit Bu, lihat?! Tubuhku sehat-sehat saja, Bu. Tapi, hati ini lah yang teramat sakit."

Ibu tidak mengeluarkan kalimat apapun lagi. Ia segera memelukku dan meminta maaf kepadaku. Perdebatan itu berakhir meskipun penderitaanku belum berakhir.

Malamnya, Budi datang ke rumahku. Aku yang sedang mengurung diriku sendiri di dalam kamar. Rasanya ingin sekali keluar lalu menanyakan apa maksudnya Budi yang telah membiarkan rahasiaku dengannya terbongkar begitu saja. Bukankah selama ini Budi yang justru menginginkan aku untuk berpura-pura selalu dekat bersamanya? Menjadi perempuan yang selalu ada di sisinya? Menjadi orang terpenting dalam hidupnya? Bukankah Budi pun sama denganku yang menganggap bahwa ikatan cinta yang sudah ditentukan adalah beban?

"Aruni? Keluar dulu sebentar, Ada Budi tuh!"

Setibanya Budi di rumahku. Aku tidak merasakan adanya percakapan panjang antara ibuku dengan Budi. Mungkin ibuku pun kecewa karena selama ini Budi membohonginya yang bilang selalu dekat denganku.

Budi mengajakku keluar. Sekedar jalan-jalan, dan setelah itu menikmati cemilan di suatu tongkrongan yang memang kalau bukan malam Minggu maka tongkrongan itu sepi.

"Bud, ada yang aku tanyakan sama kamu."

"Gak usah bertanya Runi, aku sendiri yang akan menjelaskannya. Habiskan saja dulu cemilan itu."

Beberapa menit lenggang. Budi berhasil menciptakan suasana yang tenang. Aku jadi teringat ketika dia yang pernah memintamu untuk pergi bersamanya menyelesaikan antara masalah kamu dengan Deni yang melibatkan Kay sebagai pemicunya. Aku merasa apakah Budi melakukan hal yang serupa dengan malam itu? Terlebih tidak ada jejak keributan antara kau dengan Budi. Yang ada, justru setelah itu Budi dan Deni kembali akrab denganmu dan justru mengikuti sikap acuhmu kepadaku. Aku masih penasaran tentang kejadian itu, tapi bukan malam itu juga aku harus menanyakannya. Itu bukan waktu yang tepat. Sebab masalahnya berbeda lagi. Dan tidak ada sangkut pautnya dengan kamu, maupun Deni, apalagi Kay.

Lihat selengkapnya