Sam & Mut

Muhammad Rifal Asyakir
Chapter #35

Surat Kesembilan: Meninggalkan

Sam, sebenarnya masih banyak cerita di masa-masa SMA yang bisa membuatku semakin merasa hangat denganmu berbicara, meski hanya lewat aksara. Namun, aku yang tidak pandai merangkai kata tidak mau membuat dirimu bosan membaca, terlebih semua kisah yang aku ceritakan di dalam surat ini hanya berisikan tentang bagaimana usahaku memendam perasaan. Seolah, kau hanya sedang membacakan cerita yang bertemakan seorang pecundang seperti aku ini, Sam.

Sam, sikapmu yang ramah, senyummu yang tabah, gaya bicaramu yang menghasilkan kata-kata indah, dan semua cerita hidupmu yang selalu memotivasi banyak orang yang menganggap kesulitan ekonomi adalah masalah, telah membuat aku tak henti-hentinya mengagumi sosok lelaki yang tak pernah merasa kalah. Kamu hebat Sam. Aku akui itu. Sewaktu masih sekolah, kamu tidak pernah memberitahu orang tuamu tentang iuran apapun yang bisa menggunakan tabungan recehmu. Dan kamu adalah orang yang terlalu jujur untuk hal itu. 

Sam, aku tahu, selain alasan sunah ibadah, puasa Senin Kamis yang menjadi rutinitas kamu hanyalah untuk menutupi rasa ingin mencicipi setiap jajanan di sekolah, dan aku pun tahu alasan kenapa kalau hari Jum'at kamu tidak langsung pulang seperti murid-murid yang lainnya, itu hanya karena kamu bisa mengerjakan beberapa pekerjaan di perpustakaan sekolah, atau sekedar membantu beberapa pekerjaan guru yang akan memberimu upah. Kamu tidak pernah merasa malu untuk menceritakan hal-hal itu kepadaku, Sam. Dan aku pun tahu kalau ternyata kamu bukan tidak mampu, kamu pernah menceritakan keluarga mu, kakakmu yang sudah kerja di kantoran, atau pamanmu yang sudah lama kerja di pabrik, tapi kamu tetap saja kamu dengan segala sikap teguh pendirianmu yang tidak ingin merepotkan orang lain selagi menabung bisa menjadi solusi terbaik bagimu. Kamu itu mandiri, Sam. Itulah mengapa kamu begitu mencintai dirimu sendiri. Kamu tidak ingin merepotkan keluargamu hanya karena takut tidak bisa menjadi sosok yang diharapkan oleh mereka kepadamu. Aku akui kamu memang tidak pandai dalam belajar. Kamu sendiri yang pernah mengatakan kepadaku bahwa dirimu seperti ikan nila yang hidup di kolam ikan koi. Tak mengapa, aku selalu berpikir bahwa semakin pahitnya cerita hidup maka semakin manis untuk dinikmati sebagai topik pembicaraan. Dan aku selalu ingin menjadi sebaik-baiknya pendengar atas semua cerita tentangmu. 

Namun mengapa, semenjak kejadian pingsan itu, dan seikat bunga matahari pemberian darimu yang hilang itu, sikapmu berubah seperti kentongan yang bersuara jika ada yang memukul kentongan itu. Kau selalu menjawab setiap pertanyaan, kau selalu bercerita setiap aku berbicara, kau selalu mengeluarkan kata ketika aku mengawali perkataan, tapi kau selalu diam jika aku tidak mengawali pembicaraan.

Sam, untuk seseorang yang hanya bisa memendam perasaannya. Bagiku masa-masa SMA itu terlalu singkat untuk kisah cinta sendiri yang masih lekat, kepadamu yang membuat aku memiliki rasa cinta yang begitu pekat, meski kamu selalu membiarkan cinta itu berkarat. Ada rasa sesal dalam dada, ketika perasaan ini kubiarkan begitu saja. Ingin sekali aku mengulang waktu untuk mengatakan kalimat 'aku mencintaimu' yang akan menghiasi masa-masa putih abu-abu itu, meskipun aku akan tau jawaban apa yang akan keluar dari mulutmu, bahwa kamu hanya akan mencintai dirimu sendiri. 

Sam, mengapa setelah kau menolongku dari pingsan itu, kau membiarkan aku begitu saja seperti seikat bunga yang hilang dalam genggaman dan entah ke mana? Masa-masa SMA itu telah sirna. Padahal aku sudah merasa akan lebih leluasa untuk selalu berada di dekatmu.

Pada hari perpisahan angkatan kita, aku dan ibuku melihat tangis yang berusaha kau tahan kepada ibumu. Aku melihat bagaimana wajah kecewamu kepada dirimu sendiri yang tidak bisa memberikan sebuah prestasi, aku tahu betapa sakitnya hatimu ketika semua gurumu tahu kalau ibumu adalah ibu dari alumni yang pernah membanggakan sekolah kita dulu dengan segala bentuk prestasinya. Tapi ketika kau mendengarnya, kau tetap saja tersenyum seolah tak merasa cemburu bahwa dirimu tidak sehebat saudara-saudaramu yang dibanggakan pada hari perpisahan sekolah untukmu itu, kau malah mendengarkan cerita itu dengan baik, menanggapi dan mengatakan kalimat hebat dengan tabah, dan bersikap dewasa menerima bahwa kamu tak sehebat mereka. Kamu ini memang orang baik, bahkan bisa-bisanya menjadi pendengar cerita hebat yang dibandingkan dengan cerita biasa yang kamu punya.

Dan di situlah ibuku tahu kalau kamu adalah orang baik yang bisa semudah itu menerima sikap yang membuat perasaanmu buruk. Dan dari situ juga ibuku mengizinkan aku untuk menjadi temanmu. Untuk menjadi teman dari setiap tabah kamu yang selalu mengajariku.

Lihat selengkapnya