Sam & Mut

Muhammad Rifal Asyakir
Chapter #36

Surat Kesepuluh: Yang (tidak) Aku Harapkan

Baiklah, jika memang aku harus menuliskan bagian rumit ini. Maka akan kuceritakan. Semoga kau membacanya dengan baik, Sam. Aku tidak mau adanya kesalahpahaman yang tercipta di dalam cerita yang harus kau baca.

Setelah lulus. Aku ingin seperti orang lain dan seperti ekspektasi yang aku buat sendiri. Kau masih ingat gak Sam? Kala itu, kita pernah menggambar peta perjalanan hidup seperti apa untuk lima tahun ke depan. Kau memiliki cita-cita yang sangat sederhana, berbeda dengan teman sekelas pada umumnya. Kau ingin menjadi seorang penulis yang hebat, terkenal, dan menghasilkan uang dari setiap karya-karya yang kamu jual. Kau ingin menghabiskan waktu dengan cara berkarya. Tanpa peduli harus kuliah di mana atau kerja di mana seperti yang orang tuamu inginkan darimu. Kau tidak menuliskan nama universitas ataupun nama tempat kerja di peta rencana lima tahun ke depan itu. 

Namun, apa yang terjadi setelah kita pernah memiliki perasaan yakin terhadap peta yang kita buat sendiri? Ekspektasi nyatanya tak seindah realita, ekspektasi hanya akan membunuh ekspresi ketika mimpi yang sedang dibangun tidak bisa dieksekusi. Apalagi untuk perempuan sepertiku, Sam.

Kukira, ekonomi keluarga aku yang cukup, akan mengizinkan aku menginjakkan kaki di universitas negeri yang aku cita-citakan, dan aku kira jika memang aku tidak pantas untuk kuliah, aku akan dibiarkan memiliki pekerjaan, untuk menjadi seorang perempuan yang mandiri. Tapi mengapa aku tidak memiliki kebebasan itu pula? Aku yang tidak diperbolehkan merasakan masa-masa perkuliahan, kenapa tidak diperbolehkan juga merasakan capeknya dunia pekerjaan? Aku hanya dituntut untuk mencintai satu orang laki-laki yang bernama Budi. Aku dituntut untuk segera belajar bagaimana caranya menjadi seorang istri. Tapi aku tidak bisa melakukannya. Aku tidak bisa mencintai karena terpaksa. Aku menuliskan kata pengangguran di semua bio sosial media untuk bentuk protes yang sederhana. 

Ponsel milikku selalu dibiarkan tergeletak. Setiap nada dering yang berdering selalu kuanggap asing. Namun pernah ada suatu kata batin yang meyakinkan diriku untuk berhenti malas dan kembali bergairah dengan dunia yang berada di genggaman itu. Yaitu semenjak ada notifikasi pesan darimu di ponselku.

"Mut, ada yang mau aku bicarakan sama kamu. Gimana?"

Aku baru sadar, setelah lamanya membiarkan ponselku terkapar, ternyata banyak sekali pesan darimu yang tidak pernah kubalas. Tapi siapa yang membuka pesan darimu itu? Oh tidak. Siapa lagi kalau bukan ibu yang selalu kubiarkan melihat ponselku hanya karena dia penasaran dengan pembaruan status Budi yang selalu memperlihatkan kesuksesan di usia mudanya. Ibuku selalu senang dan tidak sabar ingin mendekatkan perjodohan antara aku dengan Budi.

Betapa nelangsanya aku setiap kali ibu mengatakan ingin cepat punya menantu di waktu yang secepat itu, dan bukan dengan orang yang aku cintai. Bukankah pepatah mengatakan: kalau yang tepat tidak akan datang di waktu yang cepat? Tapi mengapa pepatah tua itu tidak menyadarkan orang tuaku, Sam?

"Gimana apanya Sam, hahaha. Datang ajalah ke rumah."

Aku segera membalas pesan darimu. Sangat bahagia.

"Boleh ke rumah kamu?" balasmu diakhiri emoticon yang mengekspresikan wajah penasaran. Pikiranku jadi melayang ke masa lalu mengingat bagaimana ekspresi penasaran kamu yang aslinya.

"Dengan senang hati, Sam. Hahaha. Mau sama siapa?"

"Sendirian."

Entah kenapa, satu kata itu membuat diriku gugup seketika, Sam. Padahal, kau hanya mengatakannya dengan bentuk ketikan. Aku sudah lama tidak bertemu denganmu. Rasa gugup itu telah hadir menemani malamku yang akan mengingat setiap momen bersamamu.

"Wah kayaknya serius nih main rahasia-rahasiaan."

"Ah enggak juga, pengen silaturahmi aja, udah lama kan gak ketemu?" balasmu begitu meyakinkan. Aku langsung melemparkan ponselku begitu saja. Aku harus bilang kepada ibuku, bolehkah kamu yang dulu sudah diperbolehkannya untuk menjadi temanku datang ke rumahku? 

"Bu, besok Syakir mau ke rumah, bolehkan?"

"Syakir? Sendirian?"

"Iya Bu, gak apa-apa kan?"

Ibuku terdiam. Bukan karena lupa siapa Syakir itu. Tapi karena mengapa aku masih menginginkan kehadiranmu di saat yang diinginkan oleh ibu hanyalah Budi.

"Ibu sendiri udah tahu kan dia itu orang baik?"

"Iya, tapi mau ngapain Aruni?"

Lihat selengkapnya