Malam itu gelap. Tidak ada cahaya bintang yang melukis langit. Bulan sedang kesepian. Ia harus tetap menerangi meski hanya sendirian. Begitupun dengan aku yang kepadamu menaruh harap. Tak ada lagi kabar darimu yang melukis kisah hidupku. Rindu hanya sebatas kesepian. Ia tetap kehilangan temu yang menyiksa hatiku sendirian.
Bagaimana kabarmu Sam?
Kuharap kalimat baik-baik saja tetap menjadi kebiasaan dari setiap jawabanmu. Tapi, aku tidak mau mendengar kalimat itu sebagai kalimat terpaksa darimu. Aku ingin kau memang benar baik-baik saja.
Kamu ke mana Sam? Mengapa kamu tidak datang ke rumahku lagi? Mengapa kamu tidak mengirimiku pesan lagi? Mengapa kamu tidak bersikap seperti temanku lagi? Mengapa kamu tidak protes lagi? Mengapa kamu tidak memperlihatkan seolah kamu benar-benar mencintaiku? Kamu datang di waktu yang terlalu cepat, Sam. Kamu datang dengan dirimu yang kosong. Sedangkan aku tidak bisa membiarkan diriku menerima cintamu jika pada akhirnya kata pacaran hanya akan memisahkan aku dengan mu lewat kata putus yang selalu menjadi akhir dari perjalanan cinta yang pastinya akan terjadi.
Sam. Kau menghilang dari kehidupanku bukan dengan waktu yang sebentar. Sudah beberapa belas bulan yang setiap harinya kau lewati tanpa sedikitpun mau melibatkan aku.
Sam. Meskipun kamu tidak pergi jauh, meskipun jarak ke rumah kamu masih bisa aku tempuh, meskipun perasaan kamu akan aku pastikan untuk tetap tumbuh, tetap saja, aku tidak bisa menemuimu yang telah meninggalkanku meskipun rasanya begitu kejam menyerang batinku.
Aku tahu aku salah Sam. Perasaan yang selama ini kupendam telah dibiarkan padam oleh sosok yang memberikan perasaan itu. Bukan kah seharusnya menjadi sebuah penyesalan? Tentu, Sam. Aku sangat menyesal, hanya saja, akan lebih menyesal lagi jika aku harus kehilanganmu untuk selamanya jika aku menerima cintamu untuk sementara.
Sam, meskipun kamu sudah pergi dari hidupku, hanya karena kamu tak mau jika aku menganggap dirimu sebatas teman aku. Kamu selalu tetap ada di dalam kalbu, hanya saja kamu tidak tahu bahwa sebenarnya aku pun memendam perasaan yang sama denganmu, bukan sebatas teman biasa yang aku katakan begitu saja kepadamu.
Sam. Di dalam surat ini aku begitu terang-terangan bahwa aku menyesali dan merasa kehilangan. Belasan bulan lamanya kau membiarkan aku melahap semua hidangan rindu yang kau berikan padaku. Meminum semua air mata setiap kali teringat tentangmu. Merebahkan tubuh dan pandangan yang selalu melukiskan senyummu. Aku merindukanmu. Tapi rindu itu tak berujung temu dan hanya menjadi semu.
Aku selalu merenung setiap kali setelah mendoakan keselamatanmu. Sampai ide gila menyambar pikiranku agar kau tetap mencintaiku, agar kau tetap menjadi jodoh yang kuinginkan hanya kepadamu cinta ini terabadikan.
"Aruni?"
"Iya Bu?"
"Kamu baik-baik saja?"
"Manusia mana yang hidupnya hanya di kurung di dalam rumah akan bilang bahwa dirinya baik-baik saja?"
Satu menit lenggang. Ibuku memilih diam daripada waktu istirahatnya dipakai untuk bersitegang.
"Tadi ibu gak sengaja liat status whatsapp Budi di ponsel kamu."
"Bukan gak sengaja namanya kalau buka ponselku berkali-kali. Setiap hari ibu selalu penasaran dan membuka ponselku kan?"
Ibuku terdiam lagi. Lebih dari satu menit. Aku menyalakan kipas angin agar tidak ada bisikan setan yang ingin membuat diriku marah. Lebih baik aku merasa lelah dan mengalah atas semua sikapnya yang ingin aku menyerah.
"Aruni. Kamu sudah lama mengurung dirimu di rumah. Sudah saatnya kamu," ucap ibuku segera aku potong kalimat bicaranya.