Sam & Mut

Muhammad Rifal Asyakir
Chapter #38

Surat Kedua Belas: Kau yang (tidak) Tahu Apapun

Malam sebelum tidur. Hanya ada keresahan yang menemaniku di atas kasur. Ingin sekali tidur terlelap. Namun masalah yang ada di dalam kepala tak bisa pergi, dan hanya bertahan untuk menyiksaku sendiri. Bagaimana mungkin, aku membiarkan dirimu memberikan rindu tanpa adanya temu.

Kamu yang dulu pernah mengaku telah lama memendam perasaan yang sama denganku, nyatanya pergi meninggalkanku. Menjadi orang asing setelah kau tak menerima apa keputusan yang penuh alasan. Aku mencintaimu. Tapi aku tak berhak untuk memilikimu, meski dalam ikatan sementara yang berisiko akan mengakhiri cinta setia.

"Bud, aku sudah mengabari ibuku, begitupun ibumu. Pertunangan kita akan segera dipercepat. Itu artinya, rencana gila itu akan segera dimulai."

Pagi harinya kala itu. Aku mengirimkan pesan kepada Budi. Pesan yang menandakan bahwa permainan yang tidak ingin dimainkan olehnya akan segera dimulai secara terpaksa. Budi tidak bisa menjawab pesan yang telah aku kirimkan kepadanya. Tapi, Budi pun takkan bisa diam saja. Budi terpaksa mengikuti rencana yang akan mengacaukan suasana. Berhasil atau tidak, kedekatan antara pihak keluargaku dengan keluarganya akan berakhir sia-sia, hanya karena saling menjaga nama baik keluarga yang tidak pernah dipandang hina. Begitulah risiko ingin selalu menjadi orang yang terlihat dermawan. Mereka selalu ingat bagaimana caranya tetap hidup terpandang, tapi lupa bagaimana caranya tetap hidup menjadi manusia.

Sam. Aku tahu rencana gila itu sangat berisiko. Apalagi, gagal atau berhasilnya dari rencana gila itu sama-sama akan menghasilkan rasa sakit yang berkelanjutan. Terlebih, aku hanya mengandalkan keyakinan yang hanya meyakinkan aku, tapi belum tentu akan dapat meyakinkan kamu. Aku ini makhluk keras kepala yang sudah tidak bisa dijinakkan lagi atas segala keputusannya. Aku akui, aku ini egois. Sangat egois.

Budi tidak membalas pesan dariku. Ia keberatan jika harus memberi keputusan. Kamu adalah teman baiknya, begitupun dengan aku. Tapi, aku yang keras kepala ini tidak bisa tinggal diam saja karena waktu akan terus melaju menuju sampai ke tanggal di mana aku akan bertunangan dengan Budi.

Aku pergi ke rumahmu. Bukan untuk sekedar membalas rasa rindu. Tapi, untuk memberanikan diri membawa kabar yang akan terdengar tidak bahagia di telingamu. 

Setibanya di rumahmu. Tetangga-tetangga yang memberiku petunjuk di mana rumahmu memberitahu kepadaku bahwa kamu sudah bekerja di sekolah, kurang lebih satu bulan yang lalu. 

Mengapa kamu tidak memberitahuku, Sam? Mengapa kamu bungkam saja? Salahkah aku jika tahu bagaimana kesibukan orang yang masih aku cintai? Mengapa kau menghilang, dari setiap sikap ramahnya kamu yang tak terbilang?

Aku masih menunggumu di teras rumahmu. Tidak ada siapa-siapa. Hanya ada sepi yang membiarkan aku menunggu sendiri.

"Sam, aku minta maaf."

Ketika kau tiba dan melihat aku sudah berada. Mengapa kalimat itu keluar dari mulutku begitu saja? Sungguh Sam, mulutku dengan sebegitu bodohnya mengatakan kalimat yang tidak ingin aku katakan namun selalu ada dalam ingatan.

Lihat selengkapnya