Sam, dari surat yang inilah akan aku ceritakan bodohnya aku yang terlalu mencintaimu.
Setelah pertunangan aku dengan Budi. Kamu yang sudah lama tidak aku temui, kembali menghilang dari kehidupanku lagi setelah pertemuan yang memberikan kabar buruk bagimu yang tahu tidak apa-apa. Tapi, kamu yang sebelumnya acuh, justru setelah tahu aku dengan Budi sudah bertunangan kamu malah semakin terlibat di setiap postingan mesra yang memang sengaja dibagikan ingin terlihat. Aku tidak bermaksud untuk menyakitimu. Aku hanya ingin memperlihatkan akan seperti apa nasib burukku seolah aku benar-benar terjebak oleh kejahatan nafsu.
Sam. Kamu selalu melihat setiap postingan kemesraan aku dengannya. Kamu selalu menjadi orang pertama yang melihatnya. Mengapa kamu selalu ikut campur seperti itu Sam? Maaf jika caraku memang salah, tapi aku tidak tahu apa-apa tentang bagaimana perasaanmu kala itu. Kamu tidak pernah memberikan komentar apapun setiap kamu melihat kemesraan yang bertujuan untuk menipu banyak orang itu.
Namun. Seperti yang sudah direncanakan. Kemesraan itu tidak bertahan lama setelah Budi tidak bertanggung jawab atas perbuatannya. Budi menuruti pintaku. Permainan dimulai secara mengerikan. Dia memblokir semua media sosialnya kepada siapapun, dan pergi tidak meninggalkan jejak sedikitpun. Bahkan meninggalkan bekas yang buruk kepada nama baik keluarganya. Maka hubungan keluargaku yang sangat dekat dengan keluarganya pun berakhir dengan kata kecewa atas perbuatan hina penerusnya.
Apakah aku harus terpukul atas perlakuan Budi yang merusak hidupku? Merusak nama baik keluargaku? Menjadikan aku aib keluarga yang entah bagaimana caranya untuk ditutupi? Tidak. Aku tidak terpukul. Apalagi harus menyesali perbuatan yang aku inginkan sendiri. Meski risikonya aku selalu dicaci maki oleh orang tuaku sendiri. Orang tua mana yang tidak akan kecewa ketika anak perempuannya berbuat hina? Aku menerima hukuman itu. Tapi kehamilan yang telah aku ungkapkan atas hubungan dengan lelaki yang mereka percaya namun berakhir mengecewakan hanya menjadi bahan pertengkaran yang tidak tahu solusinya harus seperti apa. Kecuali ada yang rela menikahi hanya untuk sekedar menutupi aib nama baik keluarga yang terpandang itu.
Sam. Aku tahu kau pasti curiga atas kehilangan kemesraan aku dengan Budi. Kamu juga pasti merasa ada yang tidak beres dengan Budi yang menghilangkan jejak dari kepergiannya yang telah meninggalkanku begitu saja.
Pikiranku kalut. Keberanian pun menciut. Masalah dan segala pertengkaran di dalam rumah membuatku merasa terusir dan terhanyut. Bagaimana pun aku sudah menjadi beban keluarga. Merusak ekpektasi mereka tentang perjodohan, juga merubah nama baik mereka menjadi buruk atas apa yang telah aku perbuat. Zina memang lah perbuatan keji yang menghancurkan segalanya.
Rumah sudah menjadi tempat yang tak lagi ramah. Aku pergi ke tempat yang sudah lama tidak aku datangi. Hanya untuk meredam pertengkaran dari seisi kepala yang justru malah kebingungan. Apakah rencana ini akan berakhir pada sebuah kata solusi, atau justru membiarkan aku tersiksa seorang diri? Aku terduduk lemas di tempat yang sunyi penuh rasa cemas.
"Mut? Ngapain kamu di sekolah?"
Saat itu. Tepatnya pada hari libur. Kamu datang menghampiriku yang sedang berada di pengasingan. Di tempat yang dulu pernah menyajikan sedikit kisah bersamamu. Di bawah pohon rindang.
"Mut kok diam saja sih?" katamu lagi. Aku belum siap menceritakan kabar buruk kepada orang yang telah lama aku tinggalkan.
"Duduk dulu lah Sam. Sudah lama kita tidak duduk di tempat ini lagi."
Kamu pun duduk. Berdua denganku saja. Di bawah pohon rindang yang selalu menjadi cerita dan saksi, atas kisah cinta yang saling mendiamkan diri, tak pernah sedikitpun berani mengungkapkan isi hati.
"Bagaimana kabarmu Sam?" tanyaku lagi.
"Gak ada jawaban lain selain baik-baik saja. Kamu sendiri?"
"Aku juga harus mengatakan bahwa gak ada jawaban lain selain baik-baik saja."