Sam & Mut

Muhammad Rifal Asyakir
Chapter #40

Surat Keempat Belas: Kebohongan yang Menjadi Rahasia

Kurang lebih, tiga Minggu sudah berlalu. Sedangkan luka belum saja beralih. Pertengkaran tidak pernah berakhir. Hanya karena perbuatan aku yang menginginkan keributan, dan memecah kedekatan antara hubungan keluargaku dengan keluarganya Budi.

Kau masih ingat, Sam? Di surat yang sebelumnya. Aku pernah menuliskan ketidaksiapan Budi menuruti keinginanku yang sangat memohon kepadanya itu. Dia dengan tegas tidak akan melakukan hal bodoh itu kepadaku. Awalnya aku pikir Budi tidak mau menjalankan rencana gila itu. Tapi ternyata orang baik bernama Budi itu tidak mau keinginan aku yang ingin dirusak olehnya terjadi jika masih bisa dilakukan dengan cara kebohongan. Ya. Soal kehamilan itu, aku dan Budi membohongi semua orang. Budi meninggalkanku tanpa melakukan sedikit bekas pun pada diriku. Ia pergi jauh, membawa namanya yang buruk di mata keluarganya sendiri. Dia sudah pergi, kuliah ke luar negeri. Orang yang sukses di usianya yang masih muda itu, tak kusangka rela melanjutkan pendidikannya hanya karena ingin membantu masa depan temannya.

Tiga Minggu sudah berlalu. Rahasia itu masih dapat dijaga dengan segala cara untuk memanipulasi fakta. 

"Ini Test Pact punya kamu?" tanya ibuku setelah keluar dari kamar mandi. Aku berhasil menjebaknya, dan memancing keributan yang kesekian kalinya.

"Iya Bu, aku lupa tidak membuangnya."

"Dari kapan? Kenapa kamu sampai lupa Aruni? Kalau misalkan ada tamu yang ke kamar mandi gimana? Mereka bisa tahu kalau anak saya telah hamil di luar nikah!"

"Aku minta maaf Bu, pikiranku kacau sekali. Aku gak inget sama benda itu. Hidupku sudah hancur!"

"Semua ini gara-gara kamu Aruni! Kenapa bisa seperti ini?!"

Aku hanya bisa diam menelan kalimatnya yang sangat membentak itu. Ibuku benar-benar kecewa. Tapi, itulah yang aku inginkan darinya. Aku ingin dibenci. Jika kebencian adalah satu-satunya solusi agar kehidupan yang egois itu tidak pernah merendahkan orang lain lagi. Aku ingin ibuku tahu bahwa sebaik-baiknya nama baik yang selalu dijaga pasti ada buruknya juga, dan itu tidak pantas untuk tidak diterima dan masih memaksakan diri memperdulikan nama baiknya.

Bapakku keluar dari kamar. Semenjak kabar buruk dariku dia hanya sibuk mencari Budi dan menyelesaikan masalah anaknya yang belum mendapatkan solusi.

"Udah cukup! Semua ini bukan salahnya Aruni juga, Bu. Kita juga salah, karena terlalu memercayakan kedekatan anak gadis kepada laki-laki. Kita gak sadar kalau rasa percaya itu adalah sebuah kecerobohan yang kita perbuat? Mengapa harus terlalu ambisius dengan perjodohan itu? Ujung-ujungnya gimana? Jadi kecelakaan seperti ini kan?" ucap bapakku. Tidak bermaksud membela yang salah. Tapi keributan yang tak pernah berkahir itu harus segera musnah. Bapakku sudah lelah.

"Kita harus menggugurkan anak yang ada di dalam kandungannya itu!" jawab ibuku. Masih saja keras kepala. Aku tidak akan membiarkan kebohonganku terbongkar begitu saja.

"Tidak! Aku tidak mau membunuh anak yang tidak berdosa. Aku tidak akan melakukan hal sebodoh itu."

"Terus bagaimana solusinya? Justru itu adalah satu-satunya cara untuk menutupi kesalahan kamu. Demi kebaikan kamu, kamu harus tega Aruni!"

"Demi kebaikan aku? Katakan dengan jelas sekali Bu! Tidak apa orang lain menilai aku buruk, karena ini memang salah aku! Tapi ingatlah baik-baik siapa yang sebenarnya ketakutan hanya karena terlalu mementingkan nama baik?"

Lihat selengkapnya