Sam & Mut

Muhammad Rifal Asyakir
Chapter #42

Surat Keenam Belas: Kebohongan yang (tidak) Baik

Sam, egoku berkata adanya kepura-puraan dalam setiap kata cintamu selama ini. Aku merasa diriku tidak berarti lagi untukmu. Kau memang sudah menolongku dengan alasan tidak ingin membiarkan aku mati seperti yang menjadi ancaman kepadamu. Tapi apakah hanya untuk itu saja kau mau menikah?

Sam, aku bisa saja terus terang kepadamu kala itu tentang hubungan, pertunangan, kehamilan, dan pernikahan yang penuh rahasia itu kepadamu. Tapi aku tidak bisa mengatakannya karena aku tau kau tak mungkin mau menikah denganku dengan cara berbohong seperti itu. Kau terlalu baik untuk membohongi semua orang. Yang hanya bisa kau lakukan hanyalah membohongi dirimu sendiri yang selalu bersembunyi di balik kata baik-baik saja. 

Sam, mungkin saja surat ini menimbulkan pertanyaan kesal pada dirimu, pertanyaan yang entah kenapa aku tidak segera membuka rahasia kepadamu setelah kita menikah. Kau harus tahu Sam, selain kau sendiri yang berusaha menghindar, aku pun punya alasan tersendiri untuk rahasia yang belum terbongkar. Aku hanya menunggu waktu yang tepat sampai ibuku sadar bahwa kau lah orang yang tepat dengan segala sikap kebaikan yang akan kau perlihatkan. Selain itu, hanya karena sikap-sikap perubahan pada dirimu juga yang membuat aku bungkam. Kau seolah tak peduli terhadap pernikahan itu. Dan memperlihatkan sikap dirimu yang sebenarnya, yaitu mencintai dirimu sendiri.

"Mau ke mana Syakir?" tanya ibuku kepadamu.

"Ada rapat di sekolah, Bu." 

Aku yakin kau membohongi dua orang sekaligus di pagi itu.

"Siapa yang rapat di sekolah?" balas ibuku. Sudah jelas tidak akan semudah itu memercayai kamu.

"Ya guru-guru semuanya Bu."

"Emangnya kamu termasuk guru?"

Kamu seketika terdiam. Kalimat itu pasti menyinggung kamu, Sam. Lagi-lagi sikap ibuku selalu menantang aku untuk bertengkar. Aku segera keluar dari kamar. Ingin sekali bertengkar dengan ibuku sendiri. Tapi aku sadar diri. Untuk apa lagi?

"Kalau kamu mau kerja di perusahaan tempat bapak kerja. Bapak bisa bantuin kamu biar keterima di tempat bapak kerja. Gimana?" tanyaku, hanya untuk memastikan agar ibu tidak menyinggung kamu lagi. Aku memberikan saran itu hanya karena kalimat itulah yang akan terdengar baik di telinga ibuku.

"Bener tuh kata Aruni, gajinya lumayan lah buat menafkahi anak saya." 

Namun, ibuku malah ikut campur lagi. Seperti itukah rasanya rumah tangga ditemani orang tua? Tidak. Hidupku memang selamanya dalam pantauannya.

"Aku mau. Tapi gak bisa secepat itu juga. Masa iya baru dikasih kepercayaan kerja di sekolah langsung berhenti begitu saja? Bukannya kepercayaan orang itu sangat berarti? Ya meskipun gajinya gak seberapa tapi tunggu dulu aja sampai beberapa bulan nanti kalau udah lama kan gak ... " Kalimat yang kamu berikan berhenti. Dipotong oleh ibuku yang tidak suka kalimat bertele-tele darimu yang berusaha menjelaskannya.

"Ah kelamaan mikir kamu! Jangan sia-siakan kesempatan mumpung masih ada lowongan. Saya ngomong gini ya karena peduli. Gajinya lebih terjamin daripada di sekolah."

"Tapi kan gaji bukan rezeki Bu. Rezeki bisa saya cari di tempat yang gak harus di pabrik kok."

"Terserah kamu sih, saya cuman mau ngingetin apa yang terbaik buat masa depan kalian."

Lihat selengkapnya