Sam & Mut

Muhammad Rifal Asyakir
Chapter #43

Surat Ketujuh Belas: Pergi untuk Bertahan

Kukira kau akan sadar. Kukira kau akan malu. Setelah kau berbohong, tak ada kata maaf yang seharusnya kau katakan kepadaku Sam. Apakah kau mengira kalau itu tidak lah penting untukku? Seegois Itukah kau membiarkan kesalahan yang seharusnya membuat kau malu? Atau kau membiarkan kesalahan itu agar aku tidak peduli seperti yang kau mau?

Sebelum menikah kau bersikap selayaknya sosok Sam yang kukenal memiliki sifat rendah hati, tapi mengapa setelah menikah kau justru senang menyakiti hati?

Keberadaan kamu adalah bentuk dari kata semu. Kau hanya bisa diam membisu. Selalu mendiamkan aku, dan menyibukkan hari-harimu agar semakin menghindar dariku. Kau selalu memilih untuk tidur di sofa daripada bersama istrimu sendiri. Mengapa kau bersikap selayaknya tamu yang sekedar numpang istirahat? Kau selalu mengabaikan aku Sam. Bukankah itu sangat kejam bagiku? Setiap malam aku menahan tangis di hadapanmu. Kau selalu tidur terlelap karena kesibukan yang kau senangi melewati hari-hari yang tidak melibatkan aku lagi. Kau selalu berada di dekatku, tapi aku tak merasakan hangatnya kedekatan bersamamu lagi. Sikap acuhmu itu sangat kejam Sam. Kau tidak memperlakukan aku selayaknya istrimu. Aku yang seharusnya mengatakan rahasia yang dibiarkan lama kepada orang yang tidak tahu apa-apa malah membiarkan rahasiaku itu hanya karena mulutku terkunci menahan kalimat perasaan sakit hati atas sikapmu yang tidak peduli. Aku hanya bisa patuh terhadap perintah kamu yang menginginkan aku untuk bersikap acuh. Jika itu satu-satunya pinta yang kau inginkan dariku, sebagai istrimu aku hanya bisa melaksanakan tugas yang sangat menyakitiku.

Sam, aku sebelumnya berharap agar kau bisa membuktikan bahwa kau layak menjadi menantu ibuku dengan segala sikap kebaikan kamu. Tapi mengapa, justru yang kau perlihatkan adalah sikap yang tidak pernah aku sangka ada dalam dirimu. Kau selalu bersikap acuh bahkan memperlihatkan ketidakpedulian kamu terhadap adanya peran aku sebagai istrimu. Kau selalu sibuk. Seolah tidak ingin membiarkan hari libur diisi oleh waktu berduaan denganku. Sekalipun kau dan aku memiliki waktu luang, yang kau lakukan hanyalah menjadi sebaik-baiknya orang asing di dalam rumah bahkan di dalam kamar yang hanya ada kita berdua saja.

Hingga, pada suatu hari ketika kau sedang sibuk bekerja di sekolah seperti biasanya. Ibuku masuk ke kamarku. Ada hal yang sangat penting untuk dia tanyakan terkait hubunganku denganmu selama ini.

"Kau tidak melakukan hal bodoh kan?"

"Hal bodoh gimana Bu?"

Awalnya aku berpikir hal bodoh yang dimaksud oleh ibu itu adalah kesedihan yang selama ini aku sembunyikan sendirian. Tapi ternyata bukan itu yang ibuku maksud.

"Kau sedang mengandung anaknya Budi. Tapi, kau sudah menikah dengan lelaki lain. Bukan kah itu akan menjadi hal bodoh jika Syakir melakukan hubungan suami istri denganmu? Apa jadinya nanti Aruni?"

"Bu, maaf tapi itu bukan urusan ibu. Ibu tidak berhak untuk tahu privasi aku."

"Tapi alasanmu itu tidak masuk akal Aruni. Apa yang sebenarnya kalian rencanakan? Ibu semakin curiga ada yang berusaha kamu sembunyikan selama ini dari ibu, dan tentunya menyangkut masalah dengan pernikahan yang sudah terlanjur kejadian ini."

"Ibu ini ngomong apa?"

"Pokoknya besok kamu ikut ibu ke dokter kandungan. Apakah benar kalau selama ini kamu sudah hamil? Ibu baru sadar, seharusnya gak percaya begitu saja dengan Test Pact yang dulu kamu perlihatkan, apalagi dengan pengakuan yang dulu pernah kamu ceritakan. Dan tentang kepergian Budi. Bisa saja itu menjadi bagian dari kebohongan kalian."

Lihat selengkapnya