Sam & Mut

Muhammad Rifal Asyakir
Chapter #45

Surat Kesembilan Belas: Kabar yang (tidak) Baik

Sekarang bukan hanya batinku saja yang tersiksa. Tetapi ragaku juga terluka. Kesadaran pun hilang membawa jiwa ku entah pergi ke mana. 

"Sam?!" ucapku sedikit berteriak. Berlari menghampiri kamu yang sedang berdiri sendirian di tengah taman yang hijau di hamparan rerumputan. Tempat itu sangat indah.

"Kamu ke mana aja Mut?" balasmu setelah mendekat. Kita saling menatap, serius ingin saling menetap. Kita bertukar senyum yang telah lama bersemayam. Aku bahagia bisa melihat sosok kamu yang sebenarnya. Sosok sederhana yang selalu membuatku merasa nyaman yang bagiku istimewa.

"Bajumu bagus, Mut. Bercahaya."

Kau memuji penampilanku. Aku memandangi tubuhku. Gamis putih yang kupakai itu tak pernah kulihat sebelumnya. Benar katamu Sam. Gamis putih yang kupakai nampak bersinar di tengah taman yang mempertemukan aku denganmu. Betapa bahagianya aku bisa berduaan menikmati indahnya suasana kemesraan. Aku merasa seperti hidup di surga.

"Apa kabar Sam?" tanyaku meski sudah tahu bagaimana jawabanmu.

"Tidak ada jawaban lain selain baik-baik saja. Kau sendiri Mut?"

"Aku?" balasku merasa kaget. Cara bicaramu mengingatkan aku kepada sikapmu di kala masa-masa SMA yang selalu membuatku rindu. Bukan di kala ketika aku sudah menikah denganmu yang terpaksa dan selalu membuatku pilu.

Di tempat yang sangat indah dan romantis. Kamu tidak bersikap acuh lagi Sam. Kamu sudah kembali menjadi Sam yang aku kagumi.

"Kau bertanya tentang kabarku Sam?" balasku lagi masih tak percaya. Ingin sekali meyakinkan kamu apakah pertanyaan itu benar-benar kau katakan kepadaku.

"Memangnya kenapa Mut? Aku selalu menunggu kabar baikmu. Aku selalu berharap kau selalu bahagia. Aku selalu mendoakan yang terbaik untukmu. Aku tidak bisa hidup tanpa kamu, Mut."

"Sam ..."

"Mut, pegang tanganku. Aku berjanji akan menjaga hubungan kita ini. Aku sangat mencintaimu, Mut."

"Sam ..."

"Mut, aku harap kamu baik-baik saja yah di sini."

"Baik-baik saja?"

Kau kemudian tersenyum sangat tulus. Matamu berbinar menahan tangis. Aku kebingungan sekaligus ketakutan. Aku takut jika perkataan kamu itu bermaksud perpisahan.

"Apa maksud perkataan kamu Sam? Kamu mau pergi ke mana? Jangan tinggalkan aku sendirian di sini Sam!"

Kau masih saja diam dengan senyuman yang kau perlihatkan.

"Sam ..."

Perlahan tubuhmu menghilang. Air mata pun terjatuh di pipimu membawa tubuhmu lenyap di hadapanku. Ada senyuman paling tulus yang kau jadikan sebagai pertemuan terakhir dengan rinduku yang paling serius dan membuatku khawatir. 

Aku menangis. Rinduku terkikis habis. Pertemuan singkat denganmu tidak kuanggap romantis. Justru membiarkan harapan ku berujung tragis. 

Jangan menjauh dari kehidupanku Sam. Aku tidak tahu apakah kata bahagia itu ada ketika kau tiada.

"Sam ..." ucapku lirih. Jemariku sangat berat sekali untuk digerakkan. Tubuhku terasa sakit. Aku baru sadar sudah terbaring di rumah sakit.

"Aruni?! Syukurlah kamu sudah sadar. Bapak sangat mengkhawatirkan kamu, Aruni!" ucap bapakku. Air matanya turun membasahi lenganku yang dipegang erat olehnya. 

Sudah tiga hari kondisiku kritis. Tubuhku hanya bisa terbaring lemah di rumah sakit. Akibat kecelakaan itu, ginjal dan usus yang rusak terkena tabrakan membuat aku harus dioperasi. 

Lihat selengkapnya