Pagi itu pondok pesantren Darul Jannah membasah. Hujan mengguyur cukup deras di kawasan Cirebon Barat sejak syuruq, tatkala para santri sedang berjibaku dengan rutinitas pengajian ba’da subuh. Mereka sama sekali tidak terganggu oleh hawa dingin yang menusuk, rintik hujan mengenai genteng hingga terdengar bunyi berisik dan atau sandal-sandal di depan masjid yang perlahan terbawa arus air menuju selokan. Suara-suara insan tholabul ilmi itu terus menggema di setiap sudut pondok pesantren salaf Darul Jannah.
Hingga awal waktu duha, hujan mulai reda, hanya rintik-rintik kecil yang tersisa. Kini semuanya jadi membasah; tanah membasah, pepohonan membasah, atap bangunan-bangunan bertingkat itu membasah, pakaian santri yang tergantung di jemuran membasah, Griya Ngaji Rasa –rumah Kiai Hasan pengasuh pesantren– membasah, dan jiwa-jiwa segenap insan kamil itu pun ikut membasah.
Lantunan surat Al-Waqiah yang dibacakan oleh salah satu pengurus, menyeruak ke segala penjuru pondok. Menggema indah seirama para santri ikut melantunkannya. Tiga orang pengurus tampak berjaga di depan area masjid, mengintrogasi santri-santri yang terlambat datang.
“Wa ash-haabul-yamiini maaa ash-haabul-yamiin ....”
Pemandangan indah waktu duha itu selalu terlihat melalui celah jendela kamar griya Kiai Hasan. Seperti pagi ini, lelaki berjanggut tipis dengan setelan serba putih khas sosok ulama salaf itu tampak berdiri, meletakkan kedua tangannya ke belakang dan menatap syahdu ke arah luar sana.
Bening kedua belah matanya berkaca-kaca. Ia menghembuskan napas dalam-dalam bersamaan senandung asma-asma Allah menyepuh hatinya. Ia terus berdzikir dalam diam.