SAMBAT

iqbal syarifuddin muhammad
Chapter #3

Bab 2 Curiga

Sudah menjadi agenda tiap tahunnya di pondok pesantren Darul Jannah, bahwa seluruh tingkat akhir yakni tingkat enam diharuskan mengikuti kegiatan PPL di bulan Ramadhan. Sebuah pencapaian pengajian level tinggi, berdakwah dengan terjun langsung di masyarakat.

Sebelum berangkat mereka dibekali banyak petuah-petuah suci oleh ustad senior maupun Kyai Hasan. Supaya mereka mampu dan siap untuk bermasyarakat.

Ilmu yang telah dipelajari enam tahun lamanya itu mereka mesti belajar mengamalkannya di agenda PPL Ramadhan ini. Sehingga ketika mereka boyong atau istilahnya selesai mondok, mereka tidak akan kaget menghadapi beranekaragam orang-orang di luaran sana.

Sore ini pembekalan PPL diisi oleh Kiai Hasan Basri. Para santri tingkat enam tampak khusuk menyimak setiap untaian kata yang dilontarkan Sang Kiai di pendopo. Seolah-olah mereka tidak mau sedikitpun ketinggalan mengantongi mutiara-mutiara berharga itu.

“... Santri-santriku, ingat, ya! Jangan pernah sekali-kali menunjukkan bahwa kalian itu sosok yang hebat, yang berilmu tinggi. Jangan! Yo, kalian akan jadi orang yang sombong dan dikucilkan masyarakat. Lah, terus mesti gimana? Yang mesti dilakukan adalah meng-nol-kan diri dulu. Bukan berarti kamu jadi pura-pura bodoh, tetapi kita sedang berusaha untuk menghargai orang-orang yang ada di sana terlebih dahulu. Sesungguhnya dengan meng-nol-kan diri itu, kalian akan mendapatkan ilmu-ilmu kehidupan yang baru, yang belum pernah kalian dapatkan sebelumnya. ...,” kata Kiai Hasan menjelaskan dengan ciri khas suara seraknya.

Sekitar satu jam Kiai Hasan memberikan pembekalan kepada para santri tingkat enam. Kini giliran Ustad Ibad selaku koordinator PPL yang akan mengisi. Baru saja lelaki berjanggut tipis itu duduk di kursi. Para santri langsung heboh bertanya banyak hal.

“Ustad, nanti boleh bawa hp kan?”

“Bawa motor sih Ustad boleh ndak? Repot kalo ndak bawa sih.”

“Bebas kan kita di sana, Ustad? Nggak terikat peraturan pondok gitu.”

Dan berbagai pertanyaan lainnya, semua bertanya heboh, membuat Ustad Ibad geleng-geleng kepala.

Wes ... Wes diam dulu. Satu-satu yang nanyanya. Gimana saya jawabannya kalo diserbu begini,” kata lelaki berjanggut tipis itu sembari memukul meja beberapa kali.

Para santri terdiam. Mereka manut terhadap senior paling tersohor di pondok Darul Jannah itu.

Ustad Ibad menunjuk santri bermata sipit. “Sok mangga Iksan mau nanya apa?” tanyanya mempersilahkan.

Iksan bertanya sembari duduk tegak. “Anu, Ustad. Soal keberangkatan dan perpulangan nanti. Kapan dan bagaimana itu biasanya?”

“Baiklah, untuk keberangkatan hari Minggu sore, ya, selepas siangnya perpisahan PPL. Jadi nanti sampai di tempat itu malamnya kalian langsung ngimami solat tarawih. Nanti pas berangkat ada ustad yang jadi koordinatornya masing-masing. Nah, sedangkan untuk perpulangan itu, ya, tergantung di sana. Biasanya selepas hari pertama lebaran, besoknya baru pulang,” jelas Ustad Ibad panjang kali lebar.

Suasana agak ribut, beberapa santri saling berbisik dengan teman di sampingnya.

Sampun ngertos dereng, Iksan?” tanya Ustas Ibad lagi.

Iksan manggut-manggut. “Nggih, Ustad. Cekap.

Waktu terus bergulir sampai lima belas menit lamanya. Ustad Ibad masih meladeni pertanyaan para santri dengan kondusif.

Sedari tadi Afif mengacungkan tangannya, gatal ingin segera bertanya. Tetapi Ustad Ibad lagi-lagi belum juga menunjuknya. Ia gemas bukan main.

“Ustad Ibad pilih kasih apa gimana sih? Kok aku diabaikan mulu dari tadi,” keluh Afif bersuara lirih. Ia ngedumel kepada Asad dan Amjad yang duduk di sampingnya.

“Sabar, Fif, nanti juga semuanya kebagian,” cicit Amjad.

“Ya, tapi kapan, Jad, keburu lumutan nih aku.”

Asad menyikut lengan Afif. “Kamu mau nanya apa sih? Bukannya pas kita searching udah jelas, ya?”

Afif mendecak. “Jelas endasmu. Lah, wong waktu itu kita buru-buru, takut ketahuan. Penjelasan segitu sih belum cukup, Sad,” sewot Afif.

Lihat selengkapnya