Gumpalan awan menggantung itu menutupi terik matahari siang di pondok Darul Jannah. Agenda perpisahan peserta PPL Ramadan terlihat begitu tenang dan syahdu. Lantunan adzan tanpa pengeras suara mengalun merdu oleh salah satu santri berperawakan kecil.
“Allahu akbar ... Allahu akbar ....”
Di samping masjid pondok Darul Jannah, beberapa Kiai dan pengurus senior tampak duduk di sebelah selatan, sementara santri-santri tingkat enam yang kini kompak berpakain batik terlihat duduk takzim, berjejer rapi di sebelah utara, menghadap ke arah selatan. Tak ketinggalan pula di sebelah timur dipadati para santri junior yang turut hadir ingin menyaksikan agenda perpisahan itu.
Dalam sambutannya Kiai Hasan tak henti-hentinya mengingatkan banyak hal. “... Ilmu-ilmu pengajian yang kalian pelajari selama mondok enam tahun itu baru kulitnya saja, Kang. Nah, sekaranglah waktunya kalian mengaji isinya, dagingnya dengan cara bermasyarakat. Kalian praktikkan, amalkan di sana, begitu, Kang. Dan semua itu tidak akan ada apa-apanya dibandingkan adab dan tingkah laku kalian. Maka ingat, ya, dijaga baik-baik. ...”
Setiap petuah-petuah suci yang diberikan Kiai Hasan itu laksana embun-embun kesejukan. Hingga membuat beberapa santri menenteskan air mata. Terutama santri-santri tingkat enam itu sendiri, mereka seperti mengulang kembali perpisahan dengan orangtua dan sanak keluarga dulu, tatkala baru menginjakkan kaki di pondok.
Rasa haru kian menyebar saat mereka mushofahah dengan guru-guru mulia. Tak pelak air mata menetes, membasahi punggung tangan sosok yang mereka ciumi takzim.
Lantunan merdu solawat nabi mengiringi para santri tingkat enam melakukan mushofahah, semakin terasa syahdu pemandangan siang itu di pondok salaf semi modern Darul Jannah.
“Shollallahu ‘ala Muhammad ... Sollallahu ‘alaihi wasallam ....”
Ustad Ibad langsung berkoar-koar selepas agenda perpisahan PPL. Ia mengingatkan kembali jadwal keberangkatan setiap kelompok bersama koordinatornya. Para santri berpakaian batik itu menyimak baik-baik sambil mengerubungi sang ustad.
“ ... Untuk kelompoknya Ridwan, Sahal dan Mahfudz, tempat PPL di Desa Bunut, berangkatnya bareng Ustad Naseh, naik mobil Elf, sekitar pukul lima sore. Dan terakhir kelompok yang paling jauh, PPL di Tasikmalaya, Asad, Amjad dan Afif, berangkat bareng saya sekarang juga,” kata Ustad Ibad memakai pengeras suara.
Afif terkejut. Ia mendekati Ustad Ibad selesai berbicara. “Sekarang banget tho, Ustad?” tanyanya tak percaya.
Ustad Ibad menjawab, “Iya, Fif. Biar nggak kemalaman di jalan.” Lalu mengultimatum saat melihat keberadaan Asad dan Amjad di dekatnya. “ayo kalian bertiga siap-siap, Asad, Amjad dan Afif. Saya tunggu secepatnya di mobil Luxio, kita langsung berangkat menuju terminal.”
Mau tidak mau mereka segera keluar dari kerumunan, berjalan cepat menuju kamar untuk mengambil barang bawaan.
***
Untuk kesekian kalinya Ustad Ibad menatap selembar kertas pemberian Kiai Hasan, berisi alamat pondok pesantren Alhikmah. Kini hatinya lumayan tenang, tidak lagi diserang kekhawatiran atau pikiran buruk perihal tempat PPL baru itu. Sebab baru-baru ini ia mendapatkan panggilan telepon dari seorang santri senior di sana, Fayed namanya.
“Di sana bukan tempat a ... anu kan, Kang?” tanya Ustad Ibad hati-hati.
Fayed terkekeh. “Oalah, bukan atuh, Kang. Memang kadangkala orang-orang nganggapnya ini pondokan anehlah, mencurigakan dan atau ngajarin ilmu perdukunan. Karena mungkin letaknya juga di tengah-tengah hutan. Jadi mikirnya yang nggak-nggak. Padahal mah nggak gitu, salah besar mereka,” jelasnya panjang kali lebar.
Lelaki berjanggut tipis itu khawatir bukan tanpa sebab. Kakak laki-lakinya pernah mondok di pesantren yang mempelajari ilmu hikmah dan dia menjadi gila akibat mempelajari ilmu-ilmu tersebut. Entah kenapa dan bagaimana asal-usulnya, ia sendiri tidak paham.
Seorang santri sepantarannya masuk dan duduk di kursi kemudi. Ustad Ibad bertanya sambil memasukkan selembar kertas itu ke dalam saku kemejanya. “Udah disusul, Do?”
“Udah. Mereka masih pada beres-beres,” jawab Rido.
Ustad Ibad melihat jam di pergelangan tangannya. Ia mendecak. “Keburu sore ini mah.”
“Tuh mereka,” kata Rido saat melihat lewat kaca spion.
Tiga orang santri tampak terseok-seok menuju mobil Luxio. Salah satu yang paling tinggi membawa dua buah koper dan satu tas di punggung.
Ustad Ibad terkejut melihatnya. Ia keluar saat ketiganya berhenti di belakang mobil, hendak memasukkan ke dalam bagasi.