SAMBAT

iqbal syarifuddin muhammad
Chapter #5

Bab 4 Alhikmah

Gapura bertuliskan pondok pesantren Alhikmah itu masih tampak berdiri kokoh walaupun sudah dimakan usia. Pagar yang mengelilingi bagunan di dalamnya pun tak jauh berbeda, terlihat kusam dan ditumbuhi rerumputan liar maupun akar pohon. Sejauh mata memandang bangunan menyerupai bentuk letter U yang dindingnya berupa geribik bambu itu benar-benar berada di tengah-tengah hutan.

Letaknya yang berada di punggung gunung Galunggung, menjadikan suasana di pondokan salaf itu terasa sejuk nan syahdu, terutama kala pagi dan senja menjemput.

Sebetulnya bukan berarti berdiri sendirian di tengah-tengah hutan, sekitar 700 meter menuju pesantren terdapat pula perkampungan Jati Mandala. Meskipun rumah-rumah khas pedesaan itu berdiri agak berjauhan serta di sekelilingnya dipenuhi pepohonan, perkebunan dan atau hamparan terasering berpetak-petak sawah yang menguning.

Sore itu pondok pesantren Alhikmah berdenyut. Para santri terlihat sibuk ke sana kemari. Mereka sedang melakukan roan atau bersih-bersih pondok menjelang bulan puasa Ramadhan esok hari. Dari mulai gerbang pondok, halaman depan, rumah pengasuh, setiap kamar santri, kamar mandi, sampai sudut-sudut pondok yang jarang terjamah sekalipun.

Seorang pengurus yang biasa dijuluki si paling sibuk itu berkeliling mengunjungi kamar-kamar santri, mengecek, barangkali masih ada santri yang mager, tidak mau ikut roan.

“Ayo roan-roan, Jang. Roan,” teriaknya sembari menghentakkan sebilah bambu ke lantai dan langsung menerobos memasuki kamar.

Ketika ada santri yang masih tertidur, semprotan air di tangannya beraksi.

“Adam, bangun-bangun. Hei!” serunya lagi sambil menyemprotkan air ke wajah si santri.

Tentu saja santri bernama Adam itu terbangun dengan wajah kesal.

Sekonyong-konyong seorang santri berkacamata memanggilnya dari balik pintu kamar. “Mang ... Mang Fayed, dipanggil Abah, Mang, ayeuna pisan.”

Muhun. Hatur nuhun, Sep.”

Fayed segera beranjak pergi. Langkahnya tergesa-gesa menuju rumah pengasuh yang letaknya sebelah barat dekat gerbang utama pondok. Mendapat kepercayaan langsung dari sang Kiai, membuat lelaki berkumis tipis itu semakin bersikap trengginas. Apalagi di bulan Ramadhan ini, tatkala banyak santri yang izin mengaji pasaran di luar pondok dan atau menginginkan puasa Ramadhan di kampung halamannya. Kesibukan Fayed semakin berkali-kali lipat dari biasanya.

Kiai Abbas berdiri di halaman depan rumah. Ia mengomandoi beberapa santri yang kebagian roan di sana. Tatkala melihat Fayed berjalan ke arahnya, lelaki bersarung dan berkaos putih itu memanggilnya.

Dieu, Jang Fayed.”

Fayed langsung menyalami punggung tangan Kiai Abbas.

Muhun, Abah. Kulan?” tanyanya takzim.

“Rombongan santri PPL Darul Jannah, sudah sampai mana, Jang? Sudah ada kabar belum?” tanya Kiai Abbas.

“Belum, Bah. Tapi waktu itu sudah saya hubungi.”

Kiai Abbas manggut-manggut. “Oh, muhun-muhun. Begini, Jang, kalau nanti menjelang magrib belum juga tiba atau masih jauh. Kasih tahu mereka supaya menginap saja di rumah penduduk. Coba Jang Fayed hubungi Jang Najeeb. Dia punya banyak kenalan,” jelasnya mengultimatum.

Fayed mengangguk. “Muhun, Abah.”

Sementara di sudut yang lain tiga orang santri terlihat sedang membersihkan kamar dengan raut muka tak enak. Mereka kebagian roan di kamar tamu yang sudah lama tidak dipakai, letaknya pun persis paling pojok sebelah barat dekat dengan pintu belakang.

“Kenapa sih harus pakai kamar tamu segala?” keluh santri bersarung di atas betis itu. Ia membereskan barang-barang yang berserakan.

Temannya yang berpeci lusuh menjawab sembari membersihkan sarang laba-laba di langit-langit kamar. “Ya, supaya mereka nyaman atuh, Sir, merasa dihormati, dispesialkan. Kan mesti begitu pelayanan kita ke tamu tuh.”

Basir menoleh. Ia masih saja ngedumel. “Emang sespesial apa sih mereka? Semulia apa, Sim?”

“Hus! Abah nggak ngajarin kayak gitu, Sir. Sudah jangan ngedumel terus, nurut wae atuh,” kata Qosim memperingati.

Sejurus Basir celingak-celinguk mencari salah satu temannya lagi. “Ai si Harun kamana?”

“Paling di luar, nyebat.”

“Jeh ai budak teu ngabantuan kitu.”

Di teras kamar tamu itu rupanya ada seorang santri berambut gondrong tengah asik merokok. Ekor matanya menatap dari kejauhan sosok lelaki bertelanjang dada yang sedang melatih bela diri, di belakang kamar pengurus, sebelah utara. Saat Basir memanggil-manggilnya ia sama sekali tidak peduli.

“Harun, heh. Bantuan atuh,” suruh Basir nongol di balik pintu.

Tanpa menoleh Harun membalas, “Tanggung. Sebat dulu.”

“Awas, ya, pokoknya kamu yang nyamu sama ngepel.”

“Iya, santai wae atuh. Da tamunya juga belum pada datang.”

Basir heran kepada teman paling cueknya itu. Sebab dia santai saja merokok, tetapi pandangan matanya menatap ke sebelah utara.

Lihat selengkapnya