SAMBAT

iqbal syarifuddin muhammad
Chapter #2

Bab 1 PPL

Lantunan nadzom Amrity yang disenandungkan para santri tingkat dua itu mengalun merdu, seirama tepukan darbuka yang mengiringinya, pelan-pelan menyeruak ke setiap penjuru pondok pesantren Darul Jannah sore itu. Mereka menunggu kedatangan sang ustad pengajian. Sementara di sudut-sudut pesantren yang lain sejak tadi sudah dimulai pengajian bandungan maupun sorogan. Para santri amat khusuk menikmati suguhan napas kehidupan di pondok semi modern milik Kyai Hasan Basri ini, salah satu ulama terkemuka di Cirebon Barat.

Menjelang detik-detik bubarnya pengajian tingkat 6 di pendopo, seorang santri bersarung di atas mata kaki tergopoh-gopoh mendekat. Ia menyalami sang ustad yang melewatinya, lantas berseru kepada teman-temannya tanpa peduli doa majelis belum selesai disenandungkan.

“Woi ... Pengumuman tempat PPL wes diumumaken di mading,” teriaknya dengan wajah sumringah. Sepertinya ia mendapatkan tempat PPL sesuai yang diharapkan.

Sontak para santri tingkat akhir itu berseru heboh sambil membubarkan diri, keluar pendopo dan berlari tunggang-langgang menuju mading pondok.

Santri bersarung di atas mata kaki merangkul dua orang temannya. “Zaki, Marwab, kita sekelompok kih. Yey ...,” katanya senang.

Tidak sesuai ekspektasi, kedua temannya malah melepas rangkulannya sambil mendengus sebal.

“Idih, iyuhh banget.”

“Hhhh ... Bencana ini mah. Bencana aing sekolompok sama kamu mah Risman.”

Risman hanya nyengir kuda, memperlihatkan deretan gigi rapih namun ompong di tengah-tengahnya.

Mading di depan kantor pusat itu mendadak penuh sesak oleh gerombolan santri tingkat 6. Ada dari mereka yang berseru senang, karena satu kelompok dengan bestienya dan atau kebagian tempat PPL sesuai harapan. Ada pula yang bersemu sedih, mungkin ia mendapatkan tempat PPL yang menyedihkan atau mengesalkan, ya, berdasarkan cerita-cerita para senior.

Berbeda dengan ekspresi Trio A itu; Asad, Amjad dan Afif. Justru kening mereka mengkerut, pertanda heran sekaligus bingung.

“Kok cuma kita yang dapat tempat PPL di pondok pesantren,” keluh Afif. “bukannya biasanya di lingkungan masyarakat desa, ya.”

Asad memperbaiki letak pecinya, membiarkan poni rambutnya kelihatan. Ia bergumam, “Jati Mandala di mana tuh?”

Amjad mendesis. “Kayaknya di Tasikmalaya deh,” jawabnya menerka-nerka.

Afif terkejut. “Ha? Tasikmalaya. Jauh amat.”

“Deket lah dari sini sih, Fif,” sahut Asad sambil mengeplak pelan belakang kepala Afif.

“Ya wes, terima saja,” lirih Amjad pasrah.

Afif masih syok. “Semudah itu, heh?”

Amjad mengendikkan kedua bahu. Kemudian berlalu meninggalkan mading. Lelaki bermuka datar itu tidak mempermasalahkan di manapun tempat PPL-nya. Ia percaya pembagian tersebut sudah didiskusikan pihak-pihak penting, terutama Kyai Hasan. Jadi tidak sembarangan asal pilih, apalagi lewat jalur undian.

Rupanya perkara tempat PPL yang didapat Trio A itu masih saja dibahas tatkala mereka makan sore bersama. Bahkan beberapa teman yang lain pun ikut keheranan.

Lagi-lagi Afif mengeluh di sela-sela makan dalam satu nampan. “Aku sempat tanya ke Ustad Ibad, tapi dia malah bilang gini 'ngko ge dipai weruh' apa nggak kesal coba,” cicitnya sambil meniru nada bicara ustad terkemuka itu.

Keempat temannya menatapnya datar sambil berseru kompak, “NGGAK!”

Lantas kembali menyantap nasi berlaukan oreg kering, capcai, gorengan dan remukan kerupuk.

Afif mendecak sebal. Dalam situasi seperti ini bisa-bisanya tidak ada yang mendukung kekesalannya.

Lihat selengkapnya