SAMBAT

iqbal syarifuddin muhammad
Chapter #6

Bab 5 Perjalanan

Selepas subuh Ustad Ibad dan Trio A kembali melanjutkan perjalanan. Kabut masih tampak tebal tatkala mobil pick up yang mereka tumpangi menyusuri jalanan beraspal. Pendar cahaya matahari menelisik tipis di ujung timur sana, membuat hamparan langit menggelap itu perlahan-lahan membias terang dari detik ke detik.

Ustad Ibad menerima tawaran Kang Maman untuk ikut menaiki mobil pick up-nya. Katanya sekalian saja, mumpung searah. Ia sendiri hendak menyambangi depot perkebunan sayuran. Nanti mereka turun di pertigaan Jati Layung, terus melanjutkan perjalanan menggunakan ojek sampai tiba di pondok pesantren Alhikmah desa Jati Mandala. Begitulah kira-kira Kang Maman memberikan arahan kepada lelaki berjanggut tipis itu selaku koordinator PPL Ramadhan.

“Biasanya mah sama si Ridho, Kang, sepupu saya kalau mau ambil sayuran tuh. Dia lagi kurang enak badan katanya. Nah, nanti sayuran-sayuran itu langsung dikirim ke pasar buat dijual dan juga diantar ke warung-warung,” kata Kang Maman menjelaskan sambil menyetir mobil.

Sedari tadi Ustad Ibad di sampingnya bertanya banyak hal, terutama seputar kegiatan sehari-hari Kang Maman.

“Oalah, begitu, tho. Setiap pagi itu tuh, Kang?” tanya Ustad Ibad lagi antusias.

“Iya, setiap pagi. Tapi saya mah cuma bertugas ngambil sayuran saja, Kang, kalau yang jualnya mah lain lagi.”

Ustad Ibad manggut-manggut. Rasa-rasanya mengobrol dengan Kang Maman tak akan cukup kalau hanya sehari. Ada banyak pelajaran dan pengalaman hidup yang bisa disimpan untuk bekal nanti setelah selesai mondok.

Mobil pick up berwarna hitam itu terus melaju tenang menembus kabut dan jalanan remang-remang. Hanya sesekali kendaraan lain terlihat hilir mudik berseliweran.

Asad, Amjad dan Afif duduk di bagian belakang. Asad memilih berdiri pada senderan mobil, menikmati hembusan angin subuh serta pemandangan menggelap sejauh mata memandang. Beberapa kali ia mengabadikan momen tersebut lewat kamera ponselnya. Di samping kirinya ada Amjad yang sibuk dengan dzikir pagi mungkin sambil menyender ke badan mobil. Sementara Afif tertidur meringkuk di balik selimut sejak mereka berangkat.

“Jad, sini temenin aku. Sibuk dzikir bae kamu, sih, ya. Nikmatin perjalanan kita. Kapan lagi coba,” ujar Asad mengomentari Amjad. Dari sekian banyak temannya di pondok, sepertinya hanya Amjad yang aktif mendawamkan amalan sehari-hari. Tetapi satu hal yang kadang membuat Asad heran sejak dulu, Amjad selalu memilih suasana yang sepi. Bahkan untuk urusan solat berjamaah pun ia istiqomah berada di pojok belakang masjid.

Amjad manut. Ia menutup kitabnya, menyimpannya ke dalam tas. Kemudian ikut berdiri di samping Asad.

Woosh!

Seketika angin berhawa dingin itu langsung menerpa wajahnya.

“Wuuaahh ... Sejuk sekali bukan?” seru Asad sembari merentangkan kedua tangannya lebar-lebar. Kini mobil pick up yang mereka tumpangi melewati terasering hamparan persawahan.

Amjad memejamkan kedua belah matanya. Ia hanya bergumam, berusaha menikmati setiap hembusan angin sejuk itu.

Tak berapa lama Asad kembali membuka topik bicara. “Oh, ya, Jad, kamu wes persiapkan bahan-bahan buat ceramah atau kultum nanti?” tanyanya setengah berteriak.

Amjad manggut-manggut. “Sudah,” jawabnya pendek. Lalu membalikkan badan.

“Wihh, mantep, yo. Hafalan surat, doa habis solat tarawih, dan banyak hal lainnya juga sudah kamu persiapkan tho?”

“Iya, sudah, Asad Qorinullah.”

Asad menepuk pundak Amjad. “Kamu memang yang terbaik, Jad. Beruntung banget aku sekelompok sama kamu loh.”

Amjad mendelik. “Ha?”

“Iya, kan kalo aku lagi nggak siap buat ngisi kultum atau doa-doa, bisa kamu yang maju, Jad. Iya, kan?” Asad menaikturunkan sebelah alisnya.

Amjad mendecak. “Enak saja. Ya, nggak bisa gitu lah.”

Asad cengengesan. “Hehe.”

“Makanya gunakan waktumu sebaik mungkin. Biar produktif. Biar tercover semua to do list yang kamu inginkan. Lagipula ....”

Cepat-cepat Asad memotong ucapan Amjad. “Ok. Stop. Cukup-cukup, Jad.”

Sengaja sekali lelaki berwajah glowing itu menghentikan ucapan Amjad. Sebab ia sudah memperkirakan temannya itu pasti akan ceramah panjang kali lebar. Ya, sepertinya lebih baik Amjad jadi sosok pendiam saja.

Amjad mengendikkan kedua bahu. Lalu memutuskan duduk kembali. Ia mendekati Afif, hendak membangunkannya.

Sesuai prediksi Kang Maman, tatkala mobil pick up yang dikendarainya tiba di pertigaan Jati Layung, cahaya matahari sudah nampak keberadaannya. Hamparan terasering sawah yang menguning itu kian berkilau oleh sorot sinar matahari pagi. Semakin indah dan menakjubkan sejauh mata memandang.

Kang Maman berpamitan dengan Ustad Ibad dan Trio A. Ia pun menitipkan salam untuk Mang Najeeb. Tentu saja sebelumnya ia berbicara dengan beberapa tukang ojek yang sudah memarkir di pinggir jalan, memberikan ultimatum untuk mengantarkan rombongan ke pondok pesantren Alhikmah.

Sepeninggal Kang Maman, Ustad Ibad dan Trio A kembali meneruskan perjalanan menggunakan ojek. Keempat sepeda motor bebek itu mulai menyusuri jalanan beraspal yang lebarnya seukuran dua sepeda motor. Orang-orang berpakaian petani sudah nampak memadati tiap titik petak sawah. Rupanya puasa Ramadhan tidak menghalangi mereka untuk tetap bekerja keras. Nun jauh di sana terlihat gerombolan kerbau berjalan pelan. Tak ketinggalan pula rombongan burung-burung berkelebat melintasi permadani langit biru tanpa awan itu.

Setengah jam selanjutnya rombongan Ustad Ibad mulai menyusuri pepohonan lebat nan tinggi di kanan-kiri jalan. Bahkan track jalan yang dilalui cukup berbahaya, berupa bebatuan terjal serta berkelok tajam. Tak berapa lama mereka disuguhi pemandangan jurang di sebelah kiri jalan. Afif bergidik ngeri sambil berpegangan erat ke pinggang si tukang ojek.

“Santai saja, Mas. Aman kok. Saya sudah berpengalaman lewat sini,” celetuk lelaki berumur empat puluh tahunan itu yang membonceng Afif. Ia terkekeh geli.

“Bu ... Bukan masalah itu, Mang. Cuman i ... itu jurang ngeri banget,” cicit Afif terbata-bata sembari sekilas melirik ke arah kiri, lalu bergidik ngeri dan kembali memalingkan pandangan.

Asad yang kebetulan berada tak jauh di sebelah kanannya mencibir, “Uhhhh dasar nauman. Sekarang sih ora bisa turu, yo. Haha.”

Afif mendelik sengit. “Meneng kon, Asad.”

Asad tertawa lepas sambil mengarahkan kamera ponselnya ke arah Afif.

Melihat dirinya malah ditertawakan sembari di-shot, Afif mengomel, “Woi, Asad, sampean lagi apa sih? Aja nyuting-nyuting kita.”

“Lah, lah, ya, terserah aku dong. Weeee ....” Asad menjulurkan lidahnya, berlagak meledek.

Amjad yang posisinya paling belakang sedari tadi tampak tenang dibonceng oleh tukang ojek. Ia menatap setiap jengkal pemandangan di sisi kanan-kiri jalan, entah pikirannya berkelakar ke mana atau mungkin hatinya berucap dzikir sepanjang perjalanan.

Sementara Ustad Ibad berada paling depan. Ia sesekali mengecek ponselnya, kalau-kalau mendapatkan sinyal. Sesekali pula bertanya banyak hal kepada si tukang ojek.

“Jati Mandala memang desa paling ujung, Mas. Terutama pondok pesantren Alhikmahnya itu. Nah, sekelilingnya kalau bukan perkebunan, persawahan, ya, hutan belantara, Mas,” ujar Pak Slamet, tukang ojek yang memboncengi Ustad Ibad tatkala ia bertanya perihal keberadaan desa Jati Mandala.

“Oalah pantas, ya, Pak, kalau malam nggak ada angkutan umum kayak ojek yang mangkal gitu.”

“Ya, nggak ada, Mas, rawan juga kalau malam sih, nggak ada penerangan jalan.”

“Lah, terus orang-orang sana, khususnya pesantren Alhikmah, kalau kepepet mesti bepergian malam bagaimana tho, Pak?”

“Ya, mereka mau nggak mau mesti lewat jalan lain, Mas, tapi mesti muter nantinya, jauh lagi.”

Ustad Ibad manggut-manggut. “Oalah, nggih, nggih.”

Rute perjalanan mereka selanjutnya ialah jembatan gantung sepanjang sekitar tiga ratus meteran. Pemandangan di bawahnya berupa aliran sungai memanjang nan lebar. Hujan deras yang mengguyur sejak malam membuat air sungai meninggi serta menghanyut deras.

Lihat selengkapnya