SAMBAT

iqbal syarifuddin muhammad
Chapter #7

Bab 6 Realita

Kiai Abbas, Fayed dan Trio A mengantar Ustad Ibad sampai ke depan gerbang pondok Alhikmah. Lelaki berjanggut tipis itu berpamitan. Tak lupa ia berpesan kepada Asad, Amjad dan Afif supaya menjaga adab dan tingkah laku selama melaksanakan PPL Ramadhan.

“... Jangan neko-neko juga. Nggih?

Ketiganya menjawab tegas, “Nggih, Ustad.”

“Jangan sungkan. Nanti kalau ada apa-apa telepon Ustad, ya. Baik-baik di sini. Jaga kesehatan dan yang terpenting lagi jaga nama baik pondok pesantren Darul Jannah.”

Ketiganya mengangguk takzim. Mereka menyalami punggung tangan ketua PPL Ramadhan itu.

“Kalau begitu Ustad pamit. Assalamualaikum,” kata Ustad Ibad.

Waalaikumsalam, Ustad.”

Selepas Ustad Ibad menyalami Kiai Abbas dan Fayed, ia segera menaiki motor butut yang dinaiki seorang santri berambut cepak. Fayed memintanya mengantar Ustad Ibad sampai terminal.

Monggo, Kiai, Fayed. Saya pamit. Assalamu'alaikum.”

Wa’alaikumsalam warohmatullah.”

Kiai Abbas segera mengultimatum, meminta Fayed memperkenalkan pondok pesantren Alhikmah kepada ketiga santri PPL Ramadhan itu. Ia sendiri memutuskan kembali ke rumah. Layaknya santri baru, mereka berkeliling ke setiap sudut pesantren sambil mendengarkan penjelasan Fayed.

“Oh, ya, Mang, berarti Kiai Abbas tinggal sendiri di rumah?” tanya Afif tatkala mereka melewati rumah Kiai Abbas.

Fayed menjawab sambil menaruh kedua tangannya di belakang. Ia berjalan lebih dulu. “Nggak juga, Fif. Terkadang beliau ditemani Bu Nyai Badriyah. Tapi Bu Nyai lebih sering stay di pondok pesantren Alhikmah putri, jadi Kiai Abbas pun seringnya di sana. Apalagi setelah anak semata wayangnya mempunyai putra kembar.”

“Memangnya di mana Mang letak pondok putrinya?” tanya Asad.

“Jauh dari sini, Sad, tapi justru lebih dekat dengan pusat kota. Jadi, ya, pondokan putri yang sekarang makin ramai dan maju.”

Asad, Amjad dan Afif cukup tahu perihal informasi yang disampaikan Fayed. Mereka paham situasi-kondisi. Tidak perlu bertanya terlalu jauh. Apalagi posisi mereka sebagai tamu.

Selanjutnya mereka berkeliling di sepanjang halaman depan kamar-kamar santri. Semua bangunannya terbuat dari kayu, lantainya pun dibuat menyerupai panggung. Satu-dua santri tampak duduk di teras kamar sambil menderas kitab, satu-dua yang lain tampak tertidur di dalam kamar yang pintunya terbuka.

Kontras sekali dengan suasana pondok pesantren Darul Jannah yang dihuni ribuan santri. Hiruk-pikuk keramaian berjamur di mana-mana. Bahkan dalam 24 jam itu hanya waktu malam tiba suasana akan terasa sunyi, namun tetap saja sekelompok santri masih terlihat bertugas menjaga pondok, tidak benar-benar sunyi sepi.

Ketiga santri itu merasakan hal yang sama. Keheningan menyelimuti tiap jengkal langkah mereka. Samar-samar terdengar suara pengajian di sebelah timur, suara angin yang menggoyangkan pepohonan tinggi dan rerimbunan pohon bambu di luar benteng pondok, serta kicauan burung-burung hutan yang terkadang membuat bulu kuduk merinding. Mereka sudah paham betul, kenapa pondok pesantren yang terletak di tengah-tengah hutan ini tampak sunyi-sepi. Termasuk alasan mereka di-PPL-kan di sini.

“Mang, maaf, saya sekalian nge-record, nggih? Buat bahan laporan nanti. Bagaimana, Mang?” tanya Amjad sambil berjalan di samping Fayed.

Lelaki berpakaian rapih itu tersenyum lebar, memperlihatkan dua buah gigi taringnya. “Nggak sama video kan? Hehe ... Saya malu kalau depan kamera euy.”

Amjad menggeleng. “Oh, nggak, Mang. Nggak. Suaranya saja.”

Fayed manggut-manggut. “Boleh, boleh, silakan.”

Amjad agak mendekatkan ponselnya ke arah Fayed. Ia kembali berujar, “Oh, ya, Mang, tadi sampai mana deh ....”

“Sampai–”

Rupanya Amjad maupun Fayed tidak menyadari gerak-gerik Asad dan Afif yang sejak tadi berjalan di belakangnya. Mereka pun tidak tahu bahwa kedua santri itu beberapa detik yang lalu memasuki salah satu kamar santri.

“Sad, ngapain, ih, masuk-masuk segala?” omel Afif sambil mengekor di belakang Asad.

Asad mendecak. “Berisik. Wong mau lihat-lihat aja. Sekalian dokumentasi buat laporan,” katanya beralasan. Ia merogoh ponsel yang tersimpan di saku jasnya.

Seketika lelaki berwajah glowing itu berbalik badan, menatap heran temannya. “Lah kamu sendiri kenapa ngikut aku?”

Afif gelagapan. “Eee ... Yaa ... Ng–nggak tahu.” Ia mengendikkan kedua bahu. “ngikut aja.”

“Awas loh! Jangan bikin kacau! Entar kita dikira maling lagi.”

Lihat selengkapnya