Semakin malam suhu udara di punggung gunung Galunggung meningkat drastis. Mungkin sekitar 15 derajat celcius. Terlebih musim penghujan telah menyapa sejak akhir bulan Sya'ban, dalam sehari bisa sampai dua-tiga kali hujan turun mengguyur cukup deras.
Seperti malam ini, pondok pesantren Alhikmah semakin dingin, gerimis tipis turun tatkala para santri melaksanakan rutinitas malam di bulan Ramadhan.
Lima buah lampu petromax menyala terang di pendopo. Trio A, Fayed dan dua orang santri lawas berkumpul membentuk lingkaran. Mereka hendak membahas projek PPL selama bulan Ramadhan.
“Sebentar, kita tunggu Mang Najeeb dulu,” kata Fayed mengultimatum. Meskipun sebagian besar kegiatan pondok dirinya yang bergerak, tapi tetap saja Mang Najeeb harus terlibat, sekalipun itu hanya melapor. Sebab lelaki berwajah dingin itulah sosok paling senior di sini.
Sekonyong-konyong orang yang ditunggu-tunggu itu pun muncul. Ia berjalan pelan di bawah naungan payung. Setelannya cukup sederhana, hanya mengenakan sarung bersalur, peci hitam dan jaket berwarna senada yang menutupi lehernya. Najeeb memutuskan duduk menyenderkan punggungnya ke tiang pendopo.
“Mangga, mangga dimulai,” ucapnya mempersilahkan. Lalu tangannya bergerak menyulut sebatang rokok.
Fayed memulai obrolan. “Baik. Kita langsung saja, ya, membahas progres ke depan. ....”
Di balik jendela kamar sebelah utara, yang dipisahkan oleh pepohonan rindang, Basir dan Harun mengintip diam-diam.
“Kalau sekarang nggak ada kesempatan, mending besok-besok ajalah. Ngantuk aku,” keluh Harun. Ia hanya mengintip sebentar ke arah pendopo. Setelahnya ia memilih menyenderkan punggungnya ke dinding, lantas berkutat dengan kitabnya.
“Iya, iya, kita ganti plan B.” Basir mendecak. Ia celingukan ke sana kemari. “si Qosim beneran jadi beli nggak sih? Dari tadi, teu nongol-nongol ai budak.”
Harun bergeming. Diam-diam ia memperhatikan secuil kertas bertuliskan aksara Sunda, yang sebelumnya ia sembunyikan di balik lipatan peci.
“Naon eta, Run?” tanya Basir penasaran saat ekor matanya melihat ke arah kertas kecil di tangan Harun.
Cepat-cepat Harun meremas kertas tersebut. Lantas memasukan ke dalam saku bajunya. “Lain naon-naon, ah. Coretan biasa.”
Basir tersenyum simpul. Ia menyenggol pundak temannya itu, yang kini berganti, pura-pura sibuk menderas kitab.
“Hayo. Rajah-nya? Biar kuat dan tahan lama di ranjang kan? Haha,” godanya tergelak lirih.
“Heeh. Biar kuat lima ronde semalaman.”
“Wadau. Maenya euy? Hihi. Hayang atuh.”
Pletak!
Harun menyentil kening kening Basir. “Masih bocil sia mah.”
“Huuuu ... Gini-gini aku udah bisa kencing lurus, ya. Mohon maaf.”
“Udah sana perhatikan! Nanti meleset, gagal aksi malam ini,” suruh Harun sembari memutarkan kepala Basir, supaya melihat ke luar.
Di pendopo, sejak tadi Amjad menjelaskan banyak hal terkait planing yang sudah direncanakan. Terutama kegiatan-kegiatan yang menunjang skill para santri. Jadi mereka nantinya bukan hanya berkutat dengan pengajian-pengajian saja. Aktivitas yang mereka sukai pun, sekiranya dapat diasah sedemikian rupa.
Mendadak pandangan mata Amjad buram. Kepalanya terasa berat. Ia seperti mau jatuh pingsan. Tapi untungnya Najeeb langsung menyambung bicara saat ia menjeda ucapannya. Tidak membuat orang lain cemas.
“Jad, Amjad, kamu kenapa?” tanya Asad di sampingnya. Ia menangkap perubahan ekspresi Amjad dalam beberapa detik.
Amjad menggelengkan kepala beberapa kali, lantas kembali tersadar. Ia menghembuskan napas kasar. “E ... Nggak. Aman-aman, Sad,” lirihnya. Cangkir yang berisi teh hangat di depannya ia raih.
Di tengah-tengah jeda pembahasan, Afif mengacungkan tangan. Ia izin hendak ke toilet.
Melihat salah satu santri PPL itu keluar dari pendopo dan berjalan menuju area belakang pondok, Basir langsung heboh. “Gasss ... Ayeuna pisan!”
Basir dan Harun langsung melancarkan aksinya.
***
Afif tertegun melihat pemandangan toilet di depan matanya. Ia mendecak. “Wayahe ... Wayahe ....”
Dengan penerangan cempor yang seadanya, Afif masih bisa melihat bilik-bilik itu, dindingnya terbuat dari bambu. Kolahnya dibuat memanjang, jadi masih ada celah antara bilik satu dan lainnya.
Lagi-lagi Afif mendecak saat didapati air kolah nyaris habis, hanya tersisa secuil. Alhasil ia harus menimba air dari dalam sumur. Sangat tidak mungkin kalau ia memutuskan kencing dan batu sebagai alat pembersihnya.
KREKET! KREKET!
Suara timba berderit tatkala Afif mengambil air dari sumur. Berkali-kali ia meneguk ludah dalam-dalam, seiring degup jantungnya berpacu lebih cepat. Ia membatin, “Fif, aman kok. Nggak ada apa-apa. Kamu nggak usah noleh. Fokus aja ke depan. Ok?”
Hanya satu cempor yang menerangi area sumur. Tentu saja di sekeliling yang lain gelap gulita. Suara-suara serangga hutan tak henti-hentinya mengisi suasana malam yang anyep dan hening. Hanya terdengar samar-samar suara santri tadarus. Juga tetesan gerimis yang tersisa menghunjam atap. Semilir angin dingin terasa menusuk, membuat Afif semakin merapatkan jaketnya.
Sebuah suara berisik terdengar di sebelah utara.
KRESEK! KRESEK! KRESEK!
Refleks Afif menoleh. “Siapa tuh?”
Detik berikutnya terdengar seperti suara cekikikan anak kecil. “Hihihi.”
Deg!
Bola mata Afif membulat. Bulu kuduknya merinding. Buru-buru ia selesai mengambil air. Lantas masuk ke dalam salah satu bilik, mempercepat buang hajatnya.
Disaat itulah seketika Afif mencium aroma kemenyan.
“Duh, apalagi ini?” lirihnya hampir tak terdengar.
Semakin lama aroma kemenyan itu semakin semerbak menusuk hidung. Lagi. Terdengar suara berisik.
KRESEK! KRESEK! KRESEK!
Cepat-cepat Afif menuntaskan hajatnya. Kemudian berlari terbirit-birit meninggalkan toilet.