Pukul tiga dini hari sekelompok santri membangunkan seluruh penghuni pesantren. Mereka menabuh peralatan sederhana seperti galon, ember serta lembaran seng bekas, berkeliling ke setiap kamar dan bangunan lain yang memungkinkan ada santri yang masih tertidur.
Seketika kantin pondok dipenuhi para santri. Pihak pengurus kantin sudah menyiapkan nampan-nampan berisi nasi. Perwakilan kelompok yang terdiri dari tiga sampai lima orang, mengantri di meja laukan.
"Buat berapa orang?" tanya salah seorang pengurus kantin.
Santri berwajah kusut itu menjawab, "Lima, Mang."
Sambil memasukkan laukan berupa sayur toge, oreg tempe dan potongan telur dadar, si pengurus kantin basa-basi. "Siapa aja?"
"Erul, Niam, Husni, Kevin sareng abdi."
Asad, Amjad dan Afif berdiri di dekat pintu kantin, memperhatikan suasana sekitar. Mereka menunggu instruksi dari Mang Fayed, katanya sudah dipersiapkan nampan khusus buat mereka. Tapi entah sedang ke mana lelaki berjanggut tipis itu.
"Nggak jauh beda, ya, kayak santri-santri di pondok kita," celoteh Afif memulai obrolan. Sesekali ia menguap. Semalam ia tidak bisa tidur, bukan hanya karena udara yang sangat dingin, tetapi juga karena peristiwa di toilet itu, yang membuat bulu kuduknya merinding.
"Bedalah. Lihat aja laukannya," balas Asad. Ia melipat kedua lengannya di depan dada, sembari menyenderkan punggung ke dinding kantin.
Dari keduanya hanya Amjad yang terlihat bermuka segar. Ia ikut-ikutan membalas, "Bersyukur."
Afif meledek, "Iya, huuu ... Awas aja entar, kalau ternyata pas makan kamu lahap juga."
"Ya, kan, aku cuma berkomentar."
Sejurus kening Asad mengkerut ketika melihat beberapa santri makan seorang diri, terutama menu di piringnya yang amat berbeda. Ada yang hanya berupa nasi putih, nasi jagung berwarna kuning, singkong rebus, bahkan sayuran mentah pun ada.
Asad mendesis. Ia menunjuk beberapa santri yang dimaksud. "Lihat deh mereka beda sendiri loh. Aneh banget. Apalagi yang itu tuh, koyok wedus bae mangane."
Pandangan mata Amjad dan Afif mengikuti arah telunjuk Asad.
"Lha, iya, ya? Kocak," celetuk Afif. Lagi-lagi ia menguap.
"Hus! Sembarangan," omel Amjad.
Asad bertanya, "Kenapa mereka, Jad?"
"Lagi tirakat mungkin," jawab Amjad pendek.
"Tirakat apa kayak gitu? Biar bisa terbang, heh? Serem banget pantangannya." Asad geleng-geleng kepala.
Amjad mengendikkan kedua bahu. "Entahlah."
"Kamu sanggup nggak, Fif, kayak gitu?" tanya Asad
Tak ada jawaban. Heran. Asad menoleh ke samping, ia tidak menemukan keberadaan Afif.
"Ke mana si Afif, Jad?" tanya Asad celingak-celinguk.
Sambil mengunyah snack Amjad menjawab, "Entahlah."
Dan ternyata lelaki itu malah meringkuk di teras kantin. Asad mendecak. "Eeeeh ... Bocah malah turu maning."
Di waktu yang bersamaan, tepatnya di area dapur pondok bagian dalam kantin. Basir tengah cekcok dengan Qosim perihal ide jahilnya lagi. Jadi Basir mengusulkan hendak menyembunyikan dua piring laukan berisi sayur capcay dan potongan tempe goreng milik santri PPL. Ada secuil kertas bertuliskan nama mereka di sana.
"Udah entar lagi aja, Sir, kasihan atuh mereka mau sahur," protes Qosim.
"Sebentar aja, Sim, mumpung ada kesempatan," kata Basir keukeuh.
"Terus habis itu mau kamu makan, heh? Haram."
"Ya, nggaklah. Kita lihat ekspresi cemas mereka, Sim, habis itu baru tak kasih."
Qosim menghela napas kasar. "Terserah kamu baelah. Aku nggak ikut-ikutan. Mending makan." Lelaki itu keluar dapur, lalu memutuskan duduk di samping Harun, yang sejak tadi terduduk memejamkan matanya. "Run, ageh dahar."
Omongan Qosim tak digubris, Basir tetap menyembunyikan dua piring laukan itu ke kolong meja dekat perapian. Lantas ia ikut gabung, makan bersama kedua temannya, sembari pandangannya tak henti-hentinya melihat situasi kondisi. Terutama ke arah tiga santri PPL itu, di dekat pintu masuk kantin.
Sekonyong-konyong Mang Fayed masuk dapur. Ia bertanya ke penjaga kantin soal dua laukan di dapur yang hilang. Rupanya lelaki berjanggut tipis itu tidak terlalu memusingkan. Ia justru membawa sebuah nampan berisi nasi dengan laukan ayam bakar, lalapan dan sambal.
Basir melongo. Apalagi melihat ekspresi ketiga santri PPL itu yang tampak senang disuguhi makanan sahur super nikmat oleh Mang Fayed.
"Yaah ... Gagal. Mana sahur pake ayam bakar lagi. Meni enak euy," keluh Basir bernada melas.
"Nggak nurut sih maneh mah," celetuk Qosim.
Tepat saat Fayed keluar kantin. Dengan air muka kesal, Basir membawa dua piring laukan yang tadi ia sembunyikan, lalu menyerahkannya kepada santri PPL itu. Tanpa bicara apapun. Amjad yang menerimanya memasang muka heran.
Sepersekian detik Fayed muncul. Ia memergoki Basir saat itu juga.
"Lah, Sir, kok ada di kamu laukannya?"
Basir terkejut. Ia nyengir kuda. "Hehe. Punten, Mang, tadi e ... ketuker, ketuker. Muhun," katanya tergagap, lantas kabur begitu saja.
Dan betapa terkejutnya Basir, tatkala hendak melanjutkan makan sahur, ternyata isi nampannya sudah habis, hanya menyisakan serpihan nasi dan laukan. Kedua temannya pun sudah tidak kelihatan batang hidungnya.
"Yahhh, kok dihabisin sih?" keluh Basir sedih.
***
Kedatangan santri PPL Ramadhan dari pondok pesantren Darul Jannah, nyatanya membuat banyak perubahan pada sistem pengajian pesantren Alhikmah. Hal itu pun yang membuat para santri antusias dengan gebrakan baru, walau tidak dipungkiri tradisi atau kebiasaan santri Alhikmah yang sudah ditanam sejak dulu tidak boleh hilang. Hanya ditambah hal-hal baru saja yang sifatnya positif.
Seperti pagi ini, Kiai Abbas tersenyum cerah, berdiri dibalik jendela ruang tamu seraya menatap ke luar, ke arah tiga santri PPL itu yang kini sedang mengajarkan pengajian pasaran soft skill di halaman pondok. Beberapa remaja dari desa Jati Mandala pun turut hadir menjadi peserta pengajian.
Sejurus telepon di ruang tengah berdering. Naseh selaku khodim Kiai mendekat.
"Punten, Bah. Aya nu nelepon," katanya menyerahkan gagang telepon.
Kiai Abbas tersenyum. Ia meraihnya. Sesaat sebelum Naseh pergi, ia berbicara, "Muhun. Nuhunnya. Oh, nya, Jang. Nanti kalau sudah beres langsung ke pasar saja, bila perlu bareng sama pengurus kantin. Mangga pakai motor Abah, kuncinya ada di laci."