SAMBAT

iqbal syarifuddin muhammad
Chapter #10

Bab 9 Peristiwa di Hutan

Seperti biasa rutinitas Asad sebelum tidur adalah merawat wajahnya. Kali ini ia melakukan exfoliasi, menghadap cermin sambil diterangi flash dari ponsel Afif.

"Ges, grup makin rame nih. Pada nge-pap ngabuburit lagi. Apalah daya kita di sini," ujar Afif dalam posisi tengkurap, kedua sikunya bertumpu pada bantal.

"Tinggal nge-pap aja, Fif. Hutan tuh di-pap sekalian," sahut Asad.

Afif mendecak. "Gak ada seru-serunya, yang ada malah serem." Terdengar helaan napas Afif. "coba kalau prediksi Ustad Ibad pas kumpulan waktu itu benar, ada air terjun segalalah, pemandangan indah ... Pasti tranding di grup."

"Buat apa sih nggak penting amat," celetuk Asad seenak jidat.

Amjad yang sejak tadi duduk di depan laptop menyambung, "Sampean wes laporan belum, Fif, di grup?"

"Santai-santai, ini lagi tak ketik. Bikin narasi yang bagus."

"Awas loh. Jangan sampai lupa!"

"Tenang. Serahkan semuanya padaku, Jad. Semua beres." Afif menaikturunkan sebelah alisnya. Amjad hanya membalas jengah.

"Aku kebagian apa, Jad?" tanya Asad melirik sekilas.

"Dokumentasi. Foto sama video."

"Lah, bantre ponselku habis, Jad. Mana nggak ada listrik lagi. Gimana dong?" keluh Asad. Kini ia menggunakan kipas portabel untuk mengeringkan wajahnya.

"Nanti nge-charge bareng di rumah Abah, sekalian laptop sama ponsel-ponsel kita. Aku wes bilang sama Mang Fayed," kata Amjad memberi tahu.

Afif mencomot cemilan dari dalam toples. Dalam keadaan mengunyah ia mengomel, "Lagian kenapa sih cuma di rumah Abah yang pake listrik? Kenapa nggak semuanya coba, jaman modern gini loh."

"Ya, tanya sono sama Abah kalau berani. Hhhhhh ...."

Amjad menimpal dengan nada serius, "Lagipula ada baiknya loh nggak ada listrik. Kita bisa fokus, manfaatin waktu sebaik-baiknya, nggak main ponsel terus ...."

Asad dan Afif mulai sadar diri. Keduanya saling melirik dan berdehem, tanpa mempedulikan ocehan Amjad yang bisa panjang sampai sahur. Maka Asad dan Afif kompak bangkit, membuat Amjad berhenti berbicara.

"Lah wes jam rolas bengi bae sih," seru Asad lebih dulu. Ia melirik jam yang tergantung di dinding.

Afif menyambung, "Walah iya, ya, wes bengi, ya. Yuk, ah, turu biar sahurnya bisa bangun."

Asad beranjak membereskan peralatan skincare-nya. Lalu memakai jaket yang menggantung di kastok. Begitupun Afif tidak jauh berbeda. Ia mematikan ponsel, menaruhnya ke dalam lemari. Kemudian menggelung tubuhnya dengan selimut.

Amjad hanya memperhatikan gerak-gerik kedua temannya. Ia sudah biasa diperlakukan seperti itu. Alhasil ia ikut-ikutan, mematikan laptop dan masuk ke dalam selimut.

"Tak matiin satu, ya, cempornya," kata Asad seraya mematikan salah satu cempor yang menggantung di dinding.

Ketiga santri PPL itu mulai merebahkan diri, beristirahat dalam dekap suhu udara malam yang menggigit. Tidak lagi kedinginan seperti di awal-awal. Mereka sudah mulai terbiasa dengan segala hal yang ada di pondok pesantren Alhikmah.

Baru juga ketiganya setengah terlelap. Mungkin sekitar lima belas menit. Lamat-lamat terdengar suara berisik di belakang kamar.

KRESEK! KRESEK! KRESEK!

Disusul suara gedebuk, seperti sebuah benda besar yang jatuh ke tanah. Selanjutnya lantai kamar mereka seperti ada yang menggedor-gedor tiga kali.

DUG! DUG! DUG!

Bunyinya terdengar pelan dan berjeda. Setelah itu menghilang. Senyap lagi yang tersisa. Hanya suara-suara hewan malam menemani waktu istirahat para insan pencari ilmu itu.

Afif merubah posisi tidurnya, berbaring menghadap Asad. Telinganya terlalu peka. Ia langsung terbangun dengan keringat dingin membanjiri keningnya seiring bulu kuduknya merinding.

"Sad, denger nggak suara-suara tadi?" bisik Afif pelan.

Sebetulnya Asad pun mendengar, tapi berusaha mengabaikan. Dengan kedua belah mata terpejam, ia membalas, "Udah abaikan aja, Fif. Tidur. Palingan santri-santri yang usil."

"Tapi ini ketiga kalinya loh aku denger, Sad. Aku takut."

Asad tak membalas. Merasa diabaikan, Afif mendecak kesal. Selimutnya ia tarik menutupi seluruh tubuhnya.

Sekitar sepuluh menit berlalu, suara itu kembali terdengar. Kali ini seperti ada yang melempari genteng kamar mereka menggunakan kerikil kecil. Disusul suara dinding geribik yang dipukul tiga kali.

DUG! DUG! DUG!

Selanjutnya menghilang lagi.

Afif ketakutan. Ia meneguk ludah dalam-dalam. Kepalanya menyembul keluar. "Amjad kamu belum tidur kan? Kamu denger kan suara-suara itu?"

"Hmm." Hanya itu Amjad membalas. Sementara Asad di sampingnya sudah terlelap.

"Apa sih, Jad, itu? Duh, ya, ...." Afif meringis.

Sejatinya Amjad pun jadi tidak bisa tidur. Ia sama sekali tidak berpikir itu berasal dari makhluk halus. Justru ia memprediksi pasti ada santri yang iseng mengganggu ketenangan mereka.

Dan benar saja dugaan Asad dan Amjad, di belakang kamar tamu tanpa penerangan sedikitpun, Basir dan Qosim saling pandang. Mereka terkejut tiba-tiba mendengar suara pintu kamar terbuka, lalu suara langkah kaki menginjak lantai kayu.

KREKET! KREKET! KREKET!

Tanpa menunggu lama-lama lagi, keduanya langsung kabur tunggang-langgang, tanpa mempedulikan Harun yang sejak tadi hanya menonton di balik sebuah pohon, tidak terlalu jauh letaknya dari kamar tamu.

Beberapa detik setelah kaburnya Basir dan Qosim, langkah kaki itu terhenti. Lantas terdengar seperti sebuah langkah kaki menginjak rerumputan.

Dari radius tujuh meteran itu, bola mata Harun seketika membulat. Rokok di sela-sela jarinya terjatuh seiring tenggorokannya serasa tercekat. Ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri, di sana, di belakang kamar tamu itu, ia melihat dua bola mata merah menyala ngeri di antara kegelapan malam. Namun tidak terlihat sosok nya seperti apa. Dan tubuh Harun bergetar ketakutan tatkala selanjutnya terdengar sebuah suara berat yang tidak ia pahami artinya.

"METU! METU! MENE METU!"

Sepersekian detik suara menyeramkan itu hilang, bersamaan bola mata merah menyala itu. Buru-buru Harun bergegas pergi dari balik pohon, menyusul kedua temannya.

***

Fayed berkeliling mengecek kamar-kamar santri. Sebagian besar memang sudah pada tidur. Sesekali ia menyuruh santri yang masih terjaga, walau jarum jam sudah menunjukkan angka satu dini hari.

Dari kejauhan lelaki berjanggut tipis itu melihat sosok yang ia kenal tengah duduk di kursi dekat kantor pusat. Keningnya mengkerut dan senyumnya mengembang mengetahui sosok santri bermuka datar itu.

"Jad, Amjad," sapanya pelan.

Amjad hanya menatap lurus, ke arah gerbang benteng di sebelah barat, tanpa menyahut panggilan padanya. Bibirnya bergerak-gerak seperti melafalkan sesuatu.

Sekali lagi Fayed memanggil, kali ini sambil menepuk pundak Amjad.

"Amjad. Hei, lagi apa?"

Seketika Amjad tersadar. "Eh, Mang Fayed." Ia berusaha tersenyum kecil.

Lihat selengkapnya