Kegiatan permainan bola voli baru saja selesai. Para santri mulai sibuk menyiapkan buka puasa. Mereka berduyun-duyun menunju kantin, hendak berburu takjil.
Amjad mendadak cemas. Sebab Afif belum juga kelihatan batang hidungnya. "Sad, kok Afif lama, ya? Belum pulang juga dia," tanyanya kepada Asad yang saat itu tengah menggulung jaring-jaring voli.
Asad celingak-celinguk. "Iya, ya. Tapi katanya dia pergi sama Mang Basir. Santri lama yang udah kenal masyarakat desa."
"Masalahnya ini udah mau magrib. Apa kita tanya Mang Fayed aja?"
"Kayaknya nanti aja deh, Jad, kalau habis magrib belum juga datang, baru kita lapor. Khawatirnya dia cemas, terus geger seisi pondok, berpikir yang nggak-nggak. Gimana loh, berabe tho," kata Asad.
Perkataan Asad memang masuk akal. Maka untuk saat ini Amjad memilih berpikir positif, mungkin saja Basir mengajak Afif buka puasa di rumah salah satu kenalannya di sana atau mereka diajak buka puasa bersama para pemuda.
Amjad menatap langit yang kian menggelap. Sesekali kilatan petir terlihat menjalar lepas, bersamaan suara menggelegar samar-samar terdengar, membuat hati Amjad belum sepenuhnya tenang.
***
Dari sekian banyak aksi jahilnya itu, kali ini Basir benar-benar menyesal. Kenapa ia begitu tega melakukannya? Ia tega membiarkan santri PPL itu ditinggal sendirian, tanpa memikirkan risiko buruk yang akan terjadi. Dan benar saja, hal yang tidak pernah ia bayangkan pun terjadi. Basir kehilangan jejak Afif. Ia harus mencari ke mana lagi?
Napas Basir berderu. Ia berjalan setengah berlari sambil meneriaki nama Afif. Diujung rasa keputusasaan dan penyesalan yang mendalam. Tiba-tiba ia mendengar sebuah teriakan di sebelah barat, disusul bunyi gedebuk cukup keras.
Sontak tanpa pikir panjang Basir berlari ke arah sumber suara. Ia tidak peduli semak belukar penuh duri itu melukai telapak kakinya yang tanpa alas. Ia tidak peduli pakaiannya kotor terkena tanah saat menuruni turunan tanah. Yang ia pedulikan hanyalah keselamatan lelaki itu. Ia harus menemukannya, sekalipun ia harus mencari-cari di antara kegelapan malam dan kengerian hewan hutan.
"Afifff ...," teriak Basir saat samar-samar ia melihat tubuh orang yang ia cari tampak tergeletak di bawah.
Beberapa kali Basir menepuk-nepuk wajah Afif. "Fif, bangun, Fif. Afif ... Bangun," lirihnya di sela-sela deru napas tertahan.
Afif tak merespon. Ia tak sadarkan diri. Maka dengan segenap perasaan lega, Basir membawa tubuh lelaki itu di pundaknya, berjalan menaiki tanjakan tanah, dalam suasana hutan yang semakin menggelap.
Di waktu yang bersamaan Amjad dan Asad menunggu di depan gerbang pondok. Cahaya yang berasal dari cempor dan patromax sudah menyala keseluruhan, menerangi setiap penjuru pondok pesantren Alhikmah. Adzan magrib telah berkumandang beberapa menit yang lalu. Kini para santri sedang menikmati aktivitas berbuka puasa.
Amjad dan Asad hanya sempat meminum air putih. Mereka terlalu mencemaskan keberadaan Afif dan Basir. Mendadak muncul perasaan tak enak.
Sekonyong-konyong Fayed menghampiri keduanya dengan tanda tanya besar di kepala.
"Ada apa, Amjad, Asad?" tanyanya heran.
Amjad melapor, "Afif, Mang. Afif sama Mang Basir belum juga pulang."
Sejurus air muka Fayed berubah, terlihat agak cemas. "Yang benar saja, Amjad? Mereka belum datang dari tadi?"
"Iya, Mang. Makanya kami cemas."
"Apa mungkin mereka buka puasa bersama masyarakat sana, Mang?" tanya Asad menerka-nerka.
"Bisa jadi sih, Sad. Tapi, entahlah ...."
Fayed langsung menghadap beberapa santri yang baru datang, sepertinya mereka habis mengikuti pengajian pasaran di luar pondok. Sebab di salah satu surau di desa Jati Mandala, ia mendengar ada yang mengadakan pengajian pasaran kitab yang tidak dikaji di pondok.
"Mang Erul, Wildan, tadi kalian lewat jalan mana?" tanya Fayed to the point.
Santri berpeci rotan menjawab, "Jalan desa atuh, Mang. Kunaon kitu?"
"Tadi kalian lihat Mang Basir sama Mang Afif nggak?"
Beberapa santri itu saling lempar pandang, bertanya satu sama lain.
"Nggak, Mang. Nggak kayaknya."
"Iya, Mang. Nggak ada. Tadi kita cuma berlima."
Fayed mulai panik. Begitupun Amjad dan Asad di belakangnya.
"Ka bener, heh?" tanya Fayed bernada lebih tinggi. Sebab hanya segelintir santri yang selama ini keluar-masuk pondok dan pulang saat larut.
Kelima santri itu manggut-manggut. Santri berpeci rotan kekeuh menjawab, "Muhun, Mang. Benar. Kita nggak ada pada lihat."
Fayed nyebut, "Innalilahi ... Eta budak ka marananya?"
Pada saat itu juga sejurus Asad berteriak, "Itu mereka datang, Mang."
Seluruh mata tertuju pada Basir yang terseok-seok menggendong Afif di punggungnya. Pakaian keduanya sudah kotor tidak keruan. Fayed, Amjad dan Asad menyerbu, begitu pula kelima santri itu.
"Basir, ada apa ini?" pekik Fayed bertanya dengan muka garang.
Pekikan lelaki berjanggut tipis itu rupanya mengusik Qosim, Harun dan beberapa santri yang lain, yang hendak masuk ke masjid. Mereka menghampiri kerumunan di depan gerbang.
Dengan wajah kotor menahan tangis, Basir menjawab terbata, "Pa ... Pangampura abdi."
Afif tersadar saat Amjad dan Asad berusaha mengambil tubuhnya. Dan serta merta Afif memeluk Asad sambil menangis tersedu-sedu.
"Sad ... Asaaad ... Aku takuut. Aku takut, Sad. Tolong akuuu ...," rengek Afif seperti orang yang ketakutan. Ia memeluk tubuh Asad erat-erat.
Semua yang ada di situ cemas sekaligus bertanya-tanya. Apa yang sebenarnya terjadi?
Basir ditodong pertanyaan dari Fayed, Amjad, Harun dan Qosim.
"Ada apa, Sir?"
"Kalian kenapa sih?"
"Kenapa Afif jadi begini?"
“Basir, jelasin apa yang terjadi!”
Dan berbagai pertanyaan lainnya yang membuat Basir semakin tersudut. Ia menahan untuk tidak menangis. Tubuhnya beringsut turun.