SAMBAT

iqbal syarifuddin muhammad
Chapter #12

Bab 11 Sambat

Pengajian pasaran pagi itu bubar lebih cepat. Para santri digiring berkumpul di depan rumah pengasuh. Akan ada perpisahan Abah yang akan berangkat umroh ke Tanah Suci Makkah. Walaupun acara besarnya diadakan di pondok pesantren Alhikmah Putri, bersama rombongan lain. Tetap saja Kiai Abbas ingin berpamitan sekaligus meminta doa oleh santri-santri putranya.

Fayed memimpin jalannya acara. Najeeb kebagian membaca doa. Dan tak lupa Kiai Abbas memberikan sepatah dua patah kata.

"... Jangan lupa ngaji, ngaji dan ngaji. Mumpung di pondok, pergunakan waktu sebaik mungkin. Apalagi sekarang ada santri PPL. Raup ilmu-ilmu mereka sebanyak mungkin. Dan tentu saja mumpung bulan Ramadhan juga, beribadahlah yang rajin. Muga-muga santri-santri Abah suatu saat nanti bisa berangkat ke Tanah Suci Makkah. Aamiin."

"Aamiin ...."

Selanjutnya Qosim mengumandangkan adzan. Semua yang hadir menunduk dalam serta mendengarkan baik-baik.

"Allahu akbar ... Allahu akbar ...."

Prosesi perpisahan itu telah selesai, Kiai Abbas berjalan menuju mobil yang terparkir di halaman pondok. Para santri mengantri untuk bisa mencium punggung tangan sang Kiai. Tak henti-hentinya Kiai Abbas tersenyum dan mendoakan mereka.

Sesaat sebelum mobil Avanza hitam itu meninggalkan halaman pondok. Kaca depan sebelah kiri terbuka. Najeeb paham, ia mendekat.

Kiai Abbas berbisik di samping telinganya. "Peupeujeuhnya, Jang. Abah nitip pondok. Jaga!"

"Muhun, Bah. Insya Allah." Najeeb mencium sekali lagi punggung tangan keriput itu.

Mobil yang dikendarai oleh Rasyid, selaku putra tunggal Kiai Abbas, mulai melaju meninggalkan pondok pesantren Alhikmah. Para santri membubarkan diri masing-masing.

"Mang, katanya tiap bulan Ramadhan Abah Yai berangkat umroh, ya?" tanya Afif kepada Fayed yang berdiri di sampingnya.

"Iya, benar, Fif."

Asad ikut nimbrung. "Berapa lama biasanya, Mang?"

Kening Fayed mengkerut. "Hmm ... Biasanya sih lima belas hari. Tapi pernah juga setelah lebaran baru pulang," ujarnya memberi tahu.

Afif manggut-manggut. "Walah, luar biasa, ya."

"Alhamdulillah."

Sekonyong-konyong Basir mendekat. Ia mengajak Afif untuk mengecek kebun belakang pondok. Kebetulan ia disuruh memanen sayuran oleh Mang Adnan, pengurus kantin.

Melihat keakraban kedua santri itu, Asad meledek, "Wihhh ... Afif, wes bestian tah sekieun?"

Afif mendelik sengit. "Bestie apaan, heh?"

Asad dan Fayed terkekeh geli. Nyatanya peristiwa di hutan itu, mengantarkan mereka pada hubungan pertemanan yang erat.

***

Tiga malam setelah kepergian Kiai Abbas, pondok pesantren Alhikmah terasa berbeda. Hujan mengguyur setiap malam. Hawa dingin semakin menguar menusuk kulit. Rasa-rasanya ini seperti hawa dingin yang berbeda. Semilir angin malam, membuat bulu kuduk merinding. Semakin malam suasana pondok kian terasa anyep dan hening.

Sebagian besar santri merasakan hal yang sama. Perasaan tak enak yang mulai menjejal jiwa mereka.

"Tumben pisan dinginnya kagila-gila," ujar Basir menggelung di dalam sarung.

Seperti biasa ia bersama Qosim dan Harun melaksanakan piket jaga malam. Sesuai takjiran yang mereka dapat. Sebetulnya mereka hanya personil tambahan, piket jaga malam sesungguhnya tetap mengikuti jadwal yang sudah dibuat.

"Run, udah nyala belum apinya?" tanya Basir kepada santri berambut dicepol itu, yang tengah duduk di depan perapian.

"Bentar lagi," jawab Harun. Ia masih berupaya menyalakan api. Potongan kayu dan tanah yang lembap, menyulitkan api membakar cepat.

Sekonyong-konyong Qosim dan ketiga santri lainnya datang sambil menyoroti sekeliling menggunakan senter. Mereka habis keliling benteng pondok.

"Aman, Sim?" tanya Basir.

Qosim mengangguk. "Aman."

Perapian menyala, api yang membakar potongan kayu mulai bergemerutuk. Harun bangkit. Mulutnya sudah dicecoki sebatang rokok. Ia berseru, "Sok geura saha nu bade damel kopi. Mangga damel sorangan, ah."

Seorang santri mengajukan diri, diikuti kedua temannya, mengerubungi perapian. Sementara Harun dan Qosim ikut duduk di saung. Mereka mulai mengobrol ngalor-ngidul sembari ditemani kacang rebus bekas buka puasa.

Kerumunan di saung itu tidak mengetahui peristiwa janggal yang dialami beberapa santri.

Seorang santri yang tengah tertidur mendadak terusik saat mendengar bunyi gedebuk cukup keras di atas langit-langit kamar. Matanya terbuka, menatap ke atas di antara keremangan cahaya cempor. Ia tidak menemukan apa-apa. Tapi detik berikutnya ia melihat seperti ada orang yang melangkah, menginjak langit-langit kamar. Disusul sebuah suara menggeram yang amat menyeramkan.

Santri itu meneguk ludah dalam-dalam. Wajahnya pucat paci. Keringat dingin mulai merembes, bersamaan bulu kuduk yang meremang dan perasaan takut muncul ke permukaan.

Santri-santri lain pun merasakan hal yang sama. Suara orang seperti berlari menginjak lantai teras kamar, menimbulkan suara berisik, namun ketika dicek tidak menemukan apa-apa. Hanya sepi serta semilir angin dingin yang tersisa.

Suara cekikikan, buah kelapa jatuh cukup keras, seperti ada suara orang yang menjemur pakaian di belakang kamar, timba di area sumur mendadak berbunyi, tetapi lagi-lagi nihil saat seorang santri mengeceknya. Selain itu pula ketika tengah malam menjemput kambing-kambing di kandang kadangkala mengembek kencang, seperti ada sesuatu yang menggangu mereka. Begitupun ternak ayam dan bebek di area peternakan, sesaat mereka berisik tak biasanya.

Ternyata keanehan itu pun dirasakan oleh Asad, Amjad dan Afif. Seperti suatu malam tatkala mereka hendak tidur. Lantai kayu kamar mereka berbunyi.

DUG! DUG! DUG!

Persis malam itu, saat komplotan Basir, dkk menjahili mereka.

"Kalian denger nggak?" tanya Afif lirih.

Tanpa menoleh Asad menjawab, "Denger."

"Nggak mungkin mereka lagi kan pelakunya?"

Lihat selengkapnya