Santri bernama Erul itu sedari tadi duduk sila di pojokan kamar. Nizar, teman sekamarnya berbaring tak jauh. Ia belum juga terlelap. Pikirannya berkelakar jauh entah ke mana, membuatnya mendadak insomnia. Sesekali ia melirik ke arah Erul, lelaki berpeci rajut itu memang selalu melakukan rutinitas seperti itu tatkala dirinya hendak tidur. Mungkin sedang mendawamkan amalan-amalan atau mengisi bulan Ramadhan dengan berdzikir sepanjang malam.
Lamat-lamat Nizar terusik mendengar suara geraman yang amat mengerikan. Seperti bersumber dari pojok kamarnya. Nizar bangkit. Dan betapa terkejutnya ia tatkala melihat Erul tampak menunduk dalam, namun mulutnya menggeram layaknya sesosok halus makhluk berwujud besar.
Perlahan-lahan Nizar mendekat. Ia berinsiatif mengecek keadaan temannya itu. Jantungnya kian berdegup kencang. Dengan napas tertahan, perlahan ia menyentuh sebelah pundak Erul.
"Rul ... Erul," panggilnya lirih. Ia meneguk ludah dalam-dalam.
Geraman Erul terhenti. Sejurus kepala lelaki itu menoleh cepat ke arahnya, tersenyum lebar dengan retina mata menghitam lebar, kemudian tertawa cekikikan, yang membuat Nizar refleks terjengkang ke belakang saking kagetnya.
"Astaghfirullah ...," pekik Nizar.
Erul kerasukan.
Sebelum kejadin makin memburuk, cepat-cepat Nizar bergegas keluar kamar, kemudian berteriak keras, "Barudak tolongan! Aya nu kasurupan. Si Erul kasurupan, woi."
Teriakannya itu rupanya mengundang sekelompok santri yang sedang piket jaga di saung, mereka buru-buru menghampiri. Pun beberapa santri di kamar-kamar yang masih terjaga. Mereka ikutan panik. Berseru tanya tentang apa yang sedang terjadi.
"Ka bener, Mang?" tanya seorang santri memastikan.
Nizar kembali memberi tahu, "Bener, Mang. Si Erul, eta budak tiba-tiba kasurupan. Geura saha didieu anu tiasa nyembuhkeun."
Santri-santri itu malah saling melempar tatapan, heboh sendiri, tidak ada satupun yang berani unjuk diri. Sekalipun hanya melihat kondisi Erul sebenarnya di dalam kamar.
Tanpa basa-basi Harun mendorong tubuh Basir. Tentu saja lelaki itu berontak.
"Basir bisa menyembuhkan, Mang. Basir jago nih," kompor Harun.
Basir gelagapan. "Eeeh ... Ng ... Nggak, Mang. Aku nggak bisa. Harun, heh."
Santri-santri beralih menatapnya percaya dan malah ikut mengompori. "Nggak apa-apa, Mang. Nyoba dulu aja."
Lagi, Harun berusaha meyakinkan, "Iya, Sir. Ageh nyoba dulu. Tadi juga kamu pan bisa nyambat jin."
Perkataan Harun barusan, membuat Qosim tersadar. Ia baru ngeh. "Oh tadi tuh kamu nyambat jin ke tubuh aku, Sir?"
Basir cengengesan. "Hehe. Sorry."
Tanpa berlama-lama lagi, serta-merta Basir kembali didorong Harun, Nizar dan santri-santri lain, hingga pintu kamar terbuka lebar.
Sejenak mereka terdiam, menatap keadaan kamar yang diterangi cahaya cempor. Mereka tidak menemukan keberadaan Erul. Bahkan ketika Basir dan Nizar melangkah masuk, melihat ke setiap sudut kamar, diikuti santri-santri lain, santri berpeci rajut itu nihil.
Saliva Basir naik-turun. Ia deg-degan. Begitupun santri-santri lain, ikut merasakan hal yang sama.
Suasana hening itu seketika pecah oleh sebuah cekikikan menyeramkan di atas langit-langit kamar.
"HIHIHIHIHI ...."
Semua yang ada di situ melongok ke atas. Sontak mereka terbelalak. Erul tampak merangkak di langit-langit dengan kepala menengok ke bawah.
Tiba-tiba Erul menjatuhkan diri ke lantai, ia langsung berdiri tegak.
Refleks santri-santri berteriak sambil kabur tunggang-langgang. "HUAAHHH ...."
Hanya Basir yang masih berdiri di depan Erul.
Di waktu yang sama, tepatnya di bukit Seminu, Najeeb tampak duduk sila. Matanya terpejam, namun sukmanya sejak tadi menjelajah. Dan ia kembali menemukan kabut merah itu lagi. Bahkan kini semakin tebal, nyaris memenuhi setiap sudut pondok pesantren Alhikmah. Namun lagi-lagi ia tidak berhasil menemukan dari mana sumbernya. Lamat-lamat ia justru mendengar suara teriakan menggeram.
Sejurus kedua belah matanya terbuka lebar-lebar. Najeeb seperti merasakan hal buruk sedang terjadi di pondok Alhikmah. Sehingga tanpa pikir panjang lelaki itu segera bangkit, lantas beranjak pergi menembus kegelapan hutan dengan langkah cepat.
Sementara itu Basir masih memperhatikan Erul yang dirasuki jin. Ia berpikir jin tersebut bukanlah jin penunggu sumur yang sebelumya berhasil ia sambat. Ini sungguh berbeda. Lebih menyeramkan dan penuh amarah.
Perlahan-lahan langkahnya mundur, menyusuri lorong teras kamar, seirama langkah Erul yang juga terus maju ke arahnya sambil menatap nyalak.
"Ka ... Kamu siapa?" tanya Basir terbata-bata. Keringat dingin membanjiri tubuhnya. Ia sendiri sebetulnya takut, tetapi seperti ada dorongan kuat supaya ia berani menghadapi layaknya Mang Najeeb.
Erul tidak menjawab, justru lagi-lagi ia menggeram. Basir bergidik ngeri.
Dari radius empat meter itu Basir melihat mulut Erul dipenuhi cairan hitam. Urat-urat lehernya pun seakan-akan berubah menjalar berwarna hitam sampai melewati sebagian wajahnya yang pucat pasi.
Dari kejauhan santri-santri hanya menyaksikan Basir berhadapan dengan Erul, tanpa berpikir bagaimana cara menghentikan kejadian mengerikan itu.
Langkah Basir terhenti, sebab tiba-tiba Erul kesakitan, wajahnya menenggak ke atas, seperti ada sesuatu yang bergerak di dalam tubuhnya yang mau keluar melewati leher. Ekspresi wajah Erul pun berubah, sambil kedua tangannya menggapai, seakan-akan ia tengah nerbicara, "Tolong aku."
Basir terduduk jatuh saking kagetnya.
Mungkin detik berikutnya hal yang lebih mengerikan bisa saja terjadi. Tapi untungnya Najeeb datang di waktu yang tepat. Ia segera membereskan situasi.
Erul semakin marah dengan kehadiran lelaki berwajah dingin itu. Ia hendak menerkam, jari-jari tangannya berusaha mencakar-cakar. Tapi tangan kanan Najeeb yang berbalut bijih tasbih lebih dulu memegang ubun-ubun kepalanya.
Basir terpaku. Ia menyaksikan Najeeb mengucapkan ayat-ayat kauniah untuk mengeluarkan jin dalam tubuh Erul.
"... Allaahu laa ilaaha illaa huwal hayyul-qayyuum, laa ta'khudzuhuu sinatuw wa laa naum, lahuu maa fis-samaawaati wa maa fil ard ...."
Awalnya Erul memberontak seraya berteriak menggeram. Namun lama kelamaan tubuhnya melemas. Karena sepertinya energi Najeeb terlampau kuat. Jin yang dihadapi melemah, tidak sebanding dengan kekuatan milik lelaki berpakaian hitam-hitam itu.
Detik berikutnya Jin di dalam tubuh Erul keluar. Lelaki berpeci rajut itu tergeletak di lantai, tak sadarkan diri. Basir lega. Juga Nizar beserta santri-santri lain yang menyaksikan.
"Ke sini mendekat semuanya!" perintah Najeeb kemudian.
Para santri manut, beringsut mendekati Najeeb. Tubuh Erul dibawa ke dalam kamar. Rupanya Najeeb memerintah kepada santri-santri yang menyaksikan kejadian tadi, supaya menutup mulut rapat-rapat. Jangan sampai terdengar oleh santri-santri yang lain. Apalagi membuat geger seantero pondok pesantren.
***
Akhir-akhir ini Amjad sering merasakan sakit di kepalanya secara mendadak. Terasa menyengat hingga membuat pandangan matanya memburam dan gelap. Lama-lama ia merasa aneh. Apa yang terjadi padanya? Sebab ini bukan sakit kepala yang terjadi setelah diberi obat, lalu bisa sembuh sediakala.
Seperti siang ini ketika Amjad sedang mengisi pengajian pasaran public speaking, pening di kepalanya kembali menyerang. Amjad terdiam dari aktivitasnya, berusaha menahan rasa sakit yang menyebar cepat.
"Mang ... Mang Najeeb kenapa?" tanya seorang santri di sampingnya.
Santri-santri lain yang tampak duduk melingkar saling pandang, cemas terhadap keadaan santri PPL itu.
Hanya jeda sekitar lima detik, mereka tidak pernah menyangka jika ekspresi Amjad berubah seratus delapan puluh derajat. Mereka terbelalak menyaksikan pandangan lelaki itu menatap tajam, dengan raut wajah dingin seperti sedang memendam amarah.
Refleks para santri menyebut sambil duduk menjauh. "Astaghfirullahal'adzim ... "
Seorang santri berkemeja kotak-kotak berbisik kepada teman di sampingnya. "A ... apakah Mang Amjad kerasukan seperti Erul waktu malam?"