Afif berusaha mengejar langkah Amjad. Ia sangat kecewa dengan sikap temannya itu. Bisa-bisanya dia berbicara tak enak kepada Basir, yang notabenenya santri lawas di pondok pesantren Alhikmah. Sedangkan dia sendiri di sini hanya seorang tamu.
"Amjad tunggu dulu. Aku mau bicara, heh!" seru Afif setengah berteriak.
Amjad tak menggubris. Ia terus saja melangkah cepat, menyusuri halaman pondok menuju kamarnya di sebelah barat.
"Hei, kamu kenapa sih, Jad? Berani sekali kamu bicara menyakitkan kayak gitu ke mereka."
Amjad menoleh sekilas. Ia membalas, "Lah, kenyatanya memang begitu kan? Apa kamu juga bakal ngebiarin hal-hal buruk terjadi selanjutnya?"
"Hal-hal buruk apa sih? Lah iku cuma pikiran kamu saja yang memang sedari dulu sempit."
Kali ini Amjad berhenti. Ia berbalik badan. "Asal kamu tahu, ya, Fif. Menyalahgunakan perkara gaib itu, justru mendatangkan malapetaka. Kamu nggak pernah mikir bukan, apa dampak negatif orang yang sudah dirasuki jin? Kebuka, Fif. Kebuka hijabnya. Dia akan mudah untuk dirasuki," jelas Amjad penuh penekanan. Lantas kembali meneruskan langkahnya.
Afif terpaku. Kata-kata Amjad berhasil membuat dirinya terdistraksi. Ia paham betul sosok Amjad sejak dulu. Terlebih lelaki itu mantan barisan pesilat tangguh.
Sejurus Asad menyentuh sebelah pundak Afif. "Wes, Fif, wes."
"Ta ... tapi dia udah keterlaluan, Sad. Memalukan bersikap kayak gitu."
Asad menghela napas dalam-dalam. "Ya, coba kita bicarakan baik-baik. Nggak perlu pakai emosi juga, Fif. Malah bikin dia makin marah."
"Aku nggak nyangka banget sama dia. Kok bisa orang yang kelihatan alim, bicara penuh wibawa dan pendiam. Lah ngomongnya gak dijaga. Padahal dia sendiri yang sering bilang, nyuruh kita jaga sikap, adab dan lain-lain. Eh, malah ngejilat ludah sendiri."
Lagi. Asad menepuk-nepuk pundak Afif, berusaha menenangkan. "Sssttt ... Udah, udah. Tenang dulu, Fif. Relax, relax."
Afif mengangguk. Ia menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Deru napasnya mulai stabil.
"Kita coba bicara baik-baik, ya. Yuk," ajak Asad kemudian.
Maka di saat petugas piket jaga mulai membangunkan para santri dengan tabuhan yang cukup berisik, Asad, Amjad dan Afif hendak berbicara empat mata. Amjad menyenderkan punggungnya ke dinding. Kepalanya menunduk, menatap dan memainkan pecinya. Sedangkan di depannya ada Asad dan Afif yang menatapnya serius.
Amjad menghela napas dalam-dalam. Ia mulai berbicara, "A ... Aku minta maaf, Afif, Asad." Ia melirik sekilas.
"Yo sampean minta maaf ke Mang Basirlah. Bukan ke kita," sahut Afif.
"Seharusnya aku nggak bersikap begitu ...."
Cepat-cepat Afif potong. "Lah, emang iya. Baru sadar, heh?"
"A ... Aku khilaf ...."
Lagi-lagi Afif memotong, "Huh! Jawaban klise kayak di sinetron-sinetron."
Melihat teman di sampingnya itu terus memotong kalimat dengan nada tak enak, refleks Asad mendesis tajam. "Heh, berisik, co! Biarin dulu dia ngomong."
Afif hanya mendelik.
Selanjutnya Amjad berbicara panjang lebar, yang intinya ia meminta maaf telah bikin gaduh serta mencoreng nama baik mereka. Dia melakukannya karena refleks, masih trauma akan masa lalunya saat berguru di dunia persilatan. Terutama ketika ia pernah menjadi korban ilmu kebatinan seniornya, yang membuatnya sering dirasuki dan diteror. Itulah kronologi menyedihkan sebelum ia masuk ke pondok pesantren Darul Jannah.
Mendengar penuturan Amjad, kedua temannya justru bersimpati. Dan Afif jadi merasa tak enak.
Asad menyenggol lengan Afif. "Fif, sana baikan sama Amjad. Kamu kan tadi cekcok juga."
Afif mendelik. "Iye, iye."
Lelaki itu mendekat, mengulurkan tangannya sambil meminta maaf. Amjad menyambut, lalu memeluk Afif.
Di belakang mereka Asad tampak mengabadikan momen adegan manis bestienya itu lewat kamera ponsel.
"Cieee ... So sweet."
Melihat Asad malah merekam video, Afif melepaskan pelukan dan menghalang-halangi.
"Dih, Asad, wes wes. Aja ngerekam-rekam segalalah."
***
Pagi-pagi selepas bubar pengajian pasaran bakda subuh, Amjad menghampiri Basir. Saat itu ia tengah berjalan menuju area belakang pondok.
"Mang, Mang Basir," panggil Amjad.
Di jalan dekat kandang kambing Basir berhenti. Ia berbalik badan, masih memasang wajah kesal.
Sambil menunduk Amjad berbicara terbata, "Ma ... maaf, Mang, so ... soal waktu malam. Saya sudah kelewat batas. Saya harusnya nggak begitu. Saya minta maaf sekali lagi."
Basir menghela napas dalam-dalam. Tatapannya mengarah ke kambing-kambing yang tengah memakan rumput. Perlahan raut wajah kesalnya memudar. Ia mengangguk.
"Iya, nggak apa-apa. Udah aku maafkan da," Basir menggaruk belakang lehernya yang tak gatal. "aku juga minta maaf, karena ... aku malah ngebalas perkataan pedas kamu."
Amjad mengangguk. Ia lebih dulu mengulurkan tangannya. Segera saja Basir menyambut. Keduanya tersenyum canggung.
"Hmm ... Kamu nggak ada yang mau ditanyakan gitu? Terutama soal perkataanku waktu malam."
Amjad menggeleng. Ia tersenyum simpul. "Nggak perlu, Mang. Aku cukup tahu saja."
Basir manggut-manggut. "Baiklah kalau begitu."
Sejenak obrolan mereka terganggu oleh teriakan di dekat mereka. Baru saja datang Miftah langsung berteriak, "Astaghfirullah, Gusti. Leungit deui. Aduuhhhh ...."
Refleks Basir dan Amjad menghampiri area kandang ayam dan bebek itu.
"Aya naon, Mif?" tanya Basir keheranan.
Miftah langsung curhat. "Ini loh, Mang, telor ayam kampung yang sudah aku kumpulkan susah payah malah hilang. Padahal tadi sebelum subuh saya cek masih ada, Mang. Lah kok sekarang udah hilang nggak tersisa satupun. Pasti ini dicuri."
"Oalah, kirain aya naon, Mif."
"Duh, gimana dong aku bilang ke Mang Fayed," kata Miftah frustasi sambil mengacak-acak rambutnya.
"Bicara baik-baik saja, Mang. Pasti beliau paham," tukas Amjad memberi saran.
Basir menoleh dengan ekspresi wajah seperti mempertanyakan. "Bicara baik-baik?"
Seolah paham maksud pertanyaan tersebut, Amjad hanya nyengir kuda. "Hehe. Punten."
Sementara itu sepulang mengisi pengajian pasaran di masjid, Asad menghentikan Wildan di depan gerbang pondok. Lelaki bertubuh kurus-kecil itu baru datang dari pasar menggunakan sepeda motor bututnya. Sebelumnya Asad memang nitip membelikan voucer kuota internet dan skincarenya yang telah habis.
"Lah, Dan, Mang Fayed ke mana? Bukannya habis subuh berangkat bareng kamu, ya?" tanya Asad heran.
Masih duduk di atas motor, Wildan menjawab, "Mang Fayed turun di perempatan. Katanya mau mampir dulu ke rumah temannya."
Asad manggut-manggut. "Oalah, gitu tho. Oh, ya, gimana pesananku?"
Wildan mengacungkan jempol jarinya. "Beres, Mang." Ia merogoh tas jinjing berukuran besar yang berisi banyak kantong plastik. Tangannya mencari-cari pesanan Asad.
"Wih, kamu belanja banyak juga tho?"
"Biasalah, Mang, kebutuhan dapur kantin buat dua hari."
Wildan menyerahkan kantong plastik merah. "Nih, Mang, pesanannya. Nota sama uang kembaliannya ada di dalam."
"Wait, tak cek dulu ya." Asad mengecek isi di dalamnya. Dan ia heran kenapa ada kantong plastik lagi, berisi bunga-bungaan lagi.
"Wildan, ini punya kamu? Mau ziarah tah mumpung malam Jumat Kliwon?" tanya Asad seraya menyerahkan kantong plastik tersebut.
"Wah, bukan. Ini kayaknya punya Mang Fayed."
"Oh, ya, dia ziarah ke makam siapa omong-omong?"
"Mungkin Ibu sama adiknya, Mang. Keduanya kan udah almarhumah."
Asad manggut-manggut. "Innalilahi. Oh, gitu." Ia kembali mengecek, ternyata pesanannya sesuai request. "ok. Aman, ya, Dan. Matur suwun sanget nih."
Wildan tersenyum lebar. "Muhun. Sami-sami."
"Jangan kapok, ya, Dan."
"Oh, tentu tidak. Yang penting ada ini, Mang. Hehe," ucapnya seraya memperagakan kata 'uang' lewat jari telunjuk dan jempolnya.
Asad tergelak. "Haha. Bisa ae kamu."
Seketika Asad teringat sesuatu. "Oh, ya, aku mau tanya nih, Dan."
"Apa tuh?"
Wildan melanjukan motornya pelan. Sambil mensejajari, Asad bertanya agak canggung, "E, semalam gimana rasanya disambat?"
Sejenak Wildan tampak berpikir. "Hmm ... Biasa aja sih, Mang. Soalnya aku nggak inget. Hehe," jawabnya cengengesan.