Najeeb keluar dari sebuah rumah tua. Ia habis bertemu Kiai Badar, salah satu guru kebatinannya, sekaligus tetua kampung desa Jati Tujuh, yang terletak dua kilo meter dari desa Jati Mandala. Ia bercerita dan mempertanyakan perihal kabut merah yang ia temukan lewat sukmanya itu.
Sebetulnya Najeeb pernah bercerita kepada Kiai Abbas, di awal-awal dirinya baru menemukan kabut tipis namun bersemu merah. Dan gurunya mewanti-wanti supaya kita tetap waspada serta menguatkan kembali hijab yang menutupi pondok pesantren Alhikmah. Jangan sampai melemah, retak, apalagi runtuh. Maka malam itulah Kiai Abbas memimpin mujahadah malam. Setelahnya ia tidak menemukan lagi kabut tersebut.
Namun setelah kepergian sang Kiai ke Baitullah. Tiga hari berikutnya Najeeb kembali melihat, bahkan semakin jelas dan mulai menyebar ke setiap jengkal pesantren. Terlebih kala malam menjemput, suasana pondok pesantren menjadi terasa suwung dan anyep. Ia mendengar desas-desus keanehan yang dirasakan para santri. Dan suatu malam seorang santri pun kerasukan.
Maka dari itu Najeeb meminta petunjuk kepada Kiai Badar.
"... Kita jangan sampai keliru, Jang. Kadangkala kita tertipu. Sebaik-baiknya jin adalah dia sejahat-jahatnya manusia. Dia bisa memperkecoh pandangan mata kita. Maka dari itu kita harus jeli. Kita harus yakin dan jangan sampai mengelak pada hal-hal yang kita anggap remeh. Sekarang segera kamu temukan di mana kabut merah itu berasal."
Najeeb menaiki motor butut yang terparkir di depan rumah Kiai Badar. Sejenak ia merogoh ponsel di saku jaket. Lalu mengirim pesan kepada Fayed.
"Kamu di mana? Ayo balik. Aku mau langsung ke bukit Seminu."
Tiga detik berikutnya Fayed membalas. "Mang Najeeb duluan saja. Aku nanti pulang sendiri, belum selesai nih kongkalikongnya."
Ketika berangkat Najeeb memang membonceng Fayed. Katanya dia mau ketemu kenalannya, membahas perihal penjualan ternak menjelang lebaran. Dan Fayed meminta turun di perempatan.
Najeeb melihat jam di ponselnya. Pukul satu dini hari. Ia harus cepat-cepat pergi ke bukit Seminu. Ia berharap malam ini bisa menemukan sumber kabut merah itu. Terlebih Kiai Badar mengijazahkannya bacaan untuk mencari sebuah petunjuk. Sehingga ia paham tindakan apa yang harus dilakukan selanjutnya.
Motor butut milik inventaris pesantren itu ia nyalakan, kemudian melaju membelah jalanan remang-remang. Najeeb berencana memotong jalan dan langsung menuju bukit Seminu.
***
Degup jantung Basir berdetak cepat. Dari radius setengah meter di depannya, Asad menggeram buas. Tatapan matanya menyalak, persis seperti harimau yang ingin menerkam mangsa bulat-bulat.
Pada saat itulah Basir mendengar suara berat laki-laki, seperti berasal dari jin di dalam tubuh santri PPL itu.
"Berani-beraninya kamu membangunkan saya," katanya bersemu geram.
Batin Basir menyahut, "Maafkan saya. Saya tidak bermaksud mengusik."
Suara itu kembali menggeram.
"Tuan siapa?"
"Saya adalah khodam penjaga miliknya. Jangan pernah sekali-kali kamu mengganggu dan menyakiti pemilik saya. Atau kamu akan menerima akibatnya."
"Iya, tuan. Saya tidak akan menyakitinya. Tapi bisakah tuan keluar dari tubuhnya sekarang?"
"Aku akan keluar sendiri atas persetujuan pemilikku."
Sejenak geraman Asad terhenti. Tubuhnya berdiri lemas. Sorot matanya sayu, melirik ke sana-kemari. Mungkinkah khodam harimau itu sudah pergi dari tubuhnya? Pikir Basir.
Para santri yang menyaksikan harap-harap cemas. Bulu kuduk mereka merinding sejak tadi. Sudut hati mereka bertanya-tanya, jin apa yang dirasuki Asad? Harimaukah? Dan apa yang akan terjadi selanjutnya?
Harun mendekati Basir. "Sir, bahaya. Geura kaluarkeun."
Basir menggeleng. "Nggak bisa."
Harun tak paham. "Maksud kamu?"
"Dia bilang akan keluar atas izin pemiliknya."
"Siapa pemiliknya?"
"Asad."
Harun terbelalak tak percaya. "Ma ... maksud kamu dia khodam harimau milik Asad?"
Basir mengangguk yakin.
Harun kembali duduk di tempatnya bersama pikiran yang tak keruan. Ia jadi ingat malam itu, tatkala sedang menunggu Basir menjahili Amjad di belakang kamar dekat masjid. Saat itu ia mendengar suara sesuatu yang melewati semak-semak di belakang benteng. Dalam sorot cahaya senter ia melihat seorang lelaki jangkung berkaos putih bergambar harimau di belakangnya. Dan anehnya lelaki itu tengah mencakar-cakar batang pohon.
Detik berikutnya sesuatu yang mencengangkan kembali terjadi. Tiba-tiba Asad kembali mengaum kencang. Kepalanya mendongak ke atas serta jari jemari tangannya menyerupai cengkraman tangan-tangan harimau.
ROAARR!
Antara sadar dan tidak sadar, Asad melihat di depannya ada seekor Harimau berukuran cukup besar, mengaum dan menatapnya tajam. Harimau itu seakan-akan mengajaknya berbicara.
Sementara santri-santri yang melihatnya semakin tersudut ketakutan. Sebab keempat tali yang mengikat tubuh Asad terlepas. Kini lelaki itu berkeliling, menatap mereka satu persatu sambil menggeram dan menatap nyalak
Tetapi kadangkala Asad tersadar beberapa detik. Menatap kaget orang-orang di depannya. Pun mengecek jari-jemarinya. Tak berselang lama ia kembali terasuki, ia mengaum kencang.
ROAARR!
"Sir, kamu harus keluarkan khodam itu di tubuh Asad. Kasihan dia," bujuk Harun cemas.
"Ya, ya, tapi gimana? Dia bilang akan keluar sendiri."
Harun berbicara setengah berteriak, "Masa bodoh, Sir! Kamu jangan percaya sepenuhnya. Khodam tetap saja sosok Jin yang bisa mengecoh kita. Kalau kita nggak bisa ngendaliin diri."
Basir terpaku. Benar apa kata Harun. Ia bisa saja tengah ditipu.
Selanjutnya Basir mengerahkan enam orang santri untuk memegang tubuh Asad. Tenaga lelaki itu berkali-kali lipat lebih kuat. Tak pelak ia terus menggeram marah.
Basir mulai kuda-kuda dan melafalkan ayat-ayat kauniah. Tetapi aksinya itu terhenti tatkala Asad mengaum keras dengan kepala mendongak ke atas.
ROAARR!
Kemudian tersadar.
Asad ngos-ngosan. Ia kembali ke wujud sebelumnya. Khodam harimau itu telah keluar dengan sendirinya.
Semua yang hadir di situ tercengang. Diam membisu sambil menatap Asad tak percaya.