Hujan mengguyur deras pondok pesantren Darul Jannah malam itu. Para santri terlelap tidur, hawa dingin yang menguar membuat mereka semakin merapatkan sarung yang menyelimutinya. Hanya segelintir santri yang masih terjaga, termasuk kelompok santri yang bertugas piket jaga malam di pos depan gerbang.
Kiai Hasan berjibaku dengan rutinitas spiritualnya, berzikir panjang di Griya Ngaji Rasa. Jari-jemarinya memutar-mutar bijih tasbih. Di belakangnya lima orang santri lawas ikut menemani. Seorang santri bergerak menutup jendela griya, sebab angin malam yang dingin berusaha masuk dan kilatan petir menggelar lepas di luar sana.
Pukul dua dini hari lelaki berjanggut tipis itu menutup dzikir panjangnya. Lima orang santri berpamitan keluar griya, salah satunya dititipi pesan supaya membangunkan dan memanggil Ustad Ibad.
Kiai Hasan duduk termangu di kursi teras Griya. Pandangannya menatap ke depan, ke arah masjid yang temaram. Sementara pikirannya berkelakar jauh, ke episode saat ia dimintai bantuan oleh sahabat lamanya, seiring perasaan tak enak akhir-akhir ini muncul ke permukaan.
"... Aku pengin nyuwun bantuan teng sampean loh, Gus. Asline isin, tapi yo gimana lagi. Hehe."
Terdengar suara tertawa sahabatnya itu, Kiai Abbas. Sejak mondok di daerah Magelang, pondok pesantren Kanzul Barokat, ia memang sering dipanggil tidak sesuai namanya. Ia tidak mempermasalahkan selagi itu panggilan baik.
"Lah, santai saja, Bas. Opo toh?"
Kiai Abbas bercerita perihal rencanannya hendak menunaikan ibadah umroh tiap bulan Ramadhan. Karena santri-santri banyak yang pulang atau pasaran di luar, maka ia ingin pondok pesantren miliknya tetap hidup. Ia minta tiga santri PPL untuk meramaikan kegiatan pesantren, itung-itung memberikan kesegaran baru kepada para santri.
"Oalah, monggo, Bas. Terbuka sekali. Justru aku senang loh, dengan begitu tali persaudaraan kita makin erat tho. Ah, iya, kapan-kapan kita bisalah umroh bareng, Bas. Hayu," kata Kiai Hasan antusias.
"Nah, benar. Baiklah, ayo kita agendakan, Gus."
Dan permintaan Kiai Abbas selanjutnya membuat Kiai Hasan tertegun beberapa saat.
"E, tapi aku minta santri PPL yang spesial, Gus."
"Maksudnya?"
"Itu loh, hmm ... Yang punya pager. Soale ...."
Kalimat Kiai Abbas menggantung. Terdengar helaan napas dalam-dalam, seperti sedang mengumpulkan kekuatan untuk bercerita lebih jauh. Kiai Hasan paham maksudnya, ia segera mengiyakan.
"Nggih, siap, Bas. Saya akan pilih tiga santri yang kau maksud."
Sekonyong-konyong Ustad Ibad datang menembus derasnya hujan. Pakaiannya sedikit basah oleh cipratan air hujan yang mengenai payung.
Kiai Abbas tersadar. Ia meminta ketua PPL Ramadhan itu supaya mendekat, duduk di kursi sebelahnya. Ustad Ibad manut. Tak lupa ia mencium punggung tangan gurunya itu.
Kiai Abbas langsung to the point. "Saya manggil sampean iku, Kang. Ingin bertanya perihal santri yang PPL di pondok pesantren Alhikmah. Bagaimana Kang kabarnya? Sudah sampean sambangi dereng seperti santri-santri PPL yang lain."
Ustad Ibad tersenyum canggung. "Pangapunten, dereng, Ang."
"Lah kenapa?"
"Anu, Ang, hmm ... Mereka maupun pengurus di sana susah dihubungi akhir-akhir ini. Terakhir kali itu seminggu yang lalu. Terus saya pun belum menemukan waktu yang cocok buat nyambangi, terlebih kegiatan saya makin padat," jelas Ustad Ibad hati-hati.
"Oalah." Kiai Hasan manggut-manggut. Air mukanya serius. Ia menatap air hujan yang jatuh di sela-sela atap griya. Terdengar helaan napas panjangnya.
"Entah kenapa kok perasaan saya nggak enak, ya, Kang. Saya malah kepikiran mereka terus. Saya khawatir, tapi entah karena apa, Kang."
Ustad Ibad terdiam. Kepalanya menunduk.
"E, begini saja, Kang. Lusa kita ke sana. Kamu kosongkan seluruh kegiatanmu, minta teman-teman ustad yang lain buat badal," perintah Kiai Hasan memutuskan.
"Nggih, Ang."
Sepeninggal Ustad Ibad dari hadapannya. Bayang-bayang episode sebelumnya kembali hinggap di pelupuk mata Kiai Hasan. Tatkala ia melakukan ikhtiar batin, meminta petunjuk dan selektif memilih di antara sekian banyak santri tingkat enam. Lalu ia menemukan sesuatu dalam diri ketiga santri itu, yakni Asad, Amjad dan Afif.
Kiai Abbas pun mengingat kembali percakapan suatu pagi duha, saat sahabatnya itu bertanya lagi perihal kebenaran santri PPL lewat panggilan telepon, bahwa mereka ialah santri pilihan yang memiliki pagar atau istilah lainnya khodam pendamping.
Sekarang ia malah diserang cemas, seperti ada sesuatu yang tidak beres di sana, di pondok pesantren Alhikmah, terutama terhadap ketiga santri PPL-nya.
***
Berselang tiga detik setelah Harun memasukkan energi di telapak tangannya ke ubun-ubun santri PPL itu. Bola mata Amjad seketika terbuka, memelotot tajam berwarna merah menyala. Perlahan seperti ada sesuatu yang bergerak di perutnya, terus menjelar ke atas, bergerak-gerak di leher. Raut wajah Amjad seakan-akan mau muntah. Semua santri yang ada disitu menatapnya ngeri.
Suasana malam berubah mencekam. Angin dingin berhembus cukup kencang secara tiba-tiba. Petir menggelegar lepas, serangga-serangga malam berhenti mengerik, hening dan sunyi-sepi yang tersisa.
Para santri yang masih terjaga menatap keheranan, lalu saling pandang dengan temannya. Mereka mulai dirasuk cemas, menerka-nerka apa yang sedang terjadi.
"Aya naon yeuh?"
"Gawat, eh. Asa sieun kieu rasana."
"Seperti ada sesuatu yang nggak beres. Janggal."
"Aneh sekali kok tiba-tiba hawanya berubah. Ngeri euy. Ada apa, ya?"
Selanjutnya Harun terperangah menatap tubuh Amjad yang berdiri di depannya. Tubuhnya kaku, jari-jemari tangan, lengan, kaki dan lehernya seperti patah satu-persatu, menciptakan bunyi kretek.
KRETEK! KRETEK! KRETEK!
Kengerian sosok Amjad masih berlanjut, ia memuntahkan cairan hitam dari mulutnya, lalu kepalanya menenggak ke atas dan ia berteriak meraung keras, "ARRGHHHH!!!"
Para santri yang menyaksikan terbelalak. Mereka tidak bisa berkutik, hanya menyaksikan dalam diam. Asad dan Afif pun tidak jauh berbeda. Baru kali ini keduanya menemukan sosok menakutkan dalam diri Amjad.
"Dia kenapa, Sad?" lirih Afif bertanya.
"Nggak tahu. Tidak mungkin khodam pendamping semengerikan itu," balas Asad menatap tak percaya.
Harun semakin ketakutan tatkala Amjad beralih tersenyum kepadanya di sela-sela suara tawa mengerikannya itu.
"HAHAHAHA ... ASSALAMUALAIKUM, WAHAI PENGIKUT AZAZIL."
Deg!
Jantung Harun serasa mau copot. Tubuhnya bergetar hebat. Refleks ia mundur ke belakang masih dalam posisi duduk, sebab Amjad perlahan merangkak ke arahnya, seperti hendak menerkamnya membabi-buta. Lihatlah gelagat tubuh dan kedua jaari-jemari tangannya itu!
"TERIMAKASIH. KAU TELAH BERHASIL MEMBANGKITKANKU DARI TUBUH MANUSIA INI."
"HAHAHA."
Lama-kelamaan Harun tersudut, punggungnya menyentuh tembok belakang pagar. Lalu di antara geraman dan napas keras Amjad, lelaki yang kini berubah mengerikan itu menjilati wajahnya dengan lidahnya yang panjang dan berwarna hitam.
Harun gelagapan. Ia ingin menangis. Wajahnya semakin pucat pasi. Lagi. Amjad tertawa, "HAHAHAH ...."
Aksi Amjad selanjutnya sukses membuat para santri berseru kaget. Tanpa basa-basi ia memukul-mukul keningnya ke tembok belakang pagar berkali-kali.