SAMBAT

iqbal syarifuddin muhammad
Chapter #17

Bab 16 Kerasukan Masal

Teror Banaspati perlahan menghilang. Para santri masih khusuk melakukan mujahadah di kamar-kamar.

"Siapa yang ngirim banaspati, ya?" tanya seorang santri berambut gondrong kepada temannya yang duduk bersebelahan.

"Entahlah ... Yang pasti dia kayaknya mau ngerusak pondok ini, karena ditinggal Abah."

"Tapi bukannya pondok kita dipagar? Kok santet bisa masuk?"

"Nggak tahu juga. Mungkin pagarnya sudah jebol. Itulah kenapa kita sering diminta untuk mujahadahan akhir-akhir ini."

Santri berambut gondrong itu manggut-manggut. "Heeh, sih, bisa jadi."

Obrolan mereka terhenti tatkala mendengar suara menggeram temannya di depan.

"Rul, Erul ... Ka ... kamu kenapa?" tanya si santri berambut gondrong itu lagi. Ia dan teman di sampingnya mulai was-was.

Semakin lama geraman Erul semakin keras. Jari-jemarinya seperti mencengkram sesuatu. Seluruh bagian tubuhnya bergerak-gerak. Seakan-akan ada sesuatu yang memasuki tubuhnya.

Kedua santri itu terbelak. Tatkala secara tiba-tiba tubuh Erul melakukan kayang. Terpampang jelaslah kini wajah menyeramkannya itu. Urat-urat menghitam menjalar sepanjang leher dan wajah, bola mata menghitam sempurna serta mulut yang dipenuhi cairan hitam pula.

Tubuh kedua santri itu bergetar hebat. Keringat dingin bercucuran seiring rasa takut muncul ke permukaan.

"E ... Erul ...."

Tanpa mereka duga, sepersekian detik sebelum mereka beranjak pergi dan posisi Erul berubah merangkak. Ia lebih dulu berteriak meraung keras, "ARRGHHHH!"

BRUAAAK!

Mereka terbating keluar dari pintu kamar. Disusul suara teriakan di kamar-kamar lain, disertai tubuh santri-santri terbanting keras keluar dari pintu maupun jendela kamar.

"ARRGHHHH!"

BRUAAAK!

BRUAAKK!

BRUAAKK!

Kerasukan masal pun terjadi. Sebuah fenomena mengerikan yang pernah dialami lima belas tahun silam di pondok pesantren Alhikmah.

Seketika suasana pondok berubah menjadi chaos. Suara-suara teriakan, meraung, menggeram dan tawa menyeramkan saling bersahutan. Ternyata tidak sampai disitu saja, beberapa santri yang kerasukan tampak menyakiti diri sendiri, membating tubuh ke dinding, langit-langit kamar, lemari dan lain sebagainya. Tak segan-segan mereka pun melempar teman-temannya yang berusaha menghalang-halangi. Santri yang masih tersadar kocar-kacir menjauhkan diri, berlari tunggang-langgang dan atau bersembunyi serapat mungkin.

Seorang santri menggedor-gedor pintu kamar pengurus.

"Mang, tolong, Mang. Santri-santri pada kerasukan," teriaknya ngos-ngosan.

Pintu terbuka, tiga orang pengurus keluar dengan muka cemas. Tanpa pikir panjang mereka bergegas pergi.

Namun baru saja mereka menjejakkan kaki di pelataran kamar-kamar santri, seseorang dari balik pintu terbanting keluar.

BRUAK!

"Astaghfirullah ...," pekik ketiganya terkejut. Pun melihat suasana kekacauan di depan mata.

Habib langsung mengultimatum, "Kita berpencar. Sembuhkan satu persatu dari mereka!"

Agus dan Gilang mengangguk. Keduanya bergegas pergi.

"Jang, kamu suruh santri-santri yang sadar supaya masuk ke masjid," perintahnya lagi kepada santri tadi. Si santri menurut.

Maka ketiga pengurus itu mulai bahu-membahu menyembuhkan santri-santri yang kerasukan di tiap titik pelataran kamar. Beberapa santri ikut membatu, memegang dan menahan tubuh si santri yang kerasukan.

Seorang santri di salah satu kamar tampak kebingungan. Ia cekcok dengan kedua temannya. Sedari tadi mereka menahan amukan santri yang tengah dirasuki jin.

"Naon bacaana, eh? Aduhhhh," serunya bingung.

"Naon bae. Agehh! Ayat kursi coba dibaca," kompor salah satu temannya.

Si santri langsung memegang ubun-ubun orang di depannya. Ia berteriak, "Allahulailaha illahual hayyul qoyyum ...."

Temannya memotong, "Bismillah heula atuh."

"Oh, enya, khilaf. Bismillahirrahmanirrahim. Allahulailaha illahual hayyul qoyyum ...."

Setelah membaca ayat kursi ternyata tidak ada perubahan. Malah santri yang kerasukan itu tertawa cekikikan.

"Kok nggak mempan sih?"

"Coba sini gantian. Biar aku saja," kata temannya yang berkacamata. Keduanya bergantian tugas.

Aksi si santri berkacamata tampak konyol. Dia malah menampar-nampar pipi santri tersebut sambil bertakbir.

Plak! Plak! Plak!

"Allahu Akbar ... Allahu Akbar ... Allahu Akbar ..."

Berhasil. Si santri melemas. Jin dalam tubuhnya keluar, namun yang membuatnya kaget ternyata santri berkacamata itulah yang kini malah berbalik kerasukan. Sontak kedua temannya berteriak heboh, "Huaaaahhh ...."

Di waktu yang bersamaan Basir masih terus mencecar pertanyaan kepada Harun.

"Mantra apa yang kamu gunakan, Run? Jawab!"

Lihat selengkapnya