SAMBAT

iqbal syarifuddin muhammad
Chapter #18

Bab 17 Pergulatan Sengit

Sejak mondok di pondok pesantren Kanzul Barokat, Kiai Hasan, Kiai Abbas dan Kiai Mannan berkawan dekat. Orang-orang biasa menyebut mereka dengan sebutan tiga serangkai, saking kemana-mana selalu bersama. Bahkan soal prestasi di pondok pun merekalah yang sering mendapatkan kategori terbaik.

Tetapi rupanya tidak berlaku soal kemampuan yang diwariskan turun temurun itu. Dari ketiganya hanya Kiai Abbas yang diam-diam mengusai ilmu hikmah. Kiai Hasan sendiri pernah mencoba mendalami, namun tidak sepenuhnya menguasai. Sementara Kiai Mannan sama sekali tidak memilikinya, sekalipun ia pernah berusaha belajar.

Persahabatan mereka terus berlanjut hingga boyong, menikah dan mengabdi di masyarakat. Meskipun jarak tempat tinggal ketiganya terlampau jauh, mereka masih selalu menyempatkan diri untuk bersilaturahmi, curhat, bercerita banyak hal serta saling membantu satu sama lain tatkala terjadi musibah.

Suatu ketika Kiai Mannan mendapatkan sebuah cobaan yang cukup berat. Posisinya sebagai Kiai kampung di tempat tinggal sang istri, membuat dirinya tidak disenangi banyak orang. Sampai-sampai ia dan keluarganya sering dikirimi guna-guna.

Saat itu Kiai Mannan meminta bantuan kepada Kiai Abbas. Supaya ia dan keluarganya terbebas dari marabahaya serta perilaku santet sekalipun. Kiai Abbas bersedia membantu. Hingga tiga bulan setelahnya berita menyedihkan itu terdengar, istri dan kedua putra sahabatnya itu meninggal dengan cara mengerikan.

Kiai Mannan tidak terima. Ia murka, lalu berusaha mencari-cari siapa dalang dibalik santet kiriman yang menewaskan istri dan kedua anaknya itu. Setelah tahu siapa pelaku santetnya, Kiai Mannan meminta bantuan kepada Kiai Abbas untuk membalas dendam. Namun Kiai Abbas menolak mentah-mentah.

"Aku tidak mau melakukan hal buruk yang bertujuan mencelakakan orang lain, Nan. Ilmuku tidak akan kupakai dengan tujuan seperti itu," keukeuh Kiai Abbas.

"Lalu aku harus bagaimana? Aku tidak ikhlas keluargaku mati dengan cara disantet. Apa kau tidak kasihan, Bas, kepada istri dan anak-anakku? Apa kau tidak kasihan pada kawanmu ini? Tolonglah, Bas. Bantu aku," rengek Kiai Mannan seraya menangis tersedu-sedu.

Kiai Abbas menggeleng. "Aku akan membantumu, jika tujuan kamu hanya untuk memperingatinya, membuatnya berhenti melakukan kemusyrikan itu. Bukan dengan tujuan yang bisa membuatnya mati."

Kiai Abbas keukeuh dengan pendiriannya. Sementara Kiai Mannan marah. Ia menyayangkan pertemanan mereka selama ini. Ia pun menyalah-nyalahkan soal bantuan spritual darinya yang ternyata tidak mempan dan malah berujung petaka. Ia bersumpah akan membalas dendam dari kematian istri dan kedua anaknya. Baik itu kepada si pelaku santet maupun kepada Kiai Abbas yang telah menolak membantunya.

Kiai Mannan tidak menyerah begitu saja. Ia menemukan tanda-tanda kehidupan pada salah satu anaknya. Walaupun bekas santet itu masih tertinggal. Maka dari itu Kiai Mannan membawa anaknya ke orang pintar, untuk menyembuhkannya seperti sediakala.

Hingga waktu terus bergulir, Kiai Mannan bersama seorang anaknya yang selamat, mengasingkan diri, membuat kehidupan baru, yang jauh lebih baik dan tentram di pelosok tanah Sumatera.

***

"Dan kau tahu siapa putra Kiai Mannan yang selamat itu, Jeeb?"

Fayed tertawa sarkas. "Ya, sudah bisa ditebak bukan. Akulah orangnya. Akulah putra Kiai Mannan. Sahabat dekat Kiai Abbas yang tidak punya hati nurani itu."

Najeeb sudah memasang kuda-kuda di kedua kakinya. Ia sudah siap, kalau-kalau Fayed menyerang secara tiba-tiba.

Penjelasan lelaki berjanggut tipis itu pun sukses membuatnya terperangah. Ia tidak menyangka sosok alim nan takzim yang selama ini menjadi kaki tangan Abah, ternyata memiliki niat busuk yang telah dipendam sejak lama.

Fayed kembali melanjutkan, "Sudah lama sekali Najeeb aku menanti kesempatan ini. Nyatanya aku berhasil bukan menghancurkan pagar gaib itu? Apalagi dengan kedatangan ketiga santri itu. Ah, tidak lebih tepatnya salah satu dari mereka yang mampu membuat rencanaku semakin matang."

Lama-lama Najeeb jengah. Teman busuknya itu terlalu banyak mengoceh. Najeeb melipat kedua lengannya di depan dada. Ia bertanya, "Ya, sudah, jadi sekarang apa maumu?"

Fayed masih tampak tenang. Sedari tadi ia meletakkan kedua lengannya di belakang, sambil berjalan pelan ke sana-kemari. "Hmm ... Aku hanya ingin pondok pesantren ini luluh lantak. Dan ya ... Mungkin hal-hal kecil yang bisa membuat si tua bangka itu merasa menyesal, lalu memohon ampun kepadaku. Ah, iya, bila perlu pondok pesantren Alhikmah Putri juga akan kuberikan sebuah pelajaran kecil, Jeeb. Tampak seru bukan? Hahaha ...."

Najeeb tersenyum simpul. Ia balas tertawa sarkas. Cukup sekali helaan napas panjang, Najeeb menyahut, "Lebih baik kamu simpan saja, Yed, khayalan remeh milikmu itu. Sebelum kamu menyesal, lantas menangis meraung-raung karena tindakan bodohmu itu."

Fayed terusik. Kali ini ia memasang muka marah, menatap tajam lelaki di depannya. "Apa kau bilang? Menyesal? Hahah ... Tidak ada kamus menyesal dalam hidupku, Jeeb. Dan kau harus tahu, aku bukan lagi khodim si tua bangka itu, yang selalu terlihat bodoh."

Sepersekian detik Fayed meloncat ke atap kamar santri. Ia berseru, "Sini lawanlah aku Najeeb! Itu pun kalau kau merasa percaya diri."

Najeeb menghela napas berat. Dari sekian banyak lawan tandingnya di dunia gaib, baru kali ini ia menghadapi lawan yang sangat menyebalkan. Ia sama sekali tidak berpikir seberapa kuat dan hebatnya kekuatan Fayed. Justru yang ia pikirkan hanyalah keselamatan para santri serta pondok pesantren Alhikmah. Kapan peristiwa mencekam ini akan berakhir?

Sementara itu di waktu yang bersamaan, Harun tengah menelusuri hutan dengan penerangan menggunakan cempor. Ia benar-benar mengikuti perintah Najeeb; bertemu Miftah di gudang belakang, kemudian santri yang mengurus ternak itu menyuruhnya pergi ke hutan melalui pintu tersembunyi dan harus menemukan sebuah gubuk tua di tengah-tengah hutan.

"Kalau sudah ketemu, aku harus melakukan apa, Mang?" tanya Harun bingung.

"Mang Najeeb nggak ngasih tahu. Cuman aku yakin, Mang, kamu akan mengerti sendiri, apa yang mesti kamu lakukan nanti di sana," kata Miftah semakin membuat Harun bertanya-tanya.

Lihat selengkapnya