SAMBAT

iqbal syarifuddin muhammad
Chapter #19

Bab 18 Khodam Naga Putih

Strategi yang dicetuskan oleh Agus rupanya berhasil. Para santri yang kerasukan mulai sadar diri, jin yang merasuk tubuh mereka keluar. Bahkan ada pula yang hanya cukup dengan sekali tepukan di pundaknya, jin tersebut langsung menghilang.

Salah seorang santri meraung-raung. Kedua tangan dan kakinya dipegangi temannya. Qosim mendekat. Karena ia sudah capek, iseng sekali lelaki itu hanya menepuk-nepuk pundak si santri.

"Geus ditu kalur. Aing geus capek," ujar Qosim bernada lemas.

Detik itu juga si santri berhenti meraung, lantas tersadar. Kedua temannya melongo, begitu pun Qosim sendiri. Ia tidak menyangka tindakan isengnya malah berhasil. Kalau tahu begitu, ya, sejak awal ia tidak perlu mengeluarkan banyak tenaga.

"Lah, Mang, kitu wae, heuh?" tanya salah satu temannya.

Qosim hanya mengendikkan kedua bahu. "Duka tah. Geus ditu bawa ka masjid," perintahnya. Ia kembali berkeliling mengunjungi santri-santri lain yang masih kerasukan.

Sebagian besar dari mereka sudah pada sembuh seperti sedia kala. Qosim dan tiga orang pengurus menyuruh mereka segera berkumpul di masjid, dibantu teman-temannya. Di masjid itu sendiri para santri sudah melakukan mujahadah sejak peristiwa kerasukan masal dimulai. Mereka sangat khusuk, melafalkan wirid-wirid yang sering didawamkan di tiap waktu.

Barusaja Gilang berbalik badan hendak membantu santri-santri lain, pandangannya teralihkan ke atap kamar-kamar santri. Di antara keremangan cahaya malam, ia melihat dua sosok lelaki seperti tengah bergulat. Namun siapa mereka? Ia tidak bisa melihat dengan jelas, jika tidak menggunakan kacamata.

Ekor mata Gilang memicing. Ia bertanya kepada Qosim yang saat itu kebetulan lewat.

"Qosim, coba kamu lihat, mereka siapa?" tanyanya seraya menunjuk ke arah dua sosok lelaki itu.

Qosim mengikuti arah telunjuk seniornya. Sontak ia terbelalak. "Mang Najeeb sama Mang Fayed."

"Mereka lagi beladiri apa gimana?"

"Entahlah. Sebentar, Mang." Mata Qosim memicing. Kini ia bisa melihat jelas wajah Fayed yang tampak menyeramkan, seperti tengah dirasuki jin jahat. "Mang Fayed kerasukan juga, Mang."

"Innalilahi ... Bahaya, Sim. Bahaya," seru Gilang kembali dilanda cemas. Ia menyuruh santri-santri supaya buru-buru memasuki masjid.

Sejurus Qosim tertegun. Ia menatap dua sosok lelaki di atap kamar-kamar santri itu tanpa berkedip. Ia sama sekali tidak tahu alasan kenapa keduanya bergulat. Ah, tidak, lebih tepatnya mungkin, kenapa Mang Fayed juga kerasukan? Dan mungkinkah Mang Najeeb sedang berusaha untuk mengeluarkan jin dalam tubuh juniornya itu?

Di atap kamar-kamar santri.

Lagi-lagi Najeeb melakukan serangan lebih dulu. Latihan bela diri yang selama ini ia lakukan, membuatnya cukup tangkas dalam menyerang. Kuda-kuda di kedua kakinya amat tangguh menumpu atap kamar. Ia bergerak maju sambil kedua tangannya saling bergantian menonjok dan menangkis lawan.

Rupanya Fayed tidak kalah melawan. Walaupun langkahnya bergerak mundur, tetapi serangan kepalan tangan Najeeb selalu berhasil ia tangkis. Ia terlihat tenang, memasang muka culas dan sombong. Urat-urat yang menjalar dari leher serta wajahnya, semakin mengkilap oleh keringat di antara cahaya meremang.

Najeeb merasa kekuatan Fayed berkali-kali lipat lebih besar. Sampai-sampai ia tidak menyangka strategi Fayed berikutnya. Lelaki berwajah menyeramkan itu sepersekian detik mundur cepat ke belakang, lantas ia melakukan salto berlawanan arah. Maka tatkala kedua kaki Fayed memijak atap, kaki kirinya langsung menendang bagian bawah tubuh Najeeb, hingga lelaki itu terjatuh ke sebelah kiri.

HAP!

Tangan Najeeb cekatan menangkap kayu atap. Genteng-genteng dari tanah liat itu ikut berjatuhan ke bawah.

"Sudah lama sekali aku ingin merasakan bergulat denganmu, Najeeb. Hahaha ... Kau sama saja seperti si tua bangka itu," ujar Fayed berlagak sombong.

Najeeb berusaha bangkit kembali. "Berhenti menyebut guruku dengan sebutan tak pantas itu."

Lagi. Fayed tertawa sarkas. "Hahaha ... Lantas aku harus memanggilnya apa, heh? Kiai tak tahu diri? Atau Kiai tak punya hati nurani."

Najeeb tak menggubris. Ia kembali melancarkan serangan. Kali ini ia melempar genteng-genteng ke arah Fayed, menyerang ke segala arah sambil berjalan maju. Fayed tidak tinggal diam, ia mundur, tubuhnya meliuk-liuk menghindari serangan, pun kedua tangan maupun kakinya menangkis setiap serpihan genteng itu.

Nampaknya lama-lama emosi Fayed memuncak. Tanpa basa-basi ia membalikkan keadaan, secepatnya kilat ia maju. Tangan kanannya berhasil mencengkram leher Najeeb. Kekuatannya yang berkali-kali lipat lebih besar, mampu mengangkat tubuh lelaki penuh otot-otot itu.

"Kau tak usah banyak tingkah, Najeeb. Cukup diam dan menyaksikan aku memporak-porandakan pondok pesantren ini. Maka kau akan selamat," ucap Fayed penuh marah.

Napas Najeeb tercekat beberapa saat. Ia tak kehilangan akal. Detik berikutnya ia menangkis lengan Fayed keras-keras. Lantas tiga buah tonjokan ia daratkan pada perut, dada dan pipinya secara acak. Fayed terkecoh. Ia tak menyangka belakang lututnya terkena tendangan kaki Najeeb, membuatnya sedikit oleng.

Kesempatan emas. Najeeb langsung mengunci leher Fayed. Namun belum juga telapak tangan kirinya menyentuh kepala lelaki itu, perutnya sudah lebih dulu terkena tonjokan sikut. Pada saat itulah Fayed memutar tubuhnya, hingga kini posisinya terbalik, Fayedlah yang mengunci leher Najeeb tanpa ampun.

"Kau pikir aku bodoh, heh? Kau tidak tahu seberapa hebatnya aku selama ini. Hanya soal waktu, Najeeb. Aku akan menunjukkan kehebatanku," kata Fayed.

Najeeb tidak bisa menjawab. Napasnya tercekat. Jika terus-terusan dalam posisi ini, ia bisa kehilangan kesadaran atau mungkin lebih buruk dari itu. Sebab tenaga Fayed sangat kuat. Ia tidak bisa merobohkan barang sedikitpun. Maka satu-satunya cara untuk menghentikannya ialah menjatuhkan diri. Dan benar, ia melakukannya.

Kedua lelaki itu terperosok jatuh bersamaan genteng-genteng atap kamar yang juga ikutan terjatuh berserakan.

***

Harun terus berjalan tergesa-gesa dengan napas ngos-ngosan. Lamat-lamat mata Harun memicing. Dari kejauhan ia seperti melihat titik kecil berwarna kuning. Bukan, ini bukan seperti titik kecil yang berasal dari bola api banaspati. Melainkan seperti ... cahaya dari cempor.

Harun tersenyum. Ia yakin itulah gubuk tua yang dimaksud. Sehingga ia semakin mempercepat langkahnya. Tak berapa lama tibalah ia di depan sebuah gubuk tua.

Saliva Harun naik-turun. Matanya awas, kalau-kalau di dalam gubuk itu atau dari arah mana saja seseorang menyerangnya.

Perlahan Harun membuka pintu gubuk. Ada dua buah cempor di sana, masing-masing mengisi dua ruangan yang disekat oleh sebuah pintu.

Ruangan pertama tidak ada yang aneh, hanya terdapat satu buah kursi dan meja. Ah, sebentar, ekor mata Harun melihat selembar foto usang yang tergeletak begitu saja di atas meja. Ia meraihnya.

Kening Harun mengkerut. Di antara keremangan cahaya cempor ia bisa melihat foto tersebut menampilkan tiga orang santri yang saling berangkulan, dengan background belakangnya berupa gapura bertuliskan pondok pesantren Kanzul Barokat. Ia tidak mengenali siapa sebenarnya tiga orang santri itu. Yang ia heran ialah kenapa santri yang posisinya berada di tengah tampak dicoret-coret wajahnya?

Seketika fokus Harun teralihkan oleh indra penciumannya yang mendadak mencium bau anyir bercampur kemenyan dan bunga-bungaan. Ia berpikir sumber bau itu berasal dari ruangan sebelahnya. Maka tanpa pikir panjang Harun bergegas mendekat, membukakan pintu di dalamnya.

Dan betapa terkejutnya ia saat melihat pemandangan di depannya. Harun menyaksikan dengan mata kepala sendiri, sesajen memenuhi meja, ada tiga buah kepala kambing di sana, wadah berisi darah, kemenyan yang mengeluarkan asap dan berbagai persyaratan kemusyrikan lainnya.

Harun mundur. Dadanya naik-turun. Ia berpikir cepat. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Mungkinkah ini yang dilakukan oleh Mang Fayed?

Belum sempat pikirannya jernih, Harun mendapati sebuah tulisan di belakang foto. Tulisan aksara sunda, persis seperti yang pernah ia dapatkan dari Mang Fayed.

Harun ingin menangis sejadi-jadinya. Berarti selama ini seniornya itu telah berhasil mengelabuinya? Menjadikannya batu loncatan demi niat busuk yang entah apa direncanakan sejauh ini. Bayang-bayang peristiwa mengerikan tatkala ia membangkitkan jin jahat dalam tubuh Amjad kembali berkelebat. Harun terinsak-insak.

Buru-buru Harun menghapus air matanya yang meleleh. Ia sadar situasi sedang genting. Ia harus melakukan cara apapun demi mengehentikan perbuatan Mang Fayed.

Saat pandangan matanya tertuju pada cempor yang menggantung di dinding geribik. Harun paham apa yang harus ia lakukan sekarang juga.

Tanpa pikir panjang selanjutnya Harun memorak-porandakan semua sesajen. Ah, tidak lebih tepatnya seisi gubuk tua itu, ia hancurkan sejadi-jadinya bersamaan amukan kemarahan yang meluap-luap. Tidak sampai disitu saja, minyak tanah di salah satu cempor ia cipratkan ke dinding geribik.

Sejurus kemudian Harun membakar gubuk tua itu, hingga kobaran api melenyapkan segalanya.

Lihat selengkapnya