SAMBAT

iqbal syarifuddin muhammad
Chapter #20

Bab 19 Perpisahan

Pagi harinya pondok pesantren Alhikmah kembali berdenyut hidup. Para santri bahu-membahu membereskan puing-puing kekacauan semalam. Mereka melakukan roan bersama. Sedangkan Trio A, Najeeb dan Fayed beristirahat di kamar.

Sampai waktu duha tiba Fayed masih tak sadarkan diri. Ia berbaring di kasur lantai. Ada banyak luka lebam maupun bekas cakaran di beberapa bagian tubuhnya. Adapun Najeeb tampak duduk menyender pada dinding geribik. Perban putih melilit sebagian punggungnya. Tidak jauh berbeda dengan Fayed, di beberapa tubuhnya ada bekas darah dan lebam.

Sekonyong-konyong Habib mendekati sambil menyodorkan secangkir teh hangat. "Nggak apa-apa, Mang."

Najeeb menggeleng. "Aku masih kuat puasa."

"Tapi bukannya nggak sempat sahur?"

"Sempat, Lang. Cukup air putih juga."

Gilang mengehela napas dalam-dalam. Pandangannya beralih menatap Fayed yang tertidur di pojok ruangan. "Nggak nyangka Mang Fayed jadi kayak gitu."

Najeeb diam. Ia ikut memandangi juniornya itu.

"Motifnya apa sih?"

Gilang melirik ke arah Najeeb, seperti hendak mencari tahu jawaban dari pertanyaannya barusan. Tetapi lelaki berwajah dingin itu langsung mengusirnya. "Udah sana roan. Koordinir santri-santri."

"Muhun. Siap," katanya beranjak pergi.

Kerusakan di rumah Kiai Abbas tidak terlalu parah. Qosim mengkordinir roan di sana bersama beberapa santri. Ia agak heran sejak peristiwa genting berakhir dan Kiai Abbas ikut membantu menyelesaikannya, lelaki berambut putih itu tidak lagi kelihatan batang hidungnya. Solat subuh pun diimami oleh salah satu pengurus.

Qosim masuk ke dalam rumah Kiai Abbas dari pintu belakang. Ia hendak membuka jendela ruang tamu. Baru saja dirinya melewati ruang tengah, telepon yang berada di pojok ruangan berdering. Tanpa pikir panjang ia menghampiri dan mengangkatnya.

"Halo. Assalamualaikum," ucap Qosim lebih dulu.

Suara lelaki yang menjawabnya terdengar tidak asing di telinga Qosim.

"Waalaikumsalam warohmatullah. Ieu sareng saha punten?"

Kening Qosim mengkerut. "Saya Qosim."

"Oalah Jang Qosim. Punten, Jang, ini Abah baru nelepon lagi. Bagaimana kabarnya, Jang, santri-santri Alhikmah?"

Deg!

Qosim terkejut. Ia menjawab terbata-bata, "A ... Alhamdulillah sa ... Sae, Bah."

Belum sempat ia bertanya perihal kebingungannya, Abah kembali melanjutkan perkataannya, "Alhamdulillah atuh. Muga-muga sararehat, baik-baik di sana, ya, Jang. Oh, ya, ini Abah masih di perjalanan, Jang. Baru saja transit dari Jeddah. Insya Allah lusa sudah sampai pondok."

Qosim melongo. Tangannya bergetar seiring pikirannya menerka-nerka. Kalau memang Kiai Abbas masih di perjalanan pulang, lantas siapa sosok yang membantu menyelesaikan kekacauan waktu malam? Bukankah ia dan santri-santri yang lain pun turut menyaksikan sendiri beliau melawan Fayed?

Pikirannya masih belum sepenuhnya mendapatkan jawaban rasional, tapi Qosim sama sekali tidak menjelaskan keadaan sebenarnya kepada Kiai Abbas. Untuk saat ini ia cukup menyimpulkan sendiri. Ia jadi ingat cerita-cerita dari seniornya, semasa pertama kali masuk pesantren, tentang para alim ulama yang memiliki karomah luar biasa. Hal-hal yang benar terjadi di luar nalar manusia. Dan sepertinya Kiai Abbas salah satunya.

Di kamar tamu, Afif dan Amjad tampak terlelap. Asad sendiri sudah bagun sejak tadi. Kini ia tengah menggeledah isi lemari Amjad. Lelaki itu terusik oleh pernyataan jin dalam tubuh Amjad semalam.

Jin itu bilang bahwa Amjad memanggil dirinya sejak lama dan selalu memberikannya makan. Apa maksudnya?

Asad berpikir cepat. Yang pernah ia dengar, salah satu makanan makhluk halus terutama jin adalah baca-bacaan yang didawamkan. Seketika pandangan Asad menubruk pada sebuah kitab kecil bersampul hijau yang tergeletak di pojokan lemari.

Asad meraihnya. Ia melihat-lihat cover kitab tersebut, tidak ada yang aneh, mirip dengan kebanyakan santri Darul Jannah. Isinya pun sama. Tapi di sana ada secarik kertas kecil berisi tulisan jawa pegon.

Belum sempat Asad membaca tulisan itu, Amjad memanggil-manggil.

"Sad, Asad lagi apa?" tanya Amjad bersuara lemah.

Buru-buru Asad menaruh kembali kitab itu di tempat semula. Ia membalikkan badan, berusaha tersenyum.

"Nggak. Cu ... cuma ngecek tanggalan," jawab Asad berasalan. Ia tahu sendiri Amjad se-prepare itu soal jadwal kegiatan.

Mendadak Amjad meringis kesakitan seraya menatap luka-luka di tangannya, meraba-raba leher dan wajahnya. Ia terlihat kebingungan.

Lihat selengkapnya