Sambat

Auntie FënRîR
Chapter #2

2. Menahan diri

Aku pikir setelah menjadi orang dewasa segala sesuatunya akan menjadi lebih mudah, oooooo ternyata tidak seperti itu kisanak. Banyak hal yang membuat orang dewasa merasa iri pada seorang anak kecil.

Contoh hidupnya adalah aku!

"Lika, tolong ya rekap grup yang check out hari ini. Jangan sampai tercecer tagihannya, kalau sampai tidak tertagih nanti kau yang harus tanggung jawab." Yanto si supervisor memberikan instruksi padaku, Malika, si resepsionis di sebuah hotel bintang empat di bilangan Jakarta Selatan. Belum apa-apa sudah berat saja otakku digelayuti kata-katanya barusan, 'kalau tidak tertagih kau yang tanggung jawab'.

"Siap, pak!" kujawab instruksinya dengan patuh.

O em jii... Berat sekali hidup ini. Persis seperti yang tertuang dalam surat lamaran pekerjaan yang menyatakan kalau kita siap bekerja di bawah tekanan dan loyal terhadap perusahaan. Ternyata kehidupan setelah bekerja seperti itulah adanya.

Yah, detik ini aku sedang iri pada seorang anak kecil yang sedang kuurus proses check in kamarnya. Dia tertawa dan bercanda dengan ayahnya, seakan-akan di hidupnya tidak ada masalah yang lebih pelik daripada memilih es krim vanilla atau cokelat, mana yang lebih enak untuk disandingkan dengan roti tawar empuk. Gaya berpakaiannya pun modis, bisa jadi pakaian gadis kecil ini harganya satu bulan gajiku bekerja di hotel.

Pikiranku jadi melayang ke rumah sederhana, dimana ayah dan ibuku berada. Aku merindukan suasana rumah dengan segala kesahajaannya itu.

Aku meninggalkan rumah orang tua tepat saat ku berusia 18 tahun, kala itu mereka tidak punya uang yang cukup untuk membayar kuliahku. Dengan demikian aku harus bekerja sambil kuliah dan mencukupi kebutuhan diriku sendiri sampai sekarang. "Ah, anak itu sungguh beruntung. Pasti masa depannya cerah," gumamku pelan sambil mengagumi keluarga tadi.

Setiap harinya dari Senin sampai Jumat aku berdiri di meja penerima tamu ini, menyunggingkan senyum berbicara ramah pada semua orang yang memerlukan jasa dari hotel tempatku bekerja. Entah aku sedang kesal atau sedang sedih, senyum ini harus tetap terpasang siaga di wajahku, karena senyum inilah aku digaji oleh perusahaan.

Terlihat mudah bukan?

Lihat selengkapnya