"Harga dari segala sesuatu adalah jumlah kehidupan yang kau tukarkan untuknya."
– Henry David Thoreau
Dari banyaknya orang yang ada di ruang tunggu itu, aku juga di sana. Bandara Schipol, salah satu bandara tersibuk di dunia. Orang banyak mondar-mandir, sama seperti keraguan dan kekhawatiran berlalu-lalang di pikiranku. Suara-suara di kepala mengalahkan keramaian. Bukan karena masalah pekerjaan yang harus mengirimku ke kota seberang. Alasannya adalah harga diri.
Aku mengusap boarding pass yang sudah kusut di tangan. Satu tulisan yang membisingkan kepala. Yakni Jakarta, Indonesia.
"Hier is uw koffiebestelling. Geniet ervan[1]!"
Seorang barista dari salah satu kafe di ruang tunggu menyodorkan segelas kopi hangat yang baru kupesan 20 menit lalu, membuyarkan lamunanku.
Kutengok jam tangan, pukul delapan malam. Aku menghidupkan layar ponsel. Ada enam puluh tujuh panggilan tak terjawab. Ini panggilan ke enam puluh delapan.
Aku menarik napas dalam-dalam. “Stop calling me! Rotzak[2]!”
Setelah berteriak, ponsel kumatikan. Alis-alis tertekuk ke arahku. Tiga detik luar biasa, lumayan untuk mengurangi penat.
Bangsat.
Satu kata mutiara itu berdengung jelas, menari-nari di kepalaku. Hari-hariku di Amsterdam kandas. Kucoba menyesapi hasil keputusanku yang digagahi egoku sendiri. Sudah kurang lebih berpuluh-puluh jam aku tidak menggubris notifikasi pada ponsel genggam ini. Manusia zaman ini menyeramkan. Tuhan seolah menghukum kami dengan cepatnya informasi di era sakti ini. Dalam hitungan jam, aku berubah jadi terkenal.
Viral kata mereka. Anal, kataku.
Sakit sekali rasanya dihujat orang-orang tak dikenal. UNESCO memerintahkan pemecatanku di hari yang sama. Ya, begitulah akhir karirku. Mungkin, beginilah tamatnya riwayat seorang blasteran berketurunan Belanda sepertiku. Berakhir pulang ke negeri jajahannya sendiri, mencari batu sial.
Semua berawal karena batu itu. Batu jahanam yang memporak-porandakan kehidupanku. Kukenang lagi percakapanku yang mengawali semua ini.
“Rafael, kita dapat jadwal liputan dari National Historic. Nanti, kau akan jadi narasumbernya.”
Kembali ke tiga minggu sebelumnya, di kantor Hendrik yang lengang. Hendrik masih atasanku saat itu. Ia memainkan tetikus dengan jari penuh micin. Aku menunggu jawaban.
Hendrik mengunyah satu keping lagi. “Kemungkinan besar seminggu dari sekarang. Mereka ingin bertanya mengenai permata Hortense.”
“Baik. Apakah ada yang harus saya persiapkan secara khusus?”
“Kelihatannya tidak ada. Persiapkan saja jawaban dari pertanyaan yang kira-kira akan ditanyakan. Kau bebas dalam menjawab pertanyaan berdasarkan informasi yang kau ketahui. Kita akan bertemu lagi setelah cuti karyawan selesai.”
Aku mengangguk.
Begitulah percakapanku dengan Hendrik. Wawancara pun bukanlah hal sulit. Begitulah pikirku saat itu, sampai dua hari kemudian aku berkunjung ke rumah mama di Amsterdam.
“Rafael, ada paket. Coba kau lihat!” teriak mamaku dari bawah.
Kuambil paket yang dibungkus kertas cokelat itu. Dari bentuknya, sepertinya ini lukisan.
“Dari siapa?” tanya mama.
Kubolak-balik ia dari berbagai sisi. “Tidak ada pengirimnya.”
“Aneh sekali ini,” ucap mama.
Aku mengambil cutter. Kutorehkan kertas pembungkusnya.
Mama berdecak kagum. “Zo mooi[3]! Bagus juga lukisan ini!”
Aku mengangguk setuju. Kutatap lamat-lamat gadis pada lukisan itu. Ia sepertinya adalah seorang bangsawan pada abad ke delapan belas. Ia terlihat elegan dengan gaun berwarna biru azure yang membalut dirinya. Gaun yang membalutnya semakin elegan dengan memberikan celah di dadanya. Matanya memandang polos ke arah sang pelukis. Rambutnya pirang kecokelatan. Senyum sederhana. Mata yang sayu. Semua hal itu membuatku tertegun sejenak. Sampai aku memandang ke arah sesuatu yang menggantung di lehernya.
“Sebentar, bukankah ini Queen Hortense?” ucap Mamaku yang menyentuh gambar kalung pada lehernya.
“Masa sih?”
“Ya, ini ‘kan berlian Hortense! Warnanya merah muda. Ini juga tampangnya mirip dengannya.”
Tak sampai dua detik, mamaku memiringkan kepala. “Tapi sepertinya ini palsu. Ukuran berliannya terlalu besar. Harusnya ia jauh, jauh lebih kecil. Berlian Hortense di sini, besarnya keterlaluan. Siapa sih ini yang melukis?”
“Kateng?” Aku menunjuk pada sebaris kata pada ujung lukisan.
Mama menatap lamat-lamat tulisan yang tertulis menggunakan cat coklat tersebut. “Heh, nama macam apa ini? Apa dia orang Belanda?”
“Sepertinya bukan,” ujarku menyeringai.
“Itu seperti nama di Afrika. Mungkin nenek moyangnya orang Afrika.”
Aku mengangguk-ngangguk, walau keningku mengkerut.
Mengapa lukisan ini mendarat di rumah ibuku tanpa alasan? Logikanya, jika ada seseorang yang seniat ini mengirimi kami lukisan tanpa jasa kurir, maka bisa dipastikan ia mengirim lukisan ini sendiri. Tapi siapa?
“Lukisan ini palsu. Nanti akan mama buang saja.”
Aku mengusap dagu. “Ma, coba nanti aku cek terlebih dahulu keasliannya. Jika memang benar ini adalah lukisan asli, maka bukankah lebih baik kita sumbangkan sebagai koleksi museum?”
“Kita baru dari Louvre minggu lalu. Kau tidak ingat melihat berlian itu terpampang di sana? Dilihat dari berliannya saja, ini lukisan palsu,” ucapnya menghela napas.
“Rafael, kamu kira masih kurang barang-barang yang kita kumpulkan untuk UNESCO? Tak terhitung jumlahnya warisan keluarga kita yang mama juga sudah tidak tahu apa cerita di belakangnya. Yang paling mama ingat, ya hanya berlian ini. Karena berlian itu benda termahal yang kita punya. Tapi itu pun juga sudah disumbangkan.”
“Mama tidak menyesal, menyumbangkan semua itu untuk museum?”
“Tentu saja tidak. Bagaimana mungkin mama menyesal kalau melihat kamu sekarang bekerja di UNESCO? Tentu yang utama adalah keluarga!”
Kami berdua tertawa. Tawa terakhir yang kudengar dari mama sebelum akhirnya aku membuang semuanya.
“Panggilan untuk penerbangan menuju Jakarta, Indonesia. Bagi penumpang yang telah memiliki tiket pesawat, dipersilakan menuju boarding room,” ucap suara wanita di langit bandara.
Suara itu membangunkanku dari lamunan. Sampai sekarang, aku masih menyalakan fitur silent di ponselku. Aku tidak mau mama meneleponku.
“Ini semua gara-gara pemegang mic sialan dari National Historic itu.”
Ya, bajingan itu merekam pembicaraan yang kulakukan dengan pewawancara dengan ponselnya, lalu dia upload ke media sosial. Kalau dipikir lagi, itu bukanlah pembicaraan. Lebih seperti diskusi yang tegang dan melelahkan. Oke, kuakui. Setelah kupikiran lagi itu adalah omelan, hujatan, dan cacian dari mulut kotorku kepada penanya tak tahu diri itu.
Pada minggu itu, setelah aku selesai mengunjungi mamaku, aku pergi ke tempat lain. Aku menuju salah satu fasilitas carbon dating di Belanda, tepatnya di University of Groningen. Aku menumpang kereta IC, menghabiskan kurang lebih dua jam terduduk dan tertidur pulas.
“Guten morgen[4], nama saya Rafael Van Bergen, saya dari UNESCO. Apakah di sini menyediakan fasilitas untuk mengecek umur suatu benda historis?”
Setelah mendapat konfirmasi dengan pihak universitas, aku pun memberikan mereka lukisan itu. Setelah mereka menjelaskan mengenai isotop, radiokarbon-apalah, akhirnya aku setuju. Mereka melakukan uji coba terhadap lukisan yang aku berikan. Setelah bertamasya tiga hari di Groningen, aku mendapatkan jawabannya dari mereka.
“Tuan Rafael, mengenai lukisan Queen Hortense yang anda berikan kepada kami untuk diperiksa, kami dapati bahwa lukisan ini dibuat dua ratus tahun yang lalu. Tepatnya pada tahun 1800an.”
Itu di luar ekspektasi.
“Anda yakin?”
“Ya, kami sudah melakukan …,” orang itu lanjut menjelaskan mengenai detil-detil yang tidak penting.
“Baik kalau begitu. Terima kasih atas bantuannya.”
“Jika anda masih merasa ragu, anda bisa untuk mengeceknya kembali di fasilitas yang berbeda.”
Sorenya, Aku pergi ke Paris-Sclay CEA center. Aku menumpang pesawat ke Paris, satu jam berangkat dari universitas menuju ke bandara Groningen. Cukup merepotkan. Tapi ya, hitung-hitung sekalian liburan.
“Hasil menunjukkan bahwa lukisan ini sudah berusia dua ratus tahun, tuan Rafael,” ucap orang berkumis putih yang berdiri di hadapanku. Setelah beberapa hari di Paris untuk menunggu hasil radiocarbon ini, aku mendapat jawaban yang sama.
Aneh sekali bahwa lukisan yang dilukis di era yang sama dengan kehidupan Hortense ini baru muncul sekarang-sekarang ini. Lukisan ini menyimpan banyak misteri.
“Apakah bisa diketahui, dimana lukisan ini dibuat?”
“Sayangnya, tidak. Namun jika anda ingin untuk melakukan pengujian lebih lanjut lagi, mungkin kami bisa menemukan sesuatu,” ucap orang berkumis itu. Kumisnya bergetar-getar ketika ia berbicara.
“Saya kira sudah cukup. Terima kasih atas kumisnya.”
Lawan bicaraku mengkerutkan kening dan kumisnya. “Apa maksud anda?”
Aku baru sadar kebodohanku. “Maaf, maksud saya, terima kasih atas bantuan anda.”
Keluar dari institut itu, kepalaku berputar. Mengapa benda itu tiba di depan rumah ibuku? Kenapa baru sekarang? Kenapa tidak sejak dua ratus tahun yang lalu?
Aku bertanya-tanya pada mama melalui pesan singkat.
“Setahu mama, tidak ada kenalan Hortense bernama Kateng. Hortense hanya kenal dengan orang-orang dari Eropa, seperti dari Perancis, Belanda, Inggris, ya semacam itulah. Tidak ada yang dari Afrika.”
Mendadak, aku menggali sejarah tentang Hortense. Kutelusuri situs-situs internet, website, artikel sejarah, bahkan di memoirnya sekali pun tentang Kateng. Siapa sebenarnya Kateng ini? Apa mungkin Kateng bukanlah nama orang? Nama tempat mungkin, atau institusi? Atau apalah, aku tidak tahu.
Aku membungkus semuanya di benakku. Yasudahlah, untuk apa juga aku memusingkan hal itu? Saat ini yang bisa kulakukan adalah entah menyumbangkan lukisan atau melelangnya. Sampai aku bertemu Natalie Hilman, si pewawancara.
Sudah dua puluh menit aku mengobrol dengan perempuan bernama Natalie ini. Ia sampai pada bagian penutup, sepertinya.
“Hortense’s Diamond, adalah berlian paling berharga di Belanda. Setidaknya begitu menurut pendapat anda, benarkah?”
“Iya, melihat dari nilai historisnya yang begitu kompleks, saya rasa berlian ini adalah berlian yang tidak hanya bernilai mahal karena beratnya, namun juga karena bobot cerita yang panjang di belakangnya. Anda mengerti maksud saya, bukan?” ucapku mengguyon, terkekeh.
Ia tidak terhibur. Wanita berkacamata tebal itu diam saja. Pulpennya bergetar-getar mencatat perkaatanku.
Kantorku di UNESCO menjadi tempat kami berbincang. Ada satu kru kamera, satu orang asisten Natalie yang berdiri bak mati suri, dan seorang pemegang mic boom.
Wawancara ini dingin. Setiap aku bercanda, wanita ini tidak tersenyum. Tatapannya tajam, menelisik. Wajahnya serius. Mungkin dia sedang datang bulan.
“Oke kalau begitu,” gumamnya sambil terus menulis.
Pemegang mic menguap. Satu per satu orang di ruangan itu pun ikut merasa kekurangan oksigen. Aku paham kebosanan mereka. Berlian Hortense telah diliput berkali-kali. Berita yang sama, itu-itu lagi. Tapi gestur itu sangat menggangguku, entah mengapa.
“Anda kelihatan tidak tertarik,” kataku tersenyum, menggoyang-goyangkan kaki.
“Apa maksud anda?”
“Sepertinya anda tidak terlalu tertarik dengan berlian ini.”
“Apakah terlihat seperti itu?”
“Ya,” ujarku menggaruk kepala, canggung dengan pertanyaan itu sendiri.
Aku menghitung mundur. Apakah aku harus memberitahunya tentang lukisan itu? Tidak, sepertinya tidak penting. Untuk apa aku memberitahu hal seperti itu? Aku bahkan belum berbicara pada Hendrik soal ini. Resikonya terlalu banyak. Aku akan menyimpan lukisan ini sendiri untuk diriku tanpa ia mengetahuinya.
“Apakah anda akan tertarik jika saya memberitahu bahwa kami menemukan lukisan Hortense dari abad ke delapan belas, mengenakan kalung berlian tersebut?”
Ingin kutampar bibirku yang sial ini.
“Oh ya? Dari mana lukisan itu berasal?”
Rafael, kau baru saja membuat kesalahan.
“Sayangnya sumber kami mengatakan untuk merahasiakan identitasnya,” ucapku mengelak. Sejujurnya pun, aku tidak tahu siapa sumber yang kubicarakan.
“Apakah lukisan ini reliable?”