Sampah dan Bertuah

Astromancer
Chapter #3

Berpacu dengan Takdir

 

  "Kehidupan adalah ujian, dan setiap pilihan yang kita buat adalah sebuah jawaban."

-      A.P.J. Abdul Kalam

 


Kepada Abigail De Jong

Nederlands-Indië.

 

Hi Abigail,

Aku menuliskan surat ini, beberapa saat setelah aku yakin bahwa aku berada dalam masa aman. Kau harus mengetahui bahwa situasi di tanah kelahiranmu sedang tidak baik-baik saja. Mungkin kau sudah dengar apa yang terjadi kepada Kaisar agung Napoleon Bonaparte. Setelah bergulingnya kekuasaannya, keluarga kerajaan mendapatkan banyak perilaku sinis dari masyarakat. Tapi tenang saja, Abi. Di sini aku aman bersama dengan anak dan suamiku yang baru. Di Switzerland, kami bisa menjauh dari urusan politik yang memuakkan.

Bagaimana kabarmu? Jikalau saja aku bisa terbang mengarungi angkasa raya dan mendapatkanmu di Hindia, maka sudah akan kulakukan itu. Aku sangat kehilangan dirimu. Kemana saja kau? Ke daerah antah berantah mana lagi yang kau kunjungi? Petualangan macam apa yang sudah kau lakukan? Kuharap, mereka tidak menemukan apa pun tentangmu. Kau harus pergi kepada kebebasan dan kepada kebebasan pula kau harus berpulang. Dimanakah kau akhirnya menemukan alasanmu untuk tinggal? Kiranya kau tak terbelenggu lagi dengan masa lalu yang memasungmu di sini.

Kau harus tahu, bahwa rumahku menjadi tempat yang luar biasa. Banyak orang yang mendukung Kaisar Agung berkumpul dan saling bertukar pikiran. Di sini, aku bertemu dengan banyak orang hebat. Kau tahu bahwa aku selalu memiliki hati seorang seniman dimana saja aku berada. Politik tidak cocok denganku. Satu-satunya yang bisa kulakukan untuk politik saat ini, adalah menghimpun orang-orang yang menyukai Napoleon. Para pemikir, ahli sejarah, ahli lukis, musik, dan penyair; mereka berduyun-duyun datang ke sini-hanya untuk saling bertukar karya. Kau tidak akan percaya bahwa Lord Byron juga mengunjungi rumahku di Swiss. Ya, kau pasti bisa mengenali bagaimana tulisanku sangat berubah. Ya, aku tahu. Dia cukup mempengaruhiku. Dia berencana untuk menulis kembali. Sebuah karya berjudul Don Juan akan rampung. Aku menantikan kapan kira-kira ia akan menyebarkannya kepada khalayak.

Begitulah sejenak riwayat hidupku, sepeninggalnya engkau dari Netherland. Pesanku hanya satu, Abi. Hiduplah untuk kebebasan. Ingatlah janji kita. Kau akan menemukan keindahan sejati. Tuhan menyertai langkahmu, seperti bagaimana Ia menyertai langkahku. Berdoalah juga untuk Napoleon. Aku percaya, ia bisa sekali lagi menjadi Kaisar.

 

Kertas lusuh itu tersimpan dalam sebuah amplop, terselubung di tengah hutan dokumen perpustakaan Leiden. Sebenarnya surat ini sudah diketahui. Sayangnya, tidak ada yang merasa ini penting. Keluarga Hortense, sudah bukan lagi ancaman ataupun bangsawan. Mereka adalah orang-orang biasa, yang tinggal di Belanda.

Lampu seat belt menyala. Sudah saatnya aku akan tiba kembali di negara yang dulu kusebut rumah ini. Aku mengontak Edi melalui sosial media. Ia membalas dengan cepat, menyatakan bersedia untuk membantu. Aku akan menumpang di tempatnya, ketimbang di rumah ayahku dulu.

Aku memasukkan sebagian besar tabunganku untuk dikonversikan ke rupiah. Tujuh lima juta rupiah untuk mencari berlian adalah harga yang sangat murah, cenderung merendahkan. Penyesalan karena hidup boros menghantuiku sekarang. Aku terpaksa membawa beberapa arloji, sekiranya mungkin bisa kujual sesampainya di Indonesia. Kalau saja pengalamanku bertamasya ke berbagai negara bisa diuangkan, sudah kulakukan juga hal itu.

 

Edi sudah tinggal sendiri. Ia seorang bujang, lajang, punya perusahaan, mapan, tampan, impian para perawan. Namun ia memilih menyendiri. Ia memiliki apartemen di kota Tangerang. Tempat aku menumpang malam ini. Setidaknya sampai besok. Ya, setidaknya begitu rencanaku. Tanpa kutahu, Edi sangat clingy.

“Rafa!” Edi membuka tangannya memeluk tubuhku hangat.

Tanganku penuh bawaan, tidak bisa membalas pelukannya. “Senang berjumpa lagi, Ed,” ucapku sebagai balasan dari pelukannya.

“Lu udah lupa ya cara ngomong di Indo?” Ia terkekeh geli.

“Sialan lu.”

Tentu saja aku masih ingat. Setidaknya bahasa Indonesia informal yang dulu kupakai ketika masih bocah, bisa berguna di sini.

“Lama banget lu di Belanda ya!”

Sorry banget gua harus balik ke Indonesia dengan cara seperti ini. You know, numpang di tempat lu.”

“Tenang aja. Gua selalu punya tempat untuk teman lama. Gua suka lu berkunjung juga ke sini. Gila! Jadi apa yang ngebuat lu datang ke sini? Gua belum dengar ceritanya,” Edi membantu mengangkat koper.

“Oke, jadi gini,” aku mengeluarkan handuk dari koper.

“Gimana?”

“Gua akan mandi. Lu play video ini di YouTube,” Aku bergegas. Udara Indonesia yang lembab dan menjijikan membuat natur habitual Indonesiaku kembali juga.

“Yah, serius lu?” ujarnya dengan wajah memelas.

 

Aku keluar setelah mandi dan mengganti pakaian.

“Jadi, intinya lu buat taruhan sama cewek ini?”

“Yap. Perek itu,” ujarku, membenarkan.

“Wow! Santai bos. Masih inget aja lu ya, kalau kata kasar Indo.”

“Lu semua ‘kan yang ngajarin gua kata kasar dulu, baru kata-kata Indonesia yang berguna. Gua cuma menggunakannya di saat yang tepat.”

“Ampun om, sadis.”

“Ya, intinya begitulah. Gua jadi kembali lagi ke sini. Setelah gua mencari tahu banyak hal tentang berlian itu dari banyak sumber, gua berakhir ke sini.”

“Lu belum ngabarin oma?”

“Enggak. Kalau bisa, dia nggak perlu tahu gua di sini.”

“Lu belum baikan?”

“Belum.”

“Astaga! Lu baikan sekarang, buruan! Ini udah berapa tahun, Rafa? Masih mending oma lu ini masih hidup loh! Mending lu minta maaf.”

“Gua nggak salah waktu itu ya. Gua, cuma belum tahu. Gua bocah waktu itu.”

“Ya, menurut gua sih, dia juga udah maafin lu kali.”

“Anjing itu, anjing kesayangannya. Mana gua tahu kalau anjing bisa meninggal makan cokelat?” Ucapku mengingat kejadian bertahun-tahun lalu.

“Tapi lu ‘kan bukan anjing. Lu orang! Lu cucu dia, bos. Dia bisa cari anjing lain, tapi dia gak bisa ngegantiin lu sebagai cucunya.”

Edi mengakhiri perdebatan. Ia betul, tidak ada yang bisa menggantikanku. Aku cucu miliknya. Satu-satunya.

“Ya, mungkin nantilah gua kunjungi Oma. Gua mau langsung mulai pencarian besok.”

“Dimana lu mau nyari? Museum Oma lu?”

“Iya, betul. Museum itu.”

“Memang mereka masih beroperasi?”

“Gua udah cek di internet. Masih kok.”

“Oke, semoga lu suka study tour-nya.”

Lihat selengkapnya