"Manusia yang tidak tahu menilai dirinya adalah manusia yang akan dihancurkan."
- Tan Malaka
Celebes Zee, 1808.
Kapal Pieter-Enkhuizen,
Sebuah kertas melayang-layang di angkasa. Badannya yang ringan terbang bebas tanpa ada yang menghalangi. Ia menari mengikuti arah angin pergi. Kertas itu mendarat di atas satu-satunya kapal di lautan. Sebuah kapal layar yang membelah permukaan air laut bagai mata pisau belati di atas mentega. Kapal Galleon itu mengarungi lautan dengan layar-layarnya yang lebar, tegas membentang, melaju dengan kecepatan penuh. Sebuah bendera berwarna Merah-Putih-Biru berkibaran di tiang tertinggi kapal menegakkan pesan tentang identitas dari kapal tersebut.
Kadang terbersit kekonyolan di pikiran juru mudi. Betapa anehnya sebuah kerajaan dengan nama yang sama-sama punya nama ‘Belanda’ di dalamnya, hanya karena tambahan satu kata ‘Hindia’, bisa menjadi sangat jauh. Dibutuhkan waktu berminggu-minggu untuk sampai ke sini. Juru mudi itu bernama Wolfswinkel. Kadang orang menyebutnya Van Wolfswinkel.
Perjalanan ini disponsori oleh Pieter Vinke, nakhoda sekaligus kapten kapal dan juga pemilik kapal warisan ini orang yang dermawan. Kedermawanannya membuat orang suka padanya. Beberapa awak kapal yang direkrut Pieter adalah orang-orang yang ingin pergi ke Hindia. Pasalnya, mereka orang-orang muda dan sebagian besar bukan terlahir di keluarga bangsawan. Mereka hanya orang-orang muda yang penuh dengan mimpi dan ambisi.
Menimbang kebaikan hati Pieter Vinke, juru mudi melupakan kelemahannya. Biasanya memang kekurangan orang baik adalah menjadi terlalu baik. Sedangkan kelebihannya sialnya juga adalah menjadi terlalu baik. Pamannya bekerja di kongsi dagang terbesar di dunia saat itu. Pamannya, menginspirasi Pieter untuk meninggalkan dunia militer dan masuk ke dalam dunia dagang.
“Di dalam perdagangan, tidak ada aturan. Kau tidak harus patuh pada siapapun, jika kau adalah saudagarnya.”
Kalimat yang terngiang-ngiang di telinga Pieter.
Pada usianya yang baru menginjak dua puluh tiga tahun, ia bergegas pergi setelah mendengar ayahnya meninggal karena penyakit yang tidak diketahui namanya. Ayahnya meninggalkannya sebuah kapal. Ia berpesan pada Pieter supaya bisa menjual kapal ini dan mendapatkan uang. Pieter tentu saja memiliki ide yang lebih baik. Ia menambatkan kapal pada pelabuhan di Rotterdam, menyebarkan pamflet berisi undangan untuk yang mau naik kapalnya. Selama mereka semua punya keahlian, maka ia akan menerima orang-orang yang naik.
Termasuk gadis terakhir yang datang itu. Namanya Abigail De Jong, ia bisa menulis. Detik dimana ia menampakkan diri di atas kapal, orang sudah mencium bau uang dari rupanya saja. Pun begitu, asal-usul gadis itu tidak diketahui. Apa yang seorang gadis cantik dan tampak terawat itu lakukan di kapal sekali-pergi seperti Enkhuizen, yang berangkat menuju tempat di ujung bumi yang sangat terbelakang, dengan awak-awak kapal yang seadanya? Tidak ada yang tahu. Tapi Pieter tetap mengizinkannya naik.
Kembali kepada kertas yang berayun-ayun dan mendarat di atas kapal itu. Abigail berjalan mendekatinya, dan mengambil kertas itu. Abigail menimang kertas tersebut dengan tanda tanya besar. Tangan lentiknya menggpai kertas. Selebaran kertas berwarna cokelat itu ternyata berisi sebuah iklan dengan narasi untuk mencari budak pribumi.
Angin terus meniup anak rambutnya yang berwarna cokelat itu. Matanya yang biru tidak berkedip membaca isi kertas itu.
“Kita sebentar lagi akan sampai di Celebes,” ucap juru mudi, Wolfswinkel. Matanya mimicing tajam ke arah ujung lautan di depannya.
“Celebes? Berarti kita akan segera sampai di Java?” Pieter bertanya balik.
“Celebes beda pulau dengan Java. Apa kau tidak tahu?”
“Tidak, aku kira mereka di satu pulau,” Pieter menggaruk-garuk kepala.
Wolfswinkel mendengus geram melihat kelakuan kapten kapalnya itu.
Udara panas bergantian dengan angin yang terus berembus.
“Akhirnya, kita sampai di sini. Inikah tempat tujuan akhir kita?” Abigail menyambung percakapan.
“Sepertinya begitu. Aku senang bisa menghabiskan waktu berlayar bersamamu,” Pieter menatap mata gadis itu.
“Apakah seharusnya kita tenggelam saja di Tanjung Harapan? Bisa saja dengan itu, petualangan ini jadi tidak pernah berakhir,” Abi menjawab kikuk. Ia melemparkan lelucon yang buruk. Namun karena ia cantik, ia dimaafkan.
Sontak, beberapa awak kapal yang hadir di sana, menggoda kapten mereka dengan berdehem keras-keras. “Ehem! Ehem!”
Pieter Vinke tidak menghiraukan godaan anak kapalnya. Ia pikir mereka sedang sakit tenggorokan. Abigail yang peka, tersipu malu. Ia bingung dan akhirnya melempar senyuman saja.
Setelah itu, semua orang beristirahat. Abigail membuka pintu kamarnya di kabin. Para penumpang kapal memiliki kamar besar untuk mereka beristirahat. Sedangkan Abigail, mendapatkan kamarnya sendiri. Ia duduk di atas tong kayu kecil yang berada di sana.
Ia membuka sebuah kotak kayu kecil. Isinya adalah batu berlian, perhiasan, dan sebuah buku catatan. Di antara semuanya, berlian itu adalah yang paling ia jaga. Tentu bukan hanya karena harganya yang mahal. Tapi juga karena berlian itu adalah pemberian temannya, Hortense. Kadang ia berpikir, kalau dirinya ini agak gila karena mengikuti Pieter dan awak kapalnya berlayar sampai sini. Pun begitu, akhirnya ia sampai. Beberapa saat lagi, ia akan memulai kehidupan baru di Hindia.
Ia menuliskan perjalanannya memasuki Celebes pada jurnal miliknya. Ia mencari pena miliknya. Di saat pena itu mendarat di jemarinya, ia kehilangan kata-kata. Apalagi yang harus dituliskannya?
Ia membolak-balik halaman jurnal miliknya. Lembar-lembar berisi pengalamannya, ketika ia masih berada di negerinya. Masih teringat senyum Hortense yang mengembang penuh haru untuknya, di saat-saat terakhir mereka berpisah.
Perempuan tak kuasa menahannya. Beberapa titik air mata jatuh.
“Kau harus segera pergi,” seorang perempuan dengan tudung berbicara di balik tembok gereja itu.
“Jika kau tidak pergi dan mengambil kesempatannya sekarang, tidak akan ada lagi kesempatan, Abi. Kau sedang diincar oleh banyak orang.”
Abigail berdiri di hadapannya, mengenakan pakaian biarawati. Ini adalah pertemuan terakhirnya dengan Hortense. Ia tahu itu. Waktunya tidak banyak.
“Kudoakan kau beruntung. Kelak, kau akan mendapatkan kebahagiaan,” Hortense mengelap air mata yang sudah menggenang lama.
Gadis berambut pirang di hadapannya, masih terdiam beku. Angin musim gugur berembus pelan. Membuat suasana menjadi lebih dingin dan syahdu. Pohon-pohon maple bergoyang, terkena embusan angin lembut. Awan mendung seolah tak pernah pergi dari Netherland, sebuah tanah datar dari ujung sampai ujung. Tak ada gunung di sepanjang daerah ini. Hanya bukit menjulang. Pemandangan kotanya biasa-biasa saja. Abigail rasa alasan itu cukup untuk dirinya pergi dari sini, walau ada beribu alasan lain dibaliknya.
“Kau cantik, Hortense. Kau adalah manusia Tuhan yang paling cantik sejagad raya. Kuyakin, siapapun itu yang hidup bersamamu akan berbahagia selamanya. Maksudku, astaga! Lihat dirimu. Kau cantik bahkan saat sedang menangis seperti ini,” Abigail mendorong kecil bahu temannya. Berusaha sebisa mungkin juga untuk tidak menangis.
Hortense balas tertawa kecil. Matanya terpejam sejenak sebelum kemudian menjadi cerah lagi.
Sekali lagi pikirannya berputar pada kenyataan ini: Abigail yang bahkan tidak bisa mengucapkan salam perpisahan dengan baik, apakah mungkin dia bisa untuk bertahan di tengah dunia yang keras ini? Namun setelah dipikirnya, kalimat itu baik juga untuknya. Ia jadi bisa mengenang Abigail dengan caranya. Begitulah adanya Abigail.
“Jaga dirimu baik-baik, Abi.”
Abigail masuk ke kamarnya setelah pertemuan singkat itu. Kehidupannya akan berubah esok hari. Ia akan meninggalkan Amsterdam dan mencari kapal untuk menumpang ke Hindia. Ia dengar ada desas-desus tentang seorang pewaris yang ingin berlayar ke sana. Kapal dari Enkhuizen tertambat di pelabuhan dekat sini.
Ia melepaskan baju biarawatinya di kamar yang gelap itu, menghela napas, dan duduk di atas kasurnya. Ada sebuah benda persegi panjang bersandar pada dinding. Benda itu berdiri dengan sebuah kain menutupi permukaannya. Dari bentuknya, Abigail bisa menebak itu adalah lukisan. Ia berdiri, kemudian menyibak kain itu.
Lukisan Hortense, mengenakan gaun kesayangannya. Di lukisan ini, Hortense nampak polos dan sangat cantik. Senyuman seorang gadis belia, belum memikirkan apa-apa tentang kemelut dunia yang menyergapnya tiba-tiba saat ia harus jadi Ratu Belanda. Apalah daya, hari itu ia terpilih. Kehendak kaisar adalah mandat.
Abi memerhatikan dengan seksama lukisan itu. Senyum Hortense yang sederhana, tanpa dibuat-buat. Matanya yang sayu. Rambutnya yang terkulai ke belakang. Walau beberapa anak rambutnya acak-acakan berdiri ke atas.
Ia membalik lukisan perlahan.
Ada sebuah tulisan dengan bahasa Belanda di situ.
‘Kemanakah semua yang indah berhimpun? Apalah artinya menjadi muda, kaya, dan menawan jika kau diperlakukan bagai barang? Simpan ini baik-baik. Kembalikanlah ketika kau sudah menemukan jawabannya.’
Abi mengusap pelan kanvas bisu tersebut. Abigail tidak tahu mengapa Hortense ingin ia menyimpan benda ini. Yang jelas, Abi ingin bergegas untuk merapikan barangnya dan pergi dari sini. Ia harus berpamitan pada para biarawati lainnya.
Ketika ia sedang merapikan barang-barangnya, ia menyadari ada sebuah kotak peti kayu yang tergeletak di atas mejanya. Kotak itu tidak ada di sana sebelumnya. Tangannya bergerak memutar tuas pengunci kotak yang ada di depan. Perlahan ia mengangkat tutup kotak kayu itu.
“Ya Tuhan!” Abigail terhuyung menjauh dari kotak itu. Tidak ada bangkai tikus di dalamnya. Apalagi tangan manusia. Namun, hal yang ada di dalam kotak itu jauh lebih mengagetkannya dari itu semua.
Gadis itu bangun perlahan. Ia memaksa lututnya yang lemas untuk berdiri. Aliran darah masih deras mendesing di otaknya.
Ia menatap ngeri ke arah benda yang terbungkus setengah dengan kertas itu. Merah benda itu menyala di tengah gelap. Isinya adalah sebuah batu pusaka.
Sebuah catatan tertulis di dalam kotak itu.