Sampah dan Bertuah

Astromancer
Chapter #5

Ragnarok ala Post-modern

"Media sosial adalah senjata penghancur massa terbesar di abad ke-21."

-   Unkown


Aku dan Edi menatap lamat-lamat kertas yang ada di hadapan kami. Begitu berantakannya tulisan ini, sampai hari berubah menjadi sore saat kami selesai membaca satu bagian. Ya, aku yang membacanya dengan suara keras-keras. Tidak hanya membaca, tapi juga menerjemahkan ke bahasa Indonesia supaya temanku ini bisa mengerti isinya. Sekarang kerongkonganku kering. Rasanya seperti habis menelan ampas rokok.

Edi seolah tahu bahwa aku sudah sangat haus. Cuaca Jakarta bagai neraka. Ini jam lima tapi panasnya cuaca membuatku merana. Orang Belanda sepertiku memang tidak usah kemana-mana seharusnya.

Edi memberiku minum. Sebotol air putih yang ia simpan entah sejak kapan.

“Jadi, lu mau ke Sulsel,” tanyanya, membuka pembicaraan.

“Iya,” Aku menjawab lemas.

“Saran gua sih, lu abisin dulu baca jurnal ini. Siapa tahu, ada banyak lagi petunjuk yang bisa lu dapetin ketika masih di Jakarta. Gimana kalau kita coba cari sumber dari perpustakaan nasional?”

Aku menenggak habis air dari botol tersebut.

“Pertama, ayo kita pulang dulu. Gua udah penat, Ed. Kita cari tempat yang lebih adem.”

“Yaudah, ayo kita balik dulu deh.”

Aku mengeluarkan ponsel dan memfoto isi dari jurnal ini. Bagian-bagian yang tidak sempat kubaca.

“Kenapa kita nggak tanya aja ke Bu Lisa? Siapa tahu kita bisa bawa ini.”

“Ini koleksi museum. Mana mungkin dikasih begitu aja ke kita. Udahlah Ed, gua kerja di UNESCO. Kita nggak bisa ambil apa pun dari museum negara. Lagian nenek gua bisa jadi nanti jadi tahu tentang gua,” kataku sambil membalik-balik halaman. Kamera ponselku sigap membidik kertas-kertas lusuh pada jurnal itu.

Edi menyeringai menyebalkan. “Cuy. Lu di Indonesia. Semua hal, bisa dibantu.”

Sejurus kemudian, Edi sudah meluncur meninggalkanku sendirian. Beberapa saat setelah itu Bu Lisa muncul dengan senyuman yang ramah.

“Tuan Rafael, anda bisa bawa saja kotak kayu itu.”

Aku terperangah. “Apa tidak apa-apa, bu?”

“Iya. Tidak apa-apa. Nanti Tuan Rafael informasikan saja ke saya, kalau misalnya Tuan betul-betul sudah ingin pulang ke Belanda. Baru dikembalikan,” ucap Bu Lisa.

“Oh, dan saya tidak akan beritahu soal ini ke Ibu Rosiati. Selama Tuan Rafael nanti bisa mengembalikan lagi pinjaman itu.”

Aku mengucapkan beribu terima kasih. Edi berdiri di belakangnya, tersenyum tengil. Aku tidak tahu menahu tentang apa yang dilakukannya tadi. Aku telak tertampar realita saat aku duduk di mobil Edi.

“Gua bayar Bu Lisa,” ucap Edi santai.

Mulutku menganga. “Hah!”

“Gua kasih dia lima belas juta. Dia langsung sumringah. Awalnya gua mau beli aja kotaknya. Tapi dia agak keberatan. Jadinya gua bikin kesepakatan untuk pinjam kotak itu. Dengan memberikan dia jaminan.”

“Terus apa jaminannya?”

“Jaminannya? Ya apa lagilah? Foto Pasport lu.”

Aku menghela napas. Edi tertawa puas.

Sebenarnya aku belum tahu itu hal bagus atau bukan. Tapi setidaknya kotak kayu ini bisa kubawa. Inilah petunjuk awal dari semuanya. Aku bersumpah akan menemukan berlian itu.

“Berarti, dari jurnal yang kita udah baca sejauh ini, berlian itu memang beneran ada ya?”

“Di jurnal memang cuma tertulis bahwa Abigail kaget banget ngeliat barang pemberian Hortense. Nggak disebut detil bendanya itu berlian. Walau menurut gua, udah jelas sih. Sebenarnya, bisa dibilang bahwa Hortense memang kasih berlian itu ke Abigail sih.”

“Tapi, belum pasti kan?”

“Iya. Seenggaknya ada satu hal yang pasti. Kateng itu beneran hidup. Dia pernah melukis Hortense pakai kalung berlian. Dia tahu pasti letak dimana berlian ini.”

“Kalau Hortense pernah dilukis bareng sama berlian yang gede kayak gini, bukankah berarti harusnya Hortense pernah ketemu sama Kateng?” Pertanyaan Edi terlontar polos begitu saja.

“Hah?”

“Berarti setelah dari Indonesia, mereka pernah ketemu di Belanda nggak sih?”

Aku terdiam.

“Coba deh, logikanya. Kalau Hortense kasih berliannya ke Abigail. Terus Abigail ketemu Kateng. Apakah berarti Kateng mungkin ketemu Hortense untuk ngelukis dia? Di lukisannya, Hortense pake berlian bukan?”

Aku masih terdiam. Hening dalam kesunyian.

“Atau, apa mungkin Kateng pernah ketemu sama Hortense terlebih dulu? Dia bisa aja pernah ngelukis Hortense di masa lalu, sebelum bahkan dia ketemu Abigail ‘kan? Terus waktu ke Sulawesi dia baru ketemu sama Abigail? Kalau dari jurnal, lukisan yang Hortense kasih itu, bukannya sama kayak lukisan yang lu terima ya?”

Aku membenamkan kepala. Perlahan, aku mengembuskan napas. Sedaritadi tenggorokanku terasa sangat sakit.

“Yang bikin gua lebih heran, ngapain Kateng yang bisa ngelukis begitu bagus malah berakhir jadi perampok njir? Dia banyakan nonton film apa gimana dah?”

“Gua capek sih. Kita balik dulu dah.”

“Yaelah, manja bener lu.”

“Gua kayaknya mau sakit, Ed. Ehem,” Aku beberapa kali meredakan serak di tenggorokan.

“Halah, baru juga sehari di Indo. Tapi ya bisa jadi sih. Lu ‘kan dari kemaren banyak banget pikiran.”

“Dahlah, Ed. Gua males bercanda.”

“Yaudah, kita langsung gas aja balik. Nggak makan dulu?”

“Nggak usahlah. Gua makan di rumah lu aja.”

“Gua cuma ada mi instan.”

“Yaudah. Itu pun juga gak apa.”

Edi menginjak pedal gas. Dalam beberapa saat, aku tahu-tahu saja sudah terlelap. Aku tenggelam dalam pikiranku. Aku mencoba memikirkan setiap sisi. Setiap hal yang mungkin terjadi dari sejarah ini. Apa mungkin, Hortense pernah bertemu dengan Kateng? Aku mencari tahu sedemikian rupa waktu masih di Belanda. Tidak ada sumber apa pun yang mengatakan tentang Kateng. Semua ini masih menjadi misteri.

Yang melegakan adalah setidaknya jurnalnya masih belum kubaca semuanya. Berarti masih ada ruang sebelum membuat kesimpulan apa pun.

Selain hal itu, ada lagi yang menggangguku. Misteri yang lebih besar adalah ini: orang macam apa yang meletakkan lukisan ini di depan rumah ibuku? Apa kepentingannya? Darimana asalnya? Kapan ia meletakkannya? Jika saja CCTV milik ibuku bukan pajangan belaka dan berfungsi sebagaimana mestinya, maka aku bisa dengan mudah mencari tahu. Ibuku merasa Belanda terlalu aman. Ia pernah meninggalkan mobil dalam keadaan pintu terbuka, kunci masih mencantel di kendaraan. Tidak ada yang mengambil mobilnya selama semalaman.

Betul, Belanda terlalu aman. Terlalu aman, bahkan sampai ke tahap mengerikan. Seolah kami percaya semua orang di Belanda baik adanya. Sangat berbeda keadaannya ketika mama tinggal di Indonesia dulu. Penuh dengan firasat dan kecurigaan. Ia akan selalu mengunci rumahnya. Ia punya tiga jenis kunci. Kunci slot pintu, kunci gembok, kunci handel. Itu hanya untuk pintu rumah. Pintu gerbang, ia perlakukan demikian juga. Kami bahkan sampai memelihara German Shepherd. Terlepas dari betapa amannya sebenarnya komplek rumah kami dengan satpam yang mondar-mandir.

Sikap paranoid ini memang bukan tanpa alasan. Indonesia, selalu tidak punya kepastian hukum yang jelas. Contohnya pergerakan Mahasiswa yang berdemo di tahun 98. Orang-orang kaya jadi sasaran. Terutama para pendatang. Rumah orang Belanda tentu juga tidak luput. Beruntung bagi kami, perumahan tempat kami tinggal penuh penjagaan ketat. Orang terkaya di perumahan ini (orang sejenis kaum Edi) berhasil menyewa pasukan brimob untuk menghadang. Tidak ada yang berani masuk dikala mereka melihat pasukan-pasukan berseragam hitam-hitam seperti di game online, dengan senjata laras panjang mereka. Tentu, juga dengan anjing-anjing terlatih. Tahun itu sangat mengkhawatirkan. Pemerintah tidak bisa mengendalikan massa. Mereka tunduk kepada sekumpulan orang belum lulus kuliah itu.

Kesan Indonesia di mataku, sama buruknya dengan yang dipandang ibuku. Selain karena sifat anarkis orang-orang di sini, mereka juga bodoh. Tingkat literasi negara ini begitu rendah. Mereka tidak pernah dengar pepatah ‘buku jendela dunia’. Mereka tidak bisa bahasa Inggris. Mereka tidak mampu melakukan komputasi dasar. Mereka suka meminta-minta. Tidak jarang semua keputusan mereka terhadap kehidupan didasari akan agama. Tidak cocok dengan orang atheis sepertiku. Keagamaan membunuh pikiran. Setidaknya itu yang selalu kupikirkan saat melihat Indonesia.

Mobil berbelok memasuki jalan tol. Aku memejamkan mata. Tapi masih bisa kurasakan arah laju mobil. Aku tahu, sedikit lagi Edi akan mengebut.

Suara dering telepon berbunyi pelan. Ia menelepon seseorang. Satu nada dering. Dua nada dering.

“Halo? Ini Lauren?”

“Iya, betul pak. Ada yang bisa saya bantu?”

“Enggak, mau ngabarin aja. Aku nggak bisa makan malam kalau malam ini. Boleh besok aja nggak kita makan?”

“ Iya boleh pak.”

“Jangan panggil pak dong. Panggil Edi saja,” Edi kemudian terkekeh membahana.

Aku mengumpat dalam hati.

“Kita besok baru ketemunya ya, Edi,” ucap Lauren manja.

Edi terkekeh-kekeh. Geli sekali mendengar tawanya itu. Aku tapi terlalu lelah untuk menimpali.

“Oke, cantik. Nanti kirim alamat rumah kamu ya. Sebagai pengganti malam ini, nanti kukirim sesuatu. Dream a little dream of me.

Telepon dimatikan.

Kami sampai di apartemen. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Terbilang masih terlalu awal untuk tidur. Tapi aku sudah tidak kuat. Kuberanikan diri untuk mengatakan pada Edi, aku akan tidur lebih awal. Tentu aku masih penasaran tentang kelanjutan jurnal Abigail. Sayangnya, kondisiku begini.

Edi memberikan obat sakit tenggorokan kepadaku. Obat berwarna hijau tua, dalam botol kecil. Ya, aku kenal obat itu. Aku membuka mulut lebar-lebar dan menggoyang-goyangkan botol dari atas. Serbuk-serbuk berjatuhan masuk ke dalam tenggorokan. Aku terbatuk. Kuletakkan botol itu jauh-jauh. Setelah mandi dan makan mi instan, aku larut dalam tidur.

Edi? Dia keluar lagi tidak lama setelah itu.

 

Tubuhku tergeletak seperti seonggok kayu. Aku mengecek ponsel. Pukul satu dini hari, aku terbangun dari tidur. Sepertinya aku demam. Aku mengotak-atik kotak obat yang sengaja diletakkan oleh Edi di meja sebelah kasurku.

Aku mengobrak-abrik lagi kotak yang ada di sebelahku. Beruntung, aku mendapati sebuah cooling pad dan obat paracetamol. Harusnya benda-benda ini bisa membuat keadaanku lebih baik.

Dari ruangan sebelah, aku bisa mendengar suara cekikian Edi. Ini jam satu pagi. Apa gerangan yang ia lakukan di jam satu pagi? Aku mendengar juga suara tawa seorang perempuan. Ini berasal dari ruang tamu.

Sepertinya Edi tadi keluar ke klab malam yang berada di dekat sini. Entahlah. Apa pun itu, bukan urusanku. Walau mereka sudah masuk ke dalam kamar anti berisik itu, aku tetap tidak bisa tidur. Kondisiku amat payah, tapi pikiranku kemana-mana. Aku menyibak selimut besar dan tebal itu dari tubuhku. Segera aku bangkit dan menyalakan lampu kamar yang remang-remang. Aku membuka kembali kotak kayu yang kudapat dari museum tadi siang. Kotak itu terbujur kaku di tengah dinginnya kamar ini.

Aku pergi ke kulkas Edi perlahan-lahan. Kuambil satu botol bir dan membawa barang jarahan itu kembali ke sarangku.

Sebuah cahaya memancar. Ponselku menyala di tengah hening malam itu. Aku tidak terlalu ingin membukanya. Itu pikirku. Sampai aku melihat notifikasi pada layar ponselku.

NATALIE IS LIVE ON TOKTOK

Aku tidak tahu bagaimana kerjanya aplikasi ini. Mengapa ia merekomendasikan konten ini kepadaku? Tanganku gatal ingin mencari tahu apa yang Natalie katakan.

“Bagaimana perasaanku saat itu? Ya, kau tahu? Untuk menghadapi pria macam dia, kita harus jadi tenang. Walaupun sejujurnya aku sangat takut. Kuharap ia tidak menonton ini,” Natalie menjawab dalam bahasa Belanda. Ia memakai kaos singlet berwarna merah muda. Lengkap juga dengan riasan pada wajahnya. Ia mencoba tampil seksi di hadapan para penonton ini. Bedebah ini menjawab pertanyaan dari orang-orang yang ingin tahu soal urusan kami.

“Sepertinya dia begitu karena dia tertarik padaku. Maksudku, ia punya niat yang baik. Aku sangat lelah karena mengurus ayahku yang sedang sakit keras. Jadi saat aku mewawancarainya, aku menguap sedikit. Walau sebenarnya, hal yang kemudian terjadi sangatlah lucu. Ia memamerkan lukisan itu. Ayolah, aku hanya tertawa seperti seorang teman. Aku yakin ia mengerti sebetulnya bahwa aku sama sekali tidak menghinanya.”

Aku meremas ponselku. Rasanya demam barusan sudah hilang menguap.

“Dia menunjukkan lukisannya, ya mungkin karena ia ingin terlihat keren. Karena dia sebegitu inginnya untuk menggodaku, aku mengambil jarak. Tentu saja aku harus tetap profesional, bukan? Tapi dia terus-terusan menggodaku, bahkan mengajukan pertanyaan yang membuatku tidak nyaman. Kalian bisa tanyakan pada kru-kru kamera dari National Historic. Mereka ada di situ bersamaku. Bahkan mereka saja tidak nyaman melihatku digoda seperti itu. Dia malah berujung marah, dan akhirnya menarik bajuku seperti video yang viral tersebut.”

“Bangsat! Bangsat!” Aku terus mengumpat, walau suaraku harus kupelankan. Aku tidak ingin Edi tahu bahwa aku masih terbangun.

Natalie bermain kotor. Okelah, aku akui aku menarik kerah bajunya. Aku juga mengasarinya. Tapi aku sama sekali tidak menggodanya. Sayangnya, di dalam ruangan itu hanya ada aku dan empat orang dari National Historic. Bagaimana bisa aku membuktikan kalau aku tidak menggodanya?

Aku menggeleng, hal itu tidak penting sebenarnya.

Aku membaca satu persatu komentar netizen.

Lelaki itu tidak layak bekerja di UNESCO

Siapa namanya? Rafael Van Bergen? Aku akan menyerang akun media sosialnya.

Dia lebih buruk dari sampah.

Cowok kurang ajar!

Aku bahagia ketika mendengar ia dipecat dari UNESCO

Bahkan jika ia menemukan berlian itu, ia tetap akan jadi cowok jahat.

Aku mendoakan supaya ayahmu cepat sembuh natalie. Jauh-jauhlah kau dari cowok seperti dia.

“Terima kasih. Doa kalian semua sangat berarti. Aku sangat menghargai dukungan kalian,” ucap Natalie. Matanya berkaca-kaca.

“Aku tidak pernah merasa bahwa dunia ini baik. Aku selalu diperlakukan tidak adil. Tapi melihat sebegitu banyaknya dukungan untukku, aku merasa bahwa dunia tidak seburuk itu.”

Akting! Semua ini hanya akting! Aku hendak mengumpat.

Kami bersamamu Natalie!

Kami doakan yang terbaik

Kuharap ayahmu cepat sembuh

Tolong kirimkan kami alamat rumahmu. Aku akan kirimkan makanan dan hadiah.

Jangan lupa untuk memberi dia berlian. Maksudku, berlian di TOKTOK.

Lihat selengkapnya