Sampah dan Bertuah

Astromancer
Chapter #6

Bunga Tulip yang Disesah

"Dia cantik, dan itulah yang membuatnya terluka."

-           Eka Kurniawan


Ruangan pada lambung kapal Pinisi bernama Walenrengnge itu gelap total. Cahaya lilin menjadi satu-satunya sumber penerang di kolong kapal itu. Tempat itu lembab dan bau. Bau minuman keras bernama Sopi yang disimpan dalam kendi, kadang bercampur dengan bau amis air laut. Bau pesing juga memenuhi tempat itu.

Abigail tidak tahu menahu soal jenis-jenis miras itu. Ia hanya berharap bisa mati.

Tangannya dirantai ke atas, ke sebuah balok yang menggantung di atap lambung kapal itu. Ia sudah lama terikat pada rantai itu. Mimpi buruknya sudah menjadi kenyataan. Sudah tiga hari Ia berada di sini. Rasanya seperti berada di neraka paling jahanam. Lambung kapal menelannya dalam tangis dan nestapa.

Betapa tidak? Abigail adalah wanita yang masih ceria beberapa hari lalu. Tiga hari berada di sini, Ia diperlakukan seperti sampah. Ia dipermainkan oleh Bombang. Payudaranya menggantung-gantung tanpa sanggahan. Sengaja, karena itulah yang disukai Bombang. Raja Bugis itu sudah menikmati tubuh Abigail berlali-kali. Abigail hanya bisa menangis. Entah berapa banyak lagi air mata yang harus keluar. Matanya bengkak. Wajahnya lesu. Tangannya sakit. Selangkangannya sakit. Hatinya lebih lagi. Sakit tak terbilang.

Seperti hewan, Ia diberi makanan dengan rantai di leher. Ketika Ia minum, juga demikian. Ketika Bombang ingin memainkan payudaranya, ia akan mengikatnya seperti sekarang. Abigail bahkan tidak bisa membuang air kecil seperti umumnya orang melakukannya. Ia berdiri lunglai dan air itu akan membasahi paha dan kakinya. Tidak jarang ketika itu terjadi, Ia menangis lagi. Karena beberapa kali itu terjadi, Bombang menyobek pakaian bagian bawah Abigail. Percuma memberinya celana, pikir Bombang.

Bombang juga kerap melecutnya dengan cambuk. Tubuh Abigail penuh bilur. Darah itu akan dihisap oleh Bombang. Entah untuk ritual atau kepuasan semata. Rambutnya sering dijambak, membuat rambut pirang itu berantakan.

Abigail tidak tahu lagi siapa dirinya atau apa yang dirasakannya. Baginya, dirinya sudah mati bersama dengan harga dirinya dikala Bombang menggagahinya untuk pertama kali. Orang yang menyebut dirinya raja itu, berperilaku seperti hewan. Abigail berdoa agar bisa terlepas dari sini. Tapi mungkin Tuhan pun juga sudah mati.

Tubuhnya serasa sangat kotor. Ia menjijikan. Ia ingin membakar dirinya hidup-hidup dalam api. Tapi untuk melakukan itu pun, ia tidak bisa.

Sebenarnya, ia juga khawatir pada keadaan Pieter dan Wolfswinkel. Apakah mereka baik saja? Atau tidak? Atau bahkan lebih buruk darinya? Pun begitu, saat ia memikirkan jika mereka semua mati, keadaan itu enak juga. Lebih enak darinya, yang harus melayani nafsu buas orang setengah hewan yang bau, jelek, dan primitif ini.

Bombang beberapa kali juga menawarkan. Supaya Abigail setuju menjadi dayangnya seumur hidup. Agar mereka menikah, ala adat Bugis. Ada beberapa perempuan hasil tangkapan Bombang yang menyetujui hal itu. Mereka sekarang bisa berjalan-jalan di geladak. Setidaknya, mereka punya kebebasan sedikit lebih banyak dari Abigail. Tapi Abigail menolak. Ia menggeleng. Baginya, bersama Bombang di pernikahan adalah neraka. Mendengar penolakan Abigail, Bombang berubah menjadi hewan buas. Abigail ibarat sebuah boneka mainan. Apa saja yang Bombang lakukan, ia tidak bisa menolak. Ia tidak bisa memberontak.

Tatapan Abigail suram, ia menaruh harap pada satu-satunya orang yang boleh melihat kondisinya selain Bombang. Orang itu adalah Kateng. Karena tidak berbahasa Belanda, Bombang harus membawa Kateng. Kateng menerjemahkan bahasa Bugis itu ke bahasa Belanda. Kateng juga sudah melihat tubuh Abigail. Karena rusaknya otak Bombang, ia bahkan pernah menyuruh Kateng tinggal untuk menonton dirinya menggagahi Abigail. Bombang meminta supaya Kateng menerjemahkan ucapan yang ia katakan ketika ia bersenggama. Ia juga ingin tahu ucapan Abigail, yang lebih seringnya disaring oleh Kateng. Abigail ratusan kali menyumpahi Bombang.

Abigail begitu membenci Bombang. Lebih dari Ia membenci Bombang, ia membenci dirinya. Coba saja jika Ia tidak nekat, pergi dari Belanda, hanya untuk mencari petualangan. Jika saja ia memilih daerah yang lebih aman daripada Hindia-Belanda, mungkin keadaannya tidak begini. Abigail merasa sakit yang teramat mendalam. Tiga hari yang tidak akan dilupakan seumur hidupnya.

Gadis itu terkulai lemas. Dua jam yang lalu, ia baru digunakan. Melihat waktunya, Bombang sepertinya akan masuk lagi sekitar waktu-waktu ini untuk memuaskan dirinya lagi.

Pintu kayu terbuka. Cahaya dari luar menerangi seisi ruangan gelap itu. Sesosok pria muncul dari balik sana. Abigail bersiap. Neraka itu akan kembali lagi.

Namun sosok itu bukanlah Bombang.

“Kau tidak seharusnya berada di sini,” ucap Kateng.

Abigail mendongakkan kepalanya perlahan. Tidak menjawab.

“Aku minta maaf, aku pun tidak bisa melakukan apa pun sejak kemarin,” Kateng menatap perempuan itu.

“Aku juga adalah tawanannya. Ia sangat kejam. Aku terlalu takut.”

“Tapi aku sadar bahwa kau harus kutolong. Aku akan membebaskanmu. Kau harus pergi dan jangan kembali lagi. Relakanlah teman-temanmu. Mereka menjadi budak Bombang. Jurumudimu yang tua itu, sudah tiada. Ia meninggal dan jasadnya dibuang ke laut. Tapi sisanya, masih hidup.”

Ada yang jatuh dari wajah Abi. Tetesan itu mengalir lembut lewat pipinya, yang kemudian terjun bebas ke lantai kayu lambung kapal. Tetes itu berubah jadi tangisan. Kateng serasa tersayat-sayat melihatnya menangis.

Abigail menatap mata laki-laki itu. Laki-laki berkulit hitam dengan tubuh kurus itu. Ia bukan seorang rupawan. Tapi hatinya indah sekali. Ia menyentuh bagian terdalam dari diri Abigail. Sesuatu yang lama dinantikannya.

Rasa untuk dihargai.

Rasa empati itu, hangat menembus Abigail.

“Te-ri-ma-ka … sih,” Abigail mengucap pelan.

Tenaganya hilang karena kelelahan. Kateng membuka gembok pada rantai. Ketika gembok itu terbuka, Abigail ambles jatuh tak berdaya. Kateng sigap menangkapnya.

“Ayo lari bersama,” ucap Abigail.

Kateng menggeleng. “Tidak bisa.”

“Kenapa?”

Kateng melihat ke jari kakinya yang buntung satu. “Ia sudah memberiku guna-guna. Aku sudah seperti perkakas kapalnya. Aku tidak bisa meninggalkannya sejauh lebih daripada seratus depa.”

Abi menatap wajah Kateng.

“Maka izinkan aku mencoba berdoa pada Tuhanku.”

Kateng mengkerutkan keningnya. Bagaimana sebuah doa bisa membantunya?

Pun begitu, ia mengangguk.

Dalam senyap, dalam bisik-bisik, Abigail mengucapkan doa paling Amin. Detik dimana saat itu ia merasa Tuhan sudah mati, Ia datang lagi dan mengirimkan orang untuk menolongnya. Tuhannya mungkin mati kemarin, namun Ia menyatakan diriNya lagi sekarang. Serangkaian kata yang tersenggal-senggal, terseok-seok, diucapkan seadanya. Ia memegang dadanya, tempat dimana dulu kalungnya berada, mengusapnya perlahan seolah menyentuh takhta agung Sang Pencipta.

“Tu-han,” bisik Abi.

Ia memohon dengan suara nyaris tidak terdengar. Doa agar Kateng dibebaskan dari mantra apa pun yang mengikat jiwanya. Doa itu khusyuk, tulus, polos. Seperti seekor anak anjing yang melolong pelan. Bahu Kateng hangat, basah karena air mata Abigail. Bahkan untuk Kateng, ia merasakan sesuatu.

Ia terperangah. Tuhan mana pun yang mendengar doa itu sepertinya akan terenyuh juga.

Angin malam berembus kencang di luar. Angin itu masuk juga ke dalam ruangan. Tubuh Abi bergidik. Kateng memberinya minum segelas Sopi untuk menghangatkan diri dan kain tenun terbaik miliknya yang jarang ia gunakan karena sayang. Perlahan, Abigail menggerakkan kembali kepalanya, menatap Kateng.

“Ayo, kita pergi dari sini.”

Api berkobar-kobar dari lambung kapal. Asap membumbung tinggi ke langit malam. Kapal Walenrengnge terbakar api besar. Bombang dan para awaknya terbangun dan mendatangi lambung kapal.

Lihat selengkapnya