Sampah dan Bertuah

Astromancer
Chapter #7

Merayakan Nestapa

 

"Semua yang kita lihat atau anggap sebenarnya hanyalah mimpi dalam sebuah mimpi."

-           Edgar Allan Poe


Aku terduduk di salah satu kursi yang berada dalam perpustakaan. Mataku menatap kosong ke arah halaman yang baru saja kucerna. Bagaimana mungkin seseorang tega melakukan hal itu?

Bagaimanapun juga, aku harus mengingat bahwa hal ini terjadi di abad delapan belas. Mengingat tempatnya, lautan juga adalah area tanpa hukum.

Hari sudah sore. Sinar mentari berwarna jingga menampik cahaya. Berkas-berkas cahaya itu masuk ke dalam dan membuat beda semuanya. Sebentar lagi gelap. Aku bertujuan mencari sumber apa pun di dalam tapi malah berakhir menghabiskan empat jam membaca jurnal Abigail. Ini baru seperempat. Masih ada tiga per empat buku lagi yang bisa dibaca.

Aku menutup jurnal, mengeluarkan ponsel dan mengaktifkan fitur merekam.

“Aku sekarang di perpustakaan nasional Indonesia.” Aku berbisik. Suaraku pelan mencoba tidak mengganggu orang lain.

Aku menampilkan halaman jurnalnya, yang sebenarnya tidak akan terbaca juga.

“Abigail De Jong, merupakan teman Hortense. Di jurnal ini, aku tahu bahwa ia bertemu dengan seseorang bernama Kateng. Apa itu mengingatkan kalian akan sesuatu? Ya, Kateng adalah orang yang melukis gambar Hortense. Lukisan yang kutemukan di depan rumah ibuku. Ternyata dia adalah seorang penerjemah dan seorang awak kapal dari perompak besar di Sulawesi Selatan bernama Bombang. Kurang lebih, bisa disimpulkan bahwa Kateng adalah orang yang berpengetahuan. Untuk orang Hindia zaman itu, bisa berbahasa Belanda adalah sebuah keterampilan yang jarang ditemui. Kateng menerjemahkan bahasa Bugis ke dalam bahasa Belanda. Itu adalah pekerjaannya di kapal Bombang. Aku akan mencari lebih banyak lagi sumber tentang Kateng. Apa yang orang dengan kaliber seperti dia lakukan di kapal itu? Kapal bernama Walenrengnge.”

Aku menutup video, menguploadnya, dan membiarkannya.

Baru sedetik, sudah ada seratus orang menonton. Tiga belas komentar. Kebanyakan isinya penghujatan. Aku sudah mulai kebal dengan hal ini. Hal terbaik yang bisa mereka lakukan adalah melempari rumahku dengan telur. Tapi penjagaan satpam di area tersebut pasti akan membuat mereka menjauh dari apartemenku. Setelah aku perhatikan, sepertinya berita mengenai ‘Rafael UNESCO epic breakdown’ menjadi headline dimana-mana. Setidaknya di dunia maya seperti artikel-artikel berita kurang kerjaan yang meliput ini secara online, atau dunia sosial media seperti TOKTOK dan Stargam.

Aku menghela napas. Aku tidak perlu khawatir tentang apa pun. Aku berada di jalur yang tepat.

Walau kisah yang barusan kubaca memang tragis, aku bersorak dalam hati. Ini menjadi petunjuk baru dari berlian tersebut. Jurnal ini sepertinya ditulis oleh Abigail di masa depan. Ada banyak indikasi kalimat yang ia tulis menggunakan kalimat lampau.

Perpustakaan mulai ramai. Jam pulang kerja, orang-orang berdatangan. Kukira tidak ada lagi yang membaca buku hari-hari ini. Nyatanya, pengunjung perpustakaan larut dalam pembacaan mereka. Mereka khusuk dalam mencermati kalimat demi kalimat dari setiap buku yang dibaca. Ada juga yang belajar, mengetik sambil membaca. Sepertinya mereka menyelesaikan tugas.

Aku melangkah menghampiri pustakawati. Ia sedang memerhatikan layar komputernya.

“Permisi,” aku memanggil.

Ia menatapku, menyadari keberadaanku.

“Saya mau tanya. Apakah di sini ada buku, surat, atau dokumen apa pun yang memiliki nama-nama ini?” Aku menyodorkannya secarik catatan kecil.

Terlampir nama Abigail De Jong, Pieter Vinke, Kateng, Bombang, Wolfswinkel, bahkan aku juga menulis nama kapal mereka. Pieter-Enkhuizen dan Walenrengnge.

“Sebentar ya,” ia mengambil catatan kecil itu.

Kemudian ia mengetik satu per satu nama-nama tersebut.

“Ini adalah hasil-hasilnya, boleh untuk dilihat terlebih dahulu ya,” ujarnya.

Sebuah layar komputer di hadapanku, menampilkan hasil pencarian. Aku menatap lamat-lamat pada tulisan-tulisan itu. Dengan cepat, aku meraih ponsel dan memfoto hasil itu. Ada sekitar tiga halaman. Aku memintanya membalik halaman pencarian ketika aku selesai memfotonya.

Kembali aku duduk di perpustakaan itu. Aku melihat-lihat hasil dari tangkapan kamera ponselku. Sebagian besar, kupastikan bahwa isi dari hasil pencariannya adalah hal yang tidak terlalu berguna.

Seperti sebuah buku ditulis oleh pendeta asal Inggris, resep makanan daerah, tips berwisata di kota bernama Enkhuizen, biografi singkat tentang pemain bola berakhiran Wolfswinkel, dan sebagainya. Dari total pencarian tiga halaman, kudapati hanya dua sumber yang kemungkinan akan berguna. Yang pertama adalah Sejarah Singkat Pahlawan Sulawesi yang Tidak diketahui dan yang lain adalah sebuah buku tentang Walenrengnge.

Aku mengikuti petunjuk dari hasil pencarian. Mataku terus memandang ke arah rak-rak buku. Setelah tiga puluh menit mencari, dengan terus tersasar ke sana-sini, aku akhirnya menemukan buku kecil itu.

Aku memiringkan kepala. Bisa kubaca tulisan judul buku yang ada di sisi sampingnya. Judul yang sama. Sejarah Singkat Pahlawan Sulawesi yang tidak diketahui. Aku menariknya dari tempat persembunyiannya. Ia tidak berkelit. Himpitan buku-buku tebal di kanan dan kiri membuat ia sulit sekali untuk ditarik. Tapi kemudian ia keluar juga.

Buku itu bersampul plastik. Ada gambar laut dan kapal Pinisi pada cover buku.

Aku membuka buku. Kusoroti halaman daftar isi dengan seksama.

Laut Sulawesi abad ke-18.

Aku membalik cepat halaman. Aku sampai pada halaman yang kuinginkan. Jantungku berdegup kencang. Aku berharap ada informasi yang dapat membantuku. Nama Djong muncul.

Aku mengunci pandangan pada sebuah nama.

Abigel Djong, Robin Hood wanita Makasar.

Abigel Djong? Apakah ini Abigail De Jong? Di tulisan ini, hanya ada dua paragraf.

Pada awal abad ke-18, ada seorang perompak dari Belanda bernama Abigel Djong yang mendarat di sebuah pulau di perairan Makasar. Ia membantu masyarakat di daerah Makasar dengan mengajarkan mereka baca-tulis. Sekolah tempat ia mengajar menjadi cikal bakal Sekolah Rakyat. Selain baca-tulis, Abigel juga mengajarkan anak-anak menggambar. Abigel juga sering membagikan makanan, uang, buku, dan pakaian.

Aku terperangah. Hal ini mengesalkan sekali. Aku tidak tahu apakah ini Abigail yang sama dengan yang aku cari atau tidak. Namanya Abigel, tertulis di sini. Entah apakah ini kesalahan penulisan atau bukan. Sumber sejarahnya pun, patut dipertanyakan. Kucari nama penulis buku tipis ini. Tidak terlalu kelihatan menjanjikan. Namanya Bonganga, usianya 71 tahun. Tahun buku ini ditulis adalah pada tahun 2001. Jika ia masih hidup, usianya akan mencapai 94 tahun sekarang. Orang macam apa yang masih hidup di usia 94 tahun?

Entahlah, apakah ini bisa dipercaya atau tidak. Aku menutup kembali buku tersebut. Sepertinya hanya itu informasi yang ada di dalam buku.

Setelahnya, aku menghabiskan waktu mencari satu buku lagi. Mengenai kapal Walenrengnge. Aku masuk ke dalam bagian lorong yang lebih kecil.

Aku menemukannya. Judulnya sama dengan nama kapal Bombang. Walenrengnge.

Aku membalik halamannya. Baru halaman pertama, aku sudah menutupnya kembali. Buku ini cerita anak. Tidak berguna sama sekali untuk pencarianku. Tapi aku penasaran. Terlihat di halaman pertama ada gambar seseorang. Ia mengenakan topi tradisional berbentuk segitiga. Sepertinya ia mengucapkan salam perpisahan dengan keluarganya.

Cerita ini aneh sekali. Baru mulai, sudah memberikan adegan perpisahan pada pembacanya. Apakah mungkin ini adalah cerita bersambung? Buku ini tidak terlalu berguna.

Ya, dari yang kutahu, buku ini berbicara bahwa Walenrengnge adalah kapal yang berasal dari legenda cerita rakyat Sulawesi. Mungkin saja Bombang juga menamai kapalnya dengan sebutan yang sama, karena ia terinspirasi pada kapal bernama Walenrengnge dari cerita ini. Kendati begitu, mengetahui cerita ini tidak akan membantuku menemukan berlian. Aku meletakkan buku itu kembali di dalam rak raksasa itu. Ia terselip di singgasana awalnya. Aku menghela napas.

Sebenarnya, ada banyak buku lain lagi yang membicarakan mengenai Walenrengnge. Tapi semuanya berada di deretan yang sama dengan buku yang baru saja kutemukan. Mereka semua berada di area cerita rakyat. Cerita’tidak akan membantuku. Aku bergegas pergi.

Aku kembali ke tempat duduk. Aku termenung. Jujur, aku tahu bahwa mencari berlian ini tidak akan mudah. Kuamati kembali isi jurnal di kotak tersebut. Setidaknya petunjuk ini lebih dari cukup. Aku yakin jika menyelesaikan pembacaan jurnal ini, maka aku akan mendapakan informasi yang baru tentang Kateng, Bombang, dan juga Abigail. Aku hanya harus bersabar. Aku mengecek ponsel. Waktu sudah menunjukkan pukul 6 sore. Suara adzan maghrib sayup-sayup terdengar dari dalam ruangan. Aku harus menyudahi ini semua.

Tiba-tiba ada sebuah notifikasi muncul. Jantungku berdegup kencang. Nama Aninhahaha muncul. Ketimbang rasa kaget, sekarang yang muncul adalah rasa menggelitik. Aku tertawa kecil membaca nama itu. Aninhahaha. Ia memilih nama yang cukup unik. Aku membaca perlahan apa yang ia sampaikan.

Hi Rafa! Gila udah lama banget gua nggak ketemu lu! Lu di indo? Ayo ketemuan yuk. Gua kangen bangettttt (emoji sedih)

 

Aku tersenyum. Sedikit juga hatiku berdebar ketika membaca tulisan kangen. Kata itu jarang sekali terdengar. Mungkin terlampau jarang juga untuk kusebutkan. Tapi anehnya, kata kangen membuatku jadi sangat ingin bertemu. Aku membalas.

Yes! C’mon. Ayo kita ketemu. Sekarang lu dimana?

Gua lagi di daerah Jakarta Pusat. Lagi main di kafe deket sini. Lu lagi dimana sekarang?

Membaca pesan itu, aku menaikkan alis.

Sama. Gua juga lagi di Jakarta Pusat.

Hening sejenak. Ia belum membalas lagi. Kenapa dia malah jadi diam?

Mau ketemuan sekarang?

Yuk!

Aku makin terkejut. Anin sepertinya sedang tidak melakukan apa-apa. Mungkin dia lagi bersantai dan memang menunggu orang untuk diajak bermain.

Coba share location cafe lu.

Anin hening sejenak. Aku menerima sebuah link yang mengantarkanku ke lokasi tempatnya berada. Tempatnya tidak terlalu jauh dari sini. Hanya dua puluh menit perjalanan.

oke, gua otw ya.

Di saat aku hendak menutup ponsel, ia mengirimkan kembali pesan kepadaku. Kali ini, bukan kata-kata atau kalimat. Tapi emoji gemas.

Aku meremas ponsel, menyimpannya perlahan ke dalam saku celanaku. Bohong kalau kubilang aku tidak merasa apa-apa. Jantungku berdebar. Ini menyenangkan. Aku bergegas pergi. Hari semakin malam. Kuputuskan untuk menyudahi pencarian hari ini.

Aku beranjak dan meminjam dua buku itu. Bisa saja mereka berguna. Aku mengontak Edi, memberitahu bahwa aku nanti akan pulang sendiri.

 

Sampai di area kafe tersebut, aku disambut lampu remang-remang yang berjejeran di area parkir kafe yang cukup luas itu. Kafe itu bernama Arung.

Lagi dan lagi, kusaksikan pasangan muda-mudi bermunculan. Banyak juga orang di luar yang merokok atau menyesap batangan vape mereka. Sebagian memakai baju kantoran. Sebagian lainnya lagi anak SMA sekolah swasta, dengan seragam swasta mereka yang bertemakan kotak-kotak. Kafe nampak ramai.

Aku melangkah masuk ke dalam. Semerbak wangi kopi langsung menyapa. Ya, kopi. Sepertinya itu yang kubutuhkan di malam ini, sama seperti banyaknya pengunjung gila yang minum kopi jam segini. Seorang barista menyapaku dari balik sarang pembuatan kopinya. Matanya segar, sama seperti mata semua orang yang berada di sini.

“Halo, kak. Mau pesan apa?” tanyanya ramah.

“Saya mau ketemu teman dulu sebentar.”

“Ooh, oke kak,” ucap barista itu.

Sayup-sayup kudengar, setelah percakapan singkat itu suara darinya.

“Itu bule, tapi kok bisa ngomong Indo ya?”

Mataku menyisir ruangan. Setelah tiga puluh detik berdiri, memindai sekeliling, kudapati ia sedang duduk menatapku sambil bertopang dagu. Jantungku berdebar kembali. Ia tersenyum menawan. Matanya genit mengedip-ngedip.

“Sadar juga akhirnya dia,” begitu ucapnya.

Lihat selengkapnya