"Hidup adalah perjuangan terus-menerus.”
- Che Guevara
Sudah dua hari Kateng dan Abigail berlindung di rumah seorang kakek petani yang mereka temui saat kabur dari kejaran Bombang. Rumah itu, ibarat dilingkup oleh pagar ilalang dan tanaman liar. Barulah beberapa tapak langkah dari rumah itu terlihat ladang sawah dan kebun. Itu pun juga, sangat tertutup. Kakek itu bernama Toa' Seno. Dalam hari-hari itu, Abigail berdiam diri. Seringkali didapati ia terduduk menatap tembok kosong. Ia tidak keluar kamar. Kateng menjelaskan pada sang kakek bahwa Abigail mengalami kejadian yang sangat memilukan.
Dua hari itu, ia habiskan dengan berbisik ketika ia berdoa di tengah malam. Dia tidak menghiraukan saat Kateng mengobrol dengannya. Ia terbengong-bengong dari pagi hingga malam. Dari malam, menuju subuh ia habiskan dengan menangis dan berbisik-bisik. Subuh sekitar jam tiga, barulah ia tenang, jatuh tertidur. Abigail akan diam saja di dalam kamar, tidak bergerak. Posisinya hanya dua. Kalau tidak duduk, terbengong.
Toa' Seno mempersilakan mereka tinggal selama yang mereka mau. Pun dia juga tidak punya tujuan lagi dalam hidup ini. Toa' Seno, yang tidak pernah memiliki anak bersama mendiang istrinya, merasa tidak ada lagi yang bisa dilakukan saat istrinya meninggal beberapa tahun lalu. Kesehariannya didasarkan pada keharusan untuk bertahan hidup, demi menjaga kenangan tentang istrinya.
Ternyata dari kisah Toa' Seno, raja perompak bernama Bombang cukup terkenal di kawasan ini. Dari ceritanya, Kateng mendapati kemungkinan wilayah ini juga masih masuk wilayah kekuasaan Bombang.
Kateng memiliki rasa utang budi, bahwa ia setidaknya harus membantu Toa' Seno untuk bekerja di sawah. Selain sawah, Toa' Seno juga punya kebun. Oleh sebab itu, pagi-pagi Ia pergi mengikut. Ia menanam rempah-rempah. Dari cabai sampai lengkuas tertanam di kebunnya yang luas itu. Hanya saja, belakangan Kateng baru tahu bahwa rempah-rempah itu tidak akan mendatangkan uang untuk kakek. Sudah bertahun-tahun ia menanam rempah hanya karena terpaksa.
Kebijakan dari pendatang asing berbangsa Eropa yang berdatangan ke Sulawesi tiba-tiba membuat aturan. Penetapan penanaman hasil bumi secara paksa. Hal ini memperkeruh keadaan hidup masyarakat di sini. Mereka tidak jarang gagal memenuhi kuota yang sudah diminta.
Kateng hendak tertawa. Tanah ini milik Toa' Seno. Bibitnya milik Toa' Seno. Yang mengerjakan Toa' Seno. Perawatannya dilakukan oleh Toa' Seno. Jika terjadi gagal panen, usaha yang sia-sia adalah milik Toa' Seno. Penanggung jawabnya adalah Toa' Seno. Jika panen berhasil, hasil panen akan dituai dan dikumpulkan juga oleh Toa' Seno. Tapi VoC yang mengambil keuntungan.
Toa' Seno hanya pasrah dengan keadaan ini. Bagaimana pun juga ia ingin hidup. Dulu ketika ia tidak menurut, ia dipukul pakai senjata. Toa' Seno sangat renta. Ia nyaris tidak bisa bekerja selama tiga hari. Ia tidak ingin mengulangi hal itu lagi.
Di pertengahan minggu itu, entah apa yang merasuki mereka berdua. Kateng dan Toa' Seno menghabiskan waktu mengobrol yang panjang. Yang menemani mereka di sela-sela obrolan adalah Hawu Lalahe. Rokok kuning yang terbuat dari daun aren dan tembakau itu sering disebut sebagai Toa' sebagai obat. Awalnya Kateng menolak. Namun ketika ia mencobanya sekali, ia sekarang ketagihan. Hari pertama ia mencobanya, menjadi hari dimana Kateng berbicara tentang masa lalunya kepada Toa’.
Hari itu sudah malam. Udara malam hari bertiup dingin dari arah laut, menghantar semerbak bau laut dari ombak yang menggulung-gulung bermeter-meter jaraknya dari rumah Toa’. Pohon-pohon di kebun bergoyang, bersama juga dengan rerumputan ilalang. Suara jangkrik keras terdengar, seolah ia berbunyi tepat di samping kuping. Tidak ada bintang ataupun bulan malam ini. Langit tertutup awan. Asap mengebul dari rumah Toa’. Mereka merokok-merokok di luar, memutuskan menjauh dari dalam area rumah. Kateng dan Toa’ takut akan mengganggu Abigail.
Mereka berdua duduk di atas tembok kecil yang mencuat sendiri keluar, menjadi akhir dari pembatas pintu masuk.
“Aku ini, sebenarnya tidak mau berada di kapal itu, Toa’,” Kateng menyesap batang Hawu miliknya.
“Lantas, kenapa bisa?” Toa’ membalas seadanya. Matanya sayu, pengaruh Hawu Lalahe.
Kateng menaikkan satu kakinya.
“Aku tertangkap.”
“Bagaimana bisa?” Toa’ Seno menghembuskan asap.
“Aku awalnya, hanya anak biasa. Hidupku sehari-hari membantu Indoku. Sampai suatu ketika kami dikunjungi oleh orang-orang Belanda. Tuanku, dia melihat bakatku menggambar di atas tanah. Ia terkejut ketika aku menggambar segitiga sama kaki. Ia mengukur dengan penggaris segitiga itu. Beda ukuran sisinya hanya selisih berapa milimeter saja. Ukuran di ketiga sisinya, nyaris sama semua. Dia kemudian memintaku untuk menggambar persegi. Sama juga, aku membuat sisinya berukuran sama. Dia memberikanku tugas yang lain, yaitu untuk menggambar bangunan rumahnya. Kali ini, ia berikan aku kertas. Dalam beberapa saat, aku selesai. Dia kaget pula melihat gambarku itu. Sejak saat itu, ia memberiku pelajaran, Toa’. Salah satunya, bahasa Belanda,” Kateng menitikkan abu dari Hawu.
“Kemudian, apa yang terjadi?”
“Aku tidak terlalu suka belajar bahasa Belanda. Tapi ketika ia gunakan gambar-gambar, aku jadi mengerti lebih cepat. Sehari-hari, hanya aku saja muridnya. Namun beberapa tahun setelah itu, ia kirim aku ke sekolah rakyat. Aku belajar lebih banyak lagi. Teman-temanku adalah bangsawan-bangsawan muda dari daerah kami. Kebanyakan sebenarnya adalah orang-orang Belanda. Karena aku bukan siapa-siapa, aku tidak mendapatkan teman di sana. Aku juga tidak terlalu suka sekolah. Tapi aku harus patuh. Orang Belanda itu begitu perhatiannya pada Indoku. Tak mungkin kutinggalkan semuanya hanya karena aku tidak suka. Aku belajar mati-matian. Sampai tiba saatnya usiaku 15 tahun, aku diberitahu akan melaut untuk belajar di Belanda. Aku mengiyakan saja. Indoku akan dirawatnya baik-baik katanya. Aku berlayar bersama para pelaut lainnya, menumpang di salah satu kapal kongsi dagang itu. Aku pun benci nian pada mereka. Di kapal itu, aku diperlakukan bagai kecoa. Diinjak, kadang dikencingi. Hanya gara-gara aku pribumi. Aku melapr pada tuanku. Aku tulis surat tentang perlakuan mereka. Baru setelah surat balasan sampai dari tuanku, mereka menghormatiku, takut padaku.”
“Lalu, apa lagi?”
“Setelah itu, aku sampai di tanah Belanda. Kerajaan itu beda sekali dengan tanah ini. Semuanya nampak sangat rapi, gedung-gedung tinggi yang pelak tak pernah kulihat mencuat dari tanah-tanah itu. Warna abu-abu memenuhi perkotaan. Aku tahu, aku akan belajar di sana. Tapi seringnya, aku terganggu dengan pemandangan kota Belanda. Hari-hari selanjutnya, kuhabisi dengan gambar ini-itu, Toa’. Semua yang punya bentuk, kugambar. Beruntung, di Belanda pun aku tidak belajar apa-apa selain menggambar. Aku banyak diminta untuk merancang bentuk gedung, kadang juga rumah. Tapi tidak ada yang paling kusenangi selain gambar kapal.”
Kateng berhenti berbicara. Matanya menerawang jauh kembali ke masa itu. Betapa kapal adalah simbol dari kepulangan, kerinduannya pada tanah air.
“Kapal Belanda itu jelek-jelek. Mereka terlihat besar, tapi tak berdaya di tengah ombak. Banyak yang berjatuhan di tengah jalan. Saat itu, aku sedang tak ada kerjaan. Kugambarlah gambar kapal Walenrengnge, kepunyaan Tuan Sawerigading dari cerita rakyat. Toa’ pasti tahu pula akan cerita itu ‘kan? Nah, kapal itu kugambar hanya dari yang kubayang saja. Kubayangi ia berdiri megah melewati perairan Eropa. Kapal kokoh yang bergerak maju, menerjang ombak samudra raya. Begitu kira-kira yang kurasakan. Setelah puas menggambar, kugantung saja gambar itu. Sampai seorang petugas asrama melihat seksama kapalku itu di atas kertas besar yang kupajang di tembok kamarku. Petugas itu memberitahu kakaknya. Kakaknya memberitahu temannya. Temannya memberitahu pamannya. Pamannya arsitek kapal, penasaran akan karyaku. Ucap mereka semua, kapal itu beda dengan kapal-kapal Belanda yang lainnya. Nah, paman itu mengajakku mengobrol soal kapal. Tapi aku tidak tahu apa-apa soal kapal. Aku hanya tahu menggambar. Kapal-kapal itu seperti kapal-kapal nelayan yang suka berlayar di perkampunganku. Kugambar dengan ukuran yang lebih besar saja. Ia tanya soal layar, soal badan, soal kayu, soal tiang, aku tidak tahu apa-apa. Tapi paman itu, orang yang nekat. Ia tak putus asa. Ia coba buat kapal sesuai dengan yang kugambar. Ia beli gambar itu dariku. Tak hanya dariku, ia juga cari tahu lagi dari pelaut, dari orang-orang di dermaga, soal kapal yang kugambar itu.”
Kateng dan Toa’ Seno menitikkan abu bersamaan.
“Memang saat itu ramai pelaut bicara soal Boogeyman. Kapalku digadang dengan nama Kapal Boogeyman. Pun begitu, kapal itu selesai. Setahun kemudian, kapal itu rampung. Kemudian terjadilah, perjanjianku. Tuanku bilang di saat aku sudah selesai dengan pendidikanku di negeri Belanda, aku bisa kembali ke tanah air. Tapi aku tak mau kembali dengan kapal kongsi sialan itu lagi. Aku membuat perjanjian dengan paman. Paman bilang, ia akan bertualang menggunakan kapal ini. Salah satu tempat yang ingin dia coba adalah tanah rempah di Hindia. Selama ini, ia memang ingin berlayar ke Hindi, tapi takut. Umurnya sudah agak tua, dan ia tidak tambah muda. Setidaknya ia ingin coba sekali berlayar ke tanah Hindia melalui samudra luas luar biasa. Jadilah ia mendasarkan semuanya pada alasan itu.”
Kateng berhenti berbicara kembali. Ia lanjut menyesap dalam-dalam rokok di jemarinya itu. Rokok itu sudah habis setengahnya. Cahaya dari api kecil rokok itu menyala di tengah kegelapan. Suara jangkrik perlahan memelan. Berganti dengan suara kodok.
“Paman mengejar mimpinya. Aku ingin pulang. Masih kuingat pelayaran kami kembali ke Hindia. Usiaku saat itu 18 tahun. Paman mengikutsertakan lima belas orang lainnya dalam pelayaran itu. Awak-awak kapal yang terlatih. Paman tahu, bahwa kapal kami ini cepat. Kapal yang bergerak menembus samudra bak tak ada yang merintanginya. Persis seperti Sawerigading, tak takut bahaya air bah tinggi yang mungkin saja menimpa. Kami sesekali berhenti, di India, Afrika, Aku nyaris keliling dunia. Hidupku paling bahagia di sana. Kami bekerja sama. Seorang pribumi, seorang Belanda, dan berbagai macam orang lainnya dari belahan dunia lain. Orang-orang yang paman temui selama ia tinggal di pelabuhan. Semua berjalan baik. Hingga kami sampai di daerah Selat Makassar. Area itu memang cukup terkenal akan bahayanya. Kami terlalu pongah. Harusnya, setidaknya kami bergerak bersama dengan kapal-kapal lain dari VoC. Tapi tidak demikian.”
“Apa yang terjadi?” Toa’ Seno menyesap dalam-dalam. Miliknya sudah mau habis.
Kateng melanjutkan. Matanya menatap jauh-jauh ke langit, seolah ia membayangkan lagi peristiwa itu.
“Kami dikepung dari berbagai penjuru. Komplotan Bombang membuat kami menukik tajam, ia menghantam kapal. Aku tidak pernah sadar bahwa julukan Boogeyman yang sering disebut oleh pelaut-pelaut Belanda ternyata adalah untuk raja-raja Bugis yang mengarungi laut. Kami kalah. Tahun-tahun berikutnya, jadi tahun-tahun paling sengsara. Bombang membuat kami di penjara. Sebagian yang berguna diperbudak. Paman yang menemaniku, masih berada di penjara sampai sekarang. Aku sudah mengabdi lima tahun. Aku tidak bisa lari. Bombang punya guna-guna.”
Kateng kemudian menunjukkan jari kakinya. Jempol kaki kanannya hilang. Toa’ menatap ke bawah juga.
“Ia lakukan ritual untuk membuat kami tidak bisa lari. Awalnya kukira ia hanya bercanda. Sampai delapan dari lima belas orang yang mengikuti paman dan aku, tewas muntah darah.”
Di dalam rumah, Abigail merangkak perlahan. Ia keluar dari kamarnya, mencari sumber suara itu. Sebenarnya, ia telah mendengarkan cerita Kateng sejak daritadi. Tapi ia ingin mendengarnya dari jarak lebih dekat. Sampai di ruang tamu, ia menyandarkan punggung pada salah satu tembok.
“Ilmu itu begitu gelap. Begitu kelam. Awak kapal Bombang tidak berani melawan. Mereka tahu, Bombang mengajak iblis betulan dalam pelayaran. Ilmu gaibnya sangat menakutkan. Bombang, tidak pernah takut kehilangan tawanan. Karena ia tahu akan selalu menemukan awak lain di lautan. Lambat laun, armada kapalnya kian besar. Ia selalu menganggap diri sebagai raja bajak laut. Sampai ia mendengar seorang wanita dari Laut Cina, punya armada yang lebih besar darinya. Bombang memiliki ambisi, untuk menjadi seperti wanita itu dan merebut tahta raja lautan. Oleh karena itu, ia butuh kekuatan. Karena jarang orang Bugis bisa bahasa Belanda, aku jadi tangan kanannya dengan segera. Banyak awak kapal yang berusaha membunuhku karena aku spesial di mata Bombang. Aku bisa bahasa Belanda. Aku bisa menggambar peta. Aku bisa merencanakan penyerangan. Aku naik pangkat dengan cepat. Jujur, kadang aku ikut senang saranku diterima dengan baik. Tidak jarang juga aku dipujinya. Sebenarnya, hidupku mulai nyaman bersama Bombang.”
Abigail terdiam. Mendengar nama Bombang, ia masih merasakan sakit. Tapi semua itu ditahan.
“Lalu kenapa kau pergi?” tanya Toa’ Seno. Ia sudah mau tidur, rokoknya sudah habis.
Kateng terdiam sejenak. Matanya mencari-cari di tengah gelap. Ia berkutat dengan gelimang-gelimang pikiran. Adakah alasannya? Tidak ada. Ia tidak bisa menemukannya. Alasan di belakang tindakannya, kenekatannya. Semua itu memang tidak tersimpan di pikiran.
“Het spijt me,” jawab Kateng singkat dengan bahasa Belanda.
Namun itu ada di hatinya.
Abigail terperangah. Ada yang memancar dari matanya.
“Apa maksud kau?”
“Aku kasihan. Aku tak tega. Anjing indoku saja dulu lebih baik hidupnya. Tapi gadis itu, ia begitu tersiksa. Ia rasanya terlalu sayang diperlakukan seperti itu. Mana bisa kubiarkan dia.”
“Jadi kau tolong dia?” Toa’ bertanya. Ia jadi sedikit tertarik.
“Iya.”
“Walau kau diguna-guna? Tahu kapan saja hidupmu dapat binasa?” Tanya Toa’ kembali.
Kateng diam lagi. Ia manggut-manggut. Seketika tubuhnya bergidik ngeri. Tapi sejenak setelah itu, ia ingat momen itu. Sebuah pertemuan magis antara dia dengan seorang gadis. Abigail bak dewi yang begitu suci, turun dari khayangan ke dalam dunia orang berdosa. Ia dinodai begitu rupa. Tapi ia masih mau mencoba, meminta doa pada Tuhan. Dalam kesesakan, dalam kepahitan, ia meminta. Bisik-bisik suaranya, murni hanya bicara lewat kesungguhan hati. Bak anak kambing yang mengembik kecil. Ia masih ingat suara itu. Ia termenung. Betapa bisa seseorang melantunkan sesuatu sekhusyuk itu.
Ia menatap Toa’ Seno dengan mata berkaca-kaca.
“Toa’ Seno,” Ia menyesap sekali lagi batang rokoknya.
“Tuhan itu … juga nyata,” ucapnya.
Kateng mengembuskan napas. Melalui itu, terbuang juga sudah semua kegelisahannya, kalut dalam pikirannya, ketakutan dan kegentarannya pada Bombang. Ia sudah hidup baru. Ia sudah diselamatkan oleh dewinya. Kateng berjanji pada dirinya, ia tidak akan meninggalkan penyelamatnya.
“Aku mau tidur,” Toa’ bangkit berdiri.
“Aku mau di sini dulu sejenak. Besok pagi, aku akan bantu Toa’ lagi di sawah,” jawab Kateng.
Abigail yang mendengar itu, ingin beringsut pergi dari ruang tamu dan masuk kembali ke kamarnya. Toa’ Seno berjalan masuk. Matanya bertemu dengan mata gadis Belanda itu. Gadis itu menatap bingung. Ia sendiri tidak tahu kenapa ia harus bersembunyi dan tetap tenang.