“Hidup itu seperti mengendarai sepeda. Untuk menjaga keseimbanganmu, kamu harus terus bergerak.”
- Albert Einstein
Pembacaanku berhenti di sela-sela rentetan kalimat dan tanda baca walau belum sempat titik, bayangan batu berlian merah di leher Bombang dibuyarkan oleh dering telepon yang masuk ke ponselku.
Aku mengeluh sedikit. Bagian ini adalah bagian yang bisa mengungkap banyak hal. Tadinya aku hendak mengabaikan ponselku. Tapi tulisan di layar ponsel memaksaku membaca. Satu nama tertera.
Oma.
“Halo, oma?” Aku memulai senormal mungkin.
“Rafa,” ucap suara dari seberang sana.
“Masih di Indonesia?” Tanyanya lagi. Suara itu tidak terdengar seperti nenek.
“Masih,” aku membalas singkat.
“Kamu datang ke rumah oma ya, segera.”
Suara ini? Tante Ila.
“Ada apa sebenarnya?”
“Oma sedang sakit keras. Ketika dia tahu kamu ke Indonesia, dia bilang mau ketemu sama kamu,” suara tante Ila terdengar khawatir.
“Baik, nanti Rafa akan datang.”
“Segera.”
“Malam ini?”
“Jika kamu bisa,” tante Ila berhenti sejenak.
“Iya.”
Mendengar hal itu, aku agak terguncang.
“Sebenarnya, nenek sakit apa?”
“Nenekmu jatuh di kamar mandi. Kepalanya terbentur pintu. Kondisinya tidak begitu baik. Ada pembengkakan di dalam tengkorak. Mengingat usianya, kondisi ini berbahaya,” tante Ila mengontrol emosi, walau suara bergetar.
“Aku ke sana sekarang.”
Aku beranjak dari kasur. Kutengok logo Kakek-Nenek di meja kecil kamar itu. Betapa aku bersyukur benda haram itu baru kuminum sedikit saja. Aku tidak bisa membayangkan jika aku malah berakhir mabuk berat.
Aku hendak membangunkan Edi. Baru saja aku keluar dari kamar, terdengar suara dari kamar mandi. Sesosok manusia keluar dari dalam. Lauren. Gadis itu mengenakan kaos berwarna putih polos yang kebesaran. Saking besarnya, kaos itu menutup bagian atas pahanya.
“Lauren, Edi masih bangun?”
“Masih. Tapi dia udah mulai ngantuk kayaknya,”
Aku menggangguk.
“Sober?”
“Ummm, harusnya iya. Dia cuma minum bir malam ini.”
Aku mengangguk kembali. Bergegas menghampiri kamarnya. Lauren menarik lengan bajuku.
“Aku aja yang bangunin,” ucapnya.
Sejurus kemudian, Edi sudah terduduk di dalam mobilnya. Ia duduk di belakang. Orang ini bahkan tipsy setelah meminum satu setengah botol bir. Dia tidak percaya diri untuk menyetir, itulah alasannya. Wajahnya lelah. Aku merasa bersalah membangunkannya seperti ini. Tapi mencari tumpangan pukul dua pagi juga sulit. Beruntung, Edi sangat pengertian. Karena alasan tidak bisa meninggalkan Lauren sendirian, ia pun kami ajak. Lauren duduk di sebelahnya. Aku yang menyetir.
“Lu gak mau di apart aja, Ed?” aku bertanya sembari menarik seatbelt dari samping kanan pinggangku.
“Enggak. Gua mau ngeliat oma lu. Dia dulu baik banget sama kita,” Edi duduk tegak sekarang.
Gantian Lauren yang bersandar pada bahunya. Pakaiannya sudah lebih baik. Setidaknya ia mengenakan celana.
Aku menyiapkan GPS. Memasukkan alamat pada ponselku. Tante Ila mengirimkan alamat rumah nenek. Sepertinya masih sama seperti dulu.
Mobil Edi meluncur, lepas landas. Lorong bawah tanah tempat parkir mobil ini begitu luas. Butuh waktu setidaknya tiga menit untuk kami betul-betul berada di permukaan. Jalanan terlihat begitu kosong. Aku menyetir mengikuti arah dari GPS yang telah kupasang.
Kami sampai pukul 2.40 dinihari. Rumah itu tidak berubah. Rumah ayahku dulu, sekaligus tempat oma bernaung sekarang. Perumahan ini jaraknya hanya 45 menit dari tempat Edi.
Kami turun dari mobil, segera setelah aku melepaskan sabuk pengaman. Hal pertama yang kuperhatikan adalah jalanan. Jalanan itu tempat kami biasanya bermain. Aspal menjadi ladang yang subur untuk berbagai macam permainan anak-anak. Kelereng, sepak bola, ya segala hal yang berhubungan dengan bola bisa kami mainkan di tanah bidang ini. Hal kedua yang kulihat adalah tembok. Tembok yang berdiri tegak di seberang rumah ayah, sekaligus rumah oma. Aku mengingat beberapa momen ketika teman-temanku dulu melompati tembok pagar itu. Walau sebenarnya situasi ekonomiku di atas mereka, namun merekalah yang ‘turun’ mendapatkanku di sini. Di tengah kesendirian dan kebosananku dengan Edi, mereka datang dengan berbagai permainan yang seru, menyelamatkan masa kecilku.
Cat rumah oma (atau rumah ayah) sudah berganti. Kali ini, warnanya krem muda. Dengan banyak ornamen-ornamen bata di tembok-temboknya. Gerbangnya setinggi 1.5 meter, masih berwarna hitam seperti dulu. Ada area taman kecil di bagian kanan rumah. Butuh waktu beberapa menit untukku bisa beradaptasi lagi dengan suasana rumah ini.
“Weh, apa kabar rumah lama,” Edi menepuk pagar, ketika ia turun dari mobil. Wajahnya menghadap ke arah rumah di sebelah.
Aku tersenyum sekilas. Edi memang adalah orang yang tepat untuk aku ajak ke sini.
Aku menekan bel. Bunyi itu menggema sampai ke luar rumah. Tidak sampai hitungan menit, Tante Ila sudah keluar rumah.
“Rafa, itu kamu?” Tanyanya dari kejauhan.
“Iya, tante. Gimana keadaan oma?” Aku langsung bertanya tanpa basa-basi.
Tante hanya menggeleng pasrah. Matanya berkaca-kaca.