Sampah dan Bertuah

Astromancer
Chapter #10

Diambil, diproses, dihancurkan, dileburkan, dibentuk, dibuang, diambil, diproses, dihancurkan, dileburkan, dibentuk, dibuang, dan Seterusnya



Kateng dan Abigail lelah berlari. Telah terhitung sebulan setelah mereka berlari terus-menerus. Dari hutan ke desa, ke hutan, kemudian ke desa lagi. Orang-orang Bombang tersebar di mana-mana. Hidup mereka dalam pelarian.

Abigail perlahan sudah lebih baik. Ia bisa diajak berbicara dan mengobrol di sela-sela kegiatan yang mereka lakukan.

Suatu hari, Kateng muak dalam pelarian ini.

“Kita harus mencari pekerjaan. Kita tidak bisa terus berlari,” ucapnya ketika mereka berlindung di dalam gua.

“Tapi bagaimana? Seluruh area ini adalah area Bombang.”

Kateng berpikir sejenak.

“Tidak dengan orang-orang Belanda,” ujarnya.

Pemikiran itu adalah hal yang baik. Jika mereka bisa mendapatkan perlindungan dari Orang Belanda, setidaknya mereka akan aman.

Setelah berhari-hari kelaparan dan kelelahan, Abigail dan Kateng sampai di sebuah area perumahan. Sebuah pemukiman yang rumah-rumahnya terbangun dari batu bata mengikuti gaya arsitektur Belanda. Ada barak dengan banyak tentara di dekat sana. Sepertinya tempat ini adalah tempat pelatihan militer Belanda. Ini perlindungan yang sempurna.

“Hei, berhenti,” seseorang menghentikan mereka saat hendak masuk ke dalam.

“Apakah kau orang Belanda atau bajak laut?” pertanyaan itu ditanyakan oleh sang penjaga yang membawa sebuah senapan di punggung. Sebenarnya, pertanyaan itu ditujukan hanya kepada Kateng.

“Aku menemani perempuan ini. Kami berdua adalah tawanan bajak laut yang kabur. Tolong izinkan kami masuk.”

Penjaga itu agak terperangah bahwa Kateng dapat berbahasa Belanda.

“Tidak bisa. Gadis ini boleh masuk ke dalam. Sedangkan kau, kulit hitam, harus di luar.”

Kateng terpaksa melepas kepergian Abigail, dengan pasrah.

“Masuklah. Aku akan mencari cara untuk bisa hidup. Jangan khawatirkan aku,” ucap Kateng.

Kalimat itu tidak dihiraukan oleh Abigail, karena sekarang ia yang berdiri berhadapan dengan penjaga.

“Tolong, tolong kami. Aku tidak bisa meninggalkannya di luar sendirian. Walau ia pribumi, ia adalah orang yang baik dan terpelajar. Ia adalah kaum bangsawan. Kami baru saja bebas dari perbudakan bajak laut. Tolong kami, tuan,” Abigail memohon dengan sangat.

Cara itu, ternyata lumayan efektif.

“Baiklah. Tapi kalian berdua harus melapor dulu kepada Meneer Toni. Ia akan mengatakan pada kalian hal yang harus dilakukan,” ucap penjaga itu.

“Baik, terima kasih banyak.”

Setelah itu, mereka dibawa menuju seseorang .bernama Meneer Toni. Orang itu berdiam diri di dalam rumah. Seorang bapak-bapak berkumis putih lebat dengan perut yang mencuat maju, sedang duduk-duduk di depan teras rumahnya. Tatapannya ramah. Ia mengenakan kaos putih dan celana panjang santai.

“Halo anak muda. Ada yang bisa kubantu?”

“Pak, mereka berdua berasal dari luar. Yang satu adalah orang Belanda, namun yang laki-laki adalah orang pribumi,” ucap penjaga, menjelaskan situasinya.

“Baiklah. Aku paham. Biarkan aku berbicara dengan mereka berdua,” Meneer Toni mengayunkan tangannya supaya mereka berdua bisa datang lebih dekat.

Penjaga itu pergi, kembali ke posnya.

Abigail dipersilahkan duduk di kursi, sementara Kateng duduk di lantai, bersila.

“Siapa namamu, gadis muda?”

“Aku Abigail, Meneer. Ini adalah-”

“Kau?” Meneer bertanya langsung pada Kateng sebelum Abigail memperkenalkannya.

“Saya Kateng, Meneer. Kami berdua adalah mantan tawanan bajak laut bernama Bombang. Kami ke sini, untuk mencari perlindungan,” ucap Kateng.

“Hmmmm,” Meneer manggut-manggut.

“Bahasa Belandamu bagus sekali. Kau ini siapa sebenarnya?” tanya Meneer kembali.

“Aku adalah orang yang kebetulan saja beruntung untuk bisa belajar di sekolah Belanda.”

“Sekolah Belanda di Hindia?”

“Sekolah Belanda, di tanah Belanda, ya tuanku.”

“Menarik,” Meneer mengelus jenggotnya.

“Kau pasti punya keahlian bukan? Selain bisa berbahasa Belanda, apalagi keahlianmu?”

“Ummm, saya bisa menggambar,” kalimat itu terhenti sejenak.

“Rumah … dan bangunan, tuanku.”

Peluh Kateng menetes sedikit.

“Baiklah, baiklah. Coba kau gambarkan rumahku ini,” ucap Meneer.

Meneer Toni mengayunkan bel. Sejenak, ada seorang perempuan pribumi yang keluar. Ia mengenakan pakaian layaknya seorang pembantu. Dengan rok panjang dan pakaian dari kain tenun. Tatapannya menyelidik ketika menatap ke arah mereka berdua.

“Cening, tolong ambilkan kertas dan pensil,” perintah Meneer.

“Baik, ya tuanku.”

Cening berjalan masuk kembali ke dalam rumah.

Sejurus kemudian, ia datang kembali. Tidak hanya datang dengan kertas, ia juga datang dengan membawa dua gelas kopi.

“Wah, terima kasih Cening. Aku tahu, kau sangat pengertian,” Meneer Toni mengedipkan mata. Bahasa Melayunya melesat dari mulutnya.

Cening tersenyum, menggangguk. Kemudian pamit untuk permisi.

“Oh sebentar, Cening,” Meneer Toni menghentikan langkahnya.

“Iya, tuanku?”

“Tolong buatkan satu lagi, untuknya,” Meneer menunjuk ke arah Kateng.

Cening merasa bingung, tapi ia membuatkannya juga. Kateng, lebih lagi. Ia seorang pribumi. Ia tidak seharusnya menerima jamuan apa pun ketika berada di rumah seorang Belanda.

“Jangan takut, aku tidak akan meracunimu. Sudah sepatutnya untuk diriku memperlakukanmu sebagai tamu. Aku pun juga adalah tamu di tanah ini. Kalian menerimaku dengan baik. Silahkan, kau sudah bisa menggambar,” ujar Meneer Toni.

Di saat ia sedang menggambar, satu gelas kopi panas datang lagi dari tangan Cening. Ia menunduk dan pamit.

Kateng menggambar dengan serius.

“Kau tidak mau melihat rumah ini dari kejauhan?” Meneer meneguk kopinya, sambil bertanya.

“Tidak perlu, tuanku. Aku hafal bentuk rumah ini, ketika aku sampai dan melihat-lihat.”

“Tidak mungkin,” Meneer Toni tertawa pelan. Ia merasa Kateng ini terlalu percaya diri.

Namun dalam hitungan sepuluh menit, gambarnya sudah jadi.

Meneer menatap gambar itu. Kemudian ia berjalan keluar dari teras rumahnya. Melihat bentuk rumahnya dari depan. Ia mengamati gambar itu dengan keadaan asli rumahnya. Ia tersenyum.

“Menakjubkan,” Meneer Toni berdecak kagum.

Ia kemudian kembali ke dalam teras rumahnya.

“Apa tujuanmu, Kateng?”

“Aku hendak kembali pada tuanku. Namanya adalah Djikman. Cornelius Djikman. Apakah anda mengenalnya, Meneer?” Kateng bertanya.

“Apakah ia bangsawan atau orang dari VoC?”

“Sepengetahuanku, ia berasal dari kongsi dagang VoC, tuanku.”

“Begitu ya? Pantas saja. Maafkan aku, tapi aku benci VoC,” ucap Meneer Toni.

Kalimat itu membuat Abigail dan Kateng agak terkejut. Meneer menyadari kebingungan itu.

“Oh, ya. Tidak semua orang Belanda menyukai mereka. Orang-orang di sana, mereka serakah. Bahkan negara mereka sendiri pun diajak berkelahi. Heh, kuharap mereka bangkrut sebentar lagi,” Meneer meneguk kopinya lagi.

“Umm, kenapa anda membenci mereka?” tanya Abigail, hati-hati.

“Mereka mengambil lebih banyak dari yang seharusnya. Kita mungkin memang negara yang punya banyak koloni, tapi koloni-koloni ini tidak membuat kita jadi lebih kaya. Kita ‘merasa’ kaya. Padahal harta-harta itu hanya pinjaman. Justru kemiskinan kita terjadi ketika kita malah jadi bergantung pada mereka. Bayangkan saja, jika suatu hari nanti koloni-koloni ini membuat negaranya sendiri? Belanda akan seperti kursi yang kehilangan kaki-kakinya. Bagaimana negara ini mau berdiri sendiri, jika mengandalkan sumber daya terus menerus dari tempat lain?” Ia meneguk kopi panas itu kembali.

“Belum lagi dengan jatuhnya Napoleon, persaingan dagang dengan kongsi dagang Inggris, bajak laut. Astaga, kuharap aku sudah mati ketika Hindia ini merdeka,” ucap Meneer.

Abigail dan Kateng saling tatap. Lebih bingung lagi mencerna kalimat itu.

“Baiklah, tak mengapa. Untuk sementara, kalian bisa tinggal di area ini. Abigail, kau bisa tinggal di rumahku selama yang kau mau. Namun untuk Kateng, sayang sekali. Kau tidak bisa tinggal di sini. Kau bisa tinggal di gudang hewan ternak. Aku mohon maaf, tapi prinsip warga-warga Belanda di sini pun kadang bisa membuatku gila. Kuharap kau bisa memahaminya,” ucap Meneer, terkekeh sedikit.

Lihat selengkapnya