Sampah dan Bertuah

Astromancer
Chapter #11

Atas Nama Sombong

Kami tiba di apartemen Edi dengan kondisi mengenaskan. Kelelahan. Tubuh Edi dan Lauren mencari kasur. Hari ini hari libur. Untuk Lauren, ia tidak harus bekerja hari ini. Untuk Edi? Dia tidak harus bekerja. Ia sudah kaya.

Untuk diriku, kasur tidak terasa nyaman untuk tidur. Tubuhku memang letih. Tapi aku tidak bisa tertidur.

Pikiranku menemukan kenyamanan pada kertas-kertas Abigail. Jurnal halaman selanjutnya, telah kubaca pelan-pelan. Jam 4 subuh tadi kami sampai kembali. Sekarang sudah pukul 8.

Kadang aku menguap. Kopi Americano menjadi penawar untuk mengobati rasa kantuk. Beruntung Edi punya mesin kopi sederhana. Ketika sedang asyik-asyiknya membaca, ada suara yang memecah keheningan. Sesuatu dari luar.

Ketukan tiga kali terdengar.

Room service,” ucap suara dari luar.

Aku meletakkan jurnal itu sembarang. Aku berjalan bergegas ke arah pintu. Kubuka pintu apartemen itu.

Terlihat wajah seorang pria mengenakan topi dan masker berwarna hitam

“Ada paket untuk Bapak Edi Lucky Hartanto.”

“Oh ya, baik.”

Aku menandatangani sebuah kertas penerimaan paket itu. Sepertinya Edi memesan sesuatu.

“Aw!” Aku merasakan sesuatu menyengat kakiku.

Dalam hitungan detik, kesadaranku merosot drastis. Pemandanganku mulai gelap.

“Pak, pak? Bapak kenapa?” tanya si pengirim paket itu.

Mataku mengerjap-ngerjap. Tubuhku jatuh terkulai perlahan.

Di detik-detik akhir sebelum aku betul-betul pingsan, aku melihat kaki panjangnya berjalan melengkahiku.

Semua menjadi gelap dengan cepat.

 

Aku mengeluh. Kepalaku pening. Mataku mengedip-ngedip, menyaring cahaya.

“Rafa! Rafa!” Suara Edi membangunkanku.

“Lu kenapa ketiduran di ruang tamu?”

“Hah? Apa? Hah?” Aku linglung. Bingung.

“Gua nemu lu tidur di ruang tamu. Gua keluar, gua kira lu istirahat di kamar lu. Ternyata di sini.”

Aku merangsek bangun dengan segera.

“Jam berapa ini?”

“Jam sembilan.”

Aku sudah tidak sadarkan diri sejak satu jam lalu. Bagai koneksi listrik, aku teringat apa yang terjadi.

Segera aku bangun dari pembaringan dan berlari ke arah kamarku.

“Weh? Lu kenapa, Rafa?” Edi makin bingung.

“Barusan, ada maling!”

“Hah?”

Tebakanku benar.

“Hilang.”

“Hah?”

“Kotak kayu! Kotak kayu itu hilang!”

“Kotak kayu yang dari museum?”

Aku berlari kembali ke ruang tamu. Kulihat di atas sofa.

“Oh, Tuhan.”

Aku bernapas lega. Setidaknya jurnal Abigail masih berada di sini.

“Tadi ada apa sih? Coba lu jelasin ke gua!” Edi menuntut.

Kutatap mata Edi.

“Tadi gua terima paket atas nama lu. Terus tukang paket itu jalan masuk setelah gua dibuat pingsan. Darimana coba dia?”

“Lu serius?” Edi menatapku, tidak percaya.

“Serius gua. Nih paketnya!” Aku memberikan map coklat itu pada Edi.

Ia membuka, mengulir tali yang mengikat map. Tangannya memutar-mutar.

Sebuah kertas ia keluarkan dari dalam map.

“Rafa,” Edi membaca pelan apa isinya.

“Coba lu baca,” Edi memberikan kertas itu kepadaku.

Hanya ada sebaris tulisan dalam bahasa Belanda.

Stop met zoeken naar de diamant als je nog steeds van je leven houdt[1]

Sebuah surat ancaman.

“Isinya apaan, Rafa?” Edi bertanya, meminta penjelasan.

Pikiranku tersendat. Aku terkekeh sejenak, menyembunyikan rasa khawatir dan takut.

“Oke, jadi begini. Kayaknya gua harus pindah,” ucapku pada Edi.

Edi tidak langsung menjawab. Ia justru balas bertanya.

Lihat selengkapnya