Aku duduk bersimpuh di dalam tenda berwarna hijau yang kubeli seminggu lalu. Sejak aku meninggalkan Jakarta, hidupku di Sulawesi tidak lain adalah turunan dengan tikungan-tikungan tajam, yang membantingku makin hari makin ke bawah. Tapi aku tidak miskin. Aku masih kaya.
Aku menatap cermin kecil yang kudapatkan gratis dari hasil membeli tenda ini. Wajahku sudah tidak kukenali. Rambutku panjang, berantakan. Brewok tumbuh liar. Mataku sayu, bengkak. Kantung mata hitam yang dapat dilihat siapapun. Pelipis kurus kering. Kondisiku amat memprihatinkan. Tapi begitulah, harga yang harus dibayar untuk seorang penjudi takdir.
Setidaknya aku masih punya baju-baju branded. Hasil dari pembelianku sebulan lalu di sebuah mall di kota Makassar. Setidaknya selama beberapa minggu, aku bisa tinggal di hotel. Tapi uang 40 juta memang bukanlah uang yang banyak, disaat semua barang-barangmu hilang entah kemana. Ya kuakui, seharusnya aku bisa mencari kontrakan murah untuk sebulan, sebelum uang itu kubelanjakan ponsel, baju-baju, dan makanan-makanan setiap harinya. Tahu-tahu, uang itu sudah menipis. Sisa lima juta terakhir yang kumiliki, aku memutuskan untuk membeli tenda. Kelebihan tenda dibanding rumah kontrakan atau kamar kos adalah tidak ada biaya sewa bulanan.
Untuk saat ini, aku tinggal di emperan-emperan jalan. Orang-orang di sekitar menganggapku gembel. Tapi mereka tidak tahu apa-apa.
Di hari yang sama aku sampai di Makassar, aku juga sudah menelepon Bandara Soe-Hatta. Aku mencoba peruntungan, menanyakan jika saja koperku berada di sana. Namun semua percobaan itu sia-sia ketika aku mengakui bahwa koper tersebut masih tertinggal di luar Bandara. Pihak Bandara tidak bisa membantu, terlebih karena mereka juga tidak mendapatkan informasi apa pun tentang koper tertinggal. Pernyataan terakhir yang kuterima dari mereka menyiratkan bahwa koperku sudah hilang. Kemungkinan besar dicuri. Aku sudah merelakannya.
Sebulan terakhir, petunjuk yang kupegang adalah jurnal Abigail, dan (anehnya) lukisan Hortense. Agaknya, ketika pikiranku berkecamuk hebat saat aku berdiri di depan Bandara Soe-Hatta, dua benda itu justru tidak lepas dari genggamanku. Awalnya aku tidak bisa menerima kenyataan, bahwa seluruh barangku hilang. Namun setelah dipikirkan, situasi bisa jadi lebih buruk lagi. Bayangkan saja, jika justru dua benda ini yang hilang. Mau diapakan lagi pencarian berlian ini? Seolah di tengah kegilaan, aku masih sadar dua barang itu berharga. Tidak apa. Setelah kudapatkan berlian itu, aku bisa membeli apa pun di dunia ini.
Jurnal Abigail sudah tuntas. Jika berangkat dari hal-hal yang ditulisnya, maka seharusnya pilihanku untuk berangkat ke tempat ini adalah hal yang tepat. Tapi aku punya satu masalah. Aku tidak menemukan jurnal kedua miliknya. Di akhir jurnal, ia menuliskan bahwa catatannya akan dilanjutkan di jurnal kedua. Sebetulnya ini mengindikasikan bahwa berarti ada jurnal lanjutan. Namun halaman-halaman kosong milik Abigail di jurnal pertamanya membingungkan sekali. Total halaman yang tercatat di jurnal pertama adalah lima puluh dua halaman. Ada banyak lembar kosong yang terdapat di sana. Banyak misteri yang belum terpecahkan. Aku sebenarnya tidak mau tahu, tapi kenapa gambar telanjangnya justru berada di halaman pertama jurnal ini? Kenapa juga harus lompat ke jurnal kedua ketika di jurnal pertama masih banyak halaman kosongnya?
Entahlah.
Yang kutahu adalah jurnal itu telah kubaca bolak-balik sampai selesai. Di dalamnya lebih banyak tentang pergolakan batin Abigail yang menurutku kurang signifikan dalam pencarian berlian ini. Banyak dari curahan hatinya yang akhirnya kukesampingkan, dibanding dengan hal-hal yang terjadi. Sedikit-sedikit, hal itu membantuku untuk mengenal siapa Abigail. Namun itu tidak membantuku mengenal dimana letak berlian itu. Sang Hortense's Wens.
Menilai dari arti bahasanya, Hortense's Wens, yang artinya adalah harapan Hortense. Sepanjang jurnal, Abigail selalu menyebut pusaka merah jambu itu dengan sebutan Hortense's Wens. Untuk namanya sendiri, sudah jelas bahwa dengan dilepaskannya berlian itu, Abigail adalah orang yang dipercaya sebagai pembawa harapannya. Tapi harapan apakah itu? Lgipula apa hubungannya dengan kepergian Abigail ke Hindia?
Di dalam tenda, aku memiliki sebuah papan tulis kecil ukuran 50 x 70 cm tergeletak di tengah-tengah. Di papan tulis itu tertera nama-nama orang, tempat, beserta juga dengan benang-benang yang terkait satu sama lain. Setiap petunjuk telah aku petakan. Setidaknya, bagian yang telah dituang dalam jurnal. Ada kalanya aku gusar karena kotak kayu itu tercuri oleh bajingan pembius itu. Bagaimanapun, isinya ada surat-surat milik Abigail yang bisa jadi dapat menguak beberapa hal.
Beberapa kali juga, Edi mencoba menghubungiku. Ia masih terhubung lewat akun TOKTOK yang kumiliki. Terlihat memang ia masih ingin membantuku. Namun Edi tidak bisa membantu banyak, terutama karena aku tidak mau berhutang budi kepadanya. Hal terbaik yang ia bisa lakukan adalah memberikanku ‘berlian-berlian’ lewat TOKTOK. Ada banyak sekali pesan yang ia kirimkan. Tapi aku tidak membalas, bahkan membacanya. Aku tahu ini egois dan terkesan sombong, tapi aku tidak ingin ia terlibat terlalu dalam.
Ibuku sudah tidak mencari keberadaanku. Tante Ila kehilangan kontak denganku. Anin juga demikian, setelah aku menon-aktifkan Stargam. Kami hilang kontak, tapi tidak mengapa. Karena tidak ada juga janji untuk bertemu kembali dalam waktu dekat.
Aku masih sesekali menonton dalam diam, video Natalie. Walau kian lama, sepertinya ia meninggalkanku. Video-videonya sekarang kebanyakan bercerita tentang hidupnya. Kalau tidak, paling video ia bermain game. Dapat kulihat bahwa beberapa orang mulai jarang menontonnya. Sudah kuduga, yang mereka inginkan adalah intrik dan emosi. Namun, Natalie tidak memiliki bahan bakar yang cukup, seolah ia sudah nyaris membakar semuanya tentang kita. Sesekali ia akan mengadakan live video dan bercerita lagi tentang kejadian itu.
Di sisi lain, aku mulai jarang mengunggah video juga. Tapi kian hari, penontonku bertambah. Terlebih setelah mereka melihat videoku yang kurekam saat di pesawat. Mereka mencari intrik, ya mereka mendapatkannya. Setidaknya mereka bisa puas mengata-ngataiku. Mereka tidak tahu, bahwa di waktu-waktu sulit, TOKTOK justru jadi sumber penghasilan untuk keseharianku. Mereka menonton, mengikuti, memberikan komentar, semua itu adalah traffic. Semakin banyak yang menonton, semakin banyak mata melihat, semakin banyak uang mengalir. Terakhir, pengikutku sudah mencapai dua puluh lima ribu orang. Beberapa produk bahkan mengajak untuk bekerja sama. Namun kutolak. Mereka tolol apa? Aku melakukan ini bukan karena dasar uang. Melainkan, atas asas peninggalan. Yakni legacy. Video-video singkat itu adalah wasiatku. Jika aku mati, mereka tahu kenapa.
Tapi sejak turun dari pesawat, tidak ada satupun orang yang mendatangiku. Tidak ada yang mengancamku. Bahkan melalui pesan singkat saja tidak. Seolah ancaman dari mereka saat aku di Jakarta hanyalah sebuah kesalahan.
Aku berbaring santai di atas kasur kapuk tipis di dalam tenda, menyesap sebotol Curut. Curut adalah kata lain dalam bahasa Indonesia, yang artinya tikus kotor. Ya, tengiknya bau alkohol dari Curut ini begitu menggemaskan, sekaligus memabukkan. Orang-orang sini jelas tidak punya naming sense[1] yang baik untuk botol-botol miras.