Sampah dan Bertuah

Astromancer
Chapter #13

Beban Moral

Malam itu terasa panjang, berbeda dari biasanya. Abigail berlutut dan berdoa. Sudah ada kabar dari pasar, bahwa bajak laut mulai memadati area ini. Mereka tidak mengaku sebagai bajak laut. Mereka tidak menunjukkan perilaku agresif, membaur dengan masyarakat. Mereka pun masyarakat Bugis.

Di tempat lain, Bram, pria tua berotot dengan wajah mengerikan, bertemu Kateng.

“Siapa kau? Budak di rumah Toni? Kudengar kau bisa bahasa Belanda?” tanyanya.

Ia sedang membasuh peluru-peluru dengan air bening dalam sebuah wadah besi. Cerutunya ia gigit, kadang ia mengembuskan asap dari mulutnya.

“Paling dengan aksen kampungan.”

Di mata Kateng, Bram adalah pria tua berotot dengan tatapan tajam. Urat-uratnya timbul di leher. Rambutnya pendek potongan tentara. Matanya fokus, tidak berbasa-basi, dan sangar. Gigi-giginya besar-besar. Kerutan di keningnya kentara, membuat aura sintingnya makin terasa. Dari perawakan ia agak mirip Toni. Namun Bram adalah versi diri Toni yang melakukan lari pagi setiap jam empat subuh, latihan bertarung, berenang, serta pola hidup untuk karinovora macam singa buas. Tubuhnya tegap, otot-ototnya mencuat keluar. Dia adalah jenis manusia yang susah dibunuh. Demikian pikir Kateng.

“Tuanku, saya adalah hamba yang mendapat kemurahan hati dari Meneer Toni untuk bisa tinggal di sini. Izinkan saya untuk berada di sini, membantu pertahanan,” ujar Kateng, dengan kepalanya menunduk ke bawah.

Ia agak terkesiap mendengar bahasa Belanda yang diucapkan Kateng tanpa terbata. Bram mengisap dalam-dalam cerutu besarnya. Kemudian ia menggerakkan ujung cerutu itu pada leher Kateng. Ujungnya membuat leher Kateng tersundut. Kateng meringis sedikit. Ia menahan panas yang menyulut di kulitnya itu. Ini hanya bara rokok. Bram menarik kembali cerutu itu.

“Heheh, kuakui kau punya nyali. Tapi jangan gunakan lagi bahasa itu di hadapanku. Mulut Pribumi menjijikan itu tidak layak menyebut-nyebut dalam bahasa kami.”

Bram berjalan meninggalkannya. Kateng menatapnya dari jauh. Begitulah kesan yang Ia dapatkan juga di Belanda. Sejujurnya jika tanpa kemampuannya menggambar, tidak seorangpun akan bercakap-cakap dengannya.

Kateng ikut berjaga-jaga dengan pasukan Meneer Toni. Ia menyandang senjata musket. Setelah uji coba beberapa kali, Kateng terbiasa lagi menggunakan senjata itu. Dulu ada senjata-senjata musket seperti itu di kapal Bombang, hasil jarahan. Kateng adalah orang yang langsung mengetahui cara menggunakannya. Ia mencoba membidik pohon-pohon dan ikut latihan dengan para pemuda. Hal itu terjadi lama, sampai pada akhirnya ia meninggalkan garis depan.

Total ada 102 senjata lantak atau senjata yang disebut musket itu. Belum terhitung lagi dengan senjata-senjata lainnya seperti revolver, meriam, dan sebagainya. Amunisi mereka lengkap. Benteng-benteng semi permanen mulai dibangun di sekitar sana. Barikade-barikade juga disusun menggunakan karung-karung berisi tanah. Nampaknya, jika ingin mengalahkan barak ini, bajak laut itu setidaknya harus mempunyai sebuah tank. Walau tank masih belum berkembang secara masif sampai abad 19. Prajurit yang bisa bertarung, termasuk di dalamnya pemuda warga sipil yang tinggal di kompleks Meneer Toni jumlahnya adalah 88 orang.

Berdasarkan perhitungan Kateng, setidaknya Bombang memiliki ratusan orang di bawah kekuasaannya. Walau kalah jumlah, bajak laut itu tetap bisa dikalahkan dengan mudah dengan persenjataan yang mumpuni. Belum lagi dengan pelatihan militer yang diterima pasukan di barak. Mereka jelas unggul dari segi keterampilan dan peralatan.

Namun ada yang janggal. Berkali-kali Kateng membayangkan di dalam benaknya. Terlepas dari keunggulan yang mereka punya, Kateng tidak bisa membayangkan Bombang kalah. Ia selalu mendapatkan apa yang ia inginkan, dengan cara apa pun.

Terdengar oleh telinga mereka bahwa antek-antek Bombang sering membahas akan melakukan penyerangan. Ini laporan dari pesuruh pribumi yang pergi ke pasar. Kebencian Bombang pada VoC maupun Belanda begitu kentara. Ia akan melakukan apa saja untuk menumpas habis mereka dari tanah Sulawesi.

 

“Lihat mereka,” ujar Bombang suatu hari, di masa lalu.

Kateng sedang duduk berjongkok, mengintai keberadaan kapal dagang VoC.

“Mereka mengambil banyak dari tanah ini. Mereka menghasilkan uang dari kita. Tapi rakyat kita kelaparan dan sengsara,” Bombang berbisik pelan kepada Kateng.

Sorot matanya tajam, bagai macan kumbang menanti balas dendam. Sorot mata itu, memukau Kateng. Seorang pemimpin yang menginspirasi awaknya, tapi juga membuat takut. Begitulah Bombang.

Terlepas dari kekejamannya pada orang Belanda, Bombang betul adalah seorang raja bagi rakyatnya.

“Katakan kepadaku, Kateng. Apa yang pernah kau ambil dari mereka, yang membuat mereka semenderita kita?” Bombang menatap pemuda di sebelahnya.

Kateng membisu. Ia tidak bisa menjawab.

“Betul itu. Tidak ada. Mereka bangsa tidak tahu terima kasih. Aku akan ajarkan mereka arti terima kasih. Aku hanya mengambil kembali apa yang sudah menjadi milik kami. Tanah, sumber daya, dan kekayaan bumi milik kita. Tak peduli jika aku harus berubah jadi setan pun, aku akan lakukan itu.”

“Kenapa Karaeng sangat ingin menumpas Belanda?” Kateng bertanya, sungguh ingin tahu. Sudah empat tahun Ia mengikut Bombang dan pertanyaan ini tidak sungguh-sungguh terjawab.

Bombang mencengkram bahunya. Terlihat di matanya api yang berkobar menghanguskan. Masa lalu, penderitaan, serta rasa sakit itu seolah tertransfer pada Kateng. Bombang dengan segenap napas dan kebencian, ia menghimpun itu semua dalam kalimat berikutnya yang ia ucapkan.

“Karena merekalah iblis jahanam sesungguhnya.”

 

Tahun-tahun itu ia habiskan dengan ilusi. Seolah ia adalah sahabat terbaik yang dimiliki Bombang. Dengan kekuatan Bombang dan kecerdasan Kateng, mereka membangun kekuasaan adidaya di lautan Makassar. Terbukti bahwa sejak bergabungnya Kateng, Bombang memiliki lebih banyak pengaruh. Ia bahkan bisa memiliki banyak armada kapal, dijuluki raja bajak laut seantero laut Makassar. Tapi Bombang selalu ingin lebih. Ia ingin menjadi raja bajak laut sesungguhnya, mengalahkan ratu bajak laut dari Cina, Madam Zheng, seorang kaisar bajak laut yang melebihi kekuatan pemerintah (bahkan armada Inggris sekalipun). Tujuan itu semata-mata untuk menghapus Belanda sampai ke tulang.

Sedikit banyak, Kateng juga terpengaruh oleh hal tersebut. Namun kali ini, Ia bergerak bersama pihak Belanda. Dalam perang, tidak ada pilih-pilih. Kali ini, semua prinsipnya didasarkan untuk bertahan hidup. Termasuk untuk melindungi Abigail.

Kateng tidak pernah mau mengaku, bahwa Bombang menganggap mereka semua alat. Jika salah satu dari mereka mengacaukan rencana, Ia tidak segan membunuh. Bagi Bombang, mereka yang tidak layak bekerja lebih baik ia tumbalkan. Jiwa mereka adalah persembahan yang harum untuk kuasa-kuasa gaib yang disembahnya. Sampai sekarang Kateng tidak berani menanyakan siapa yang disembah Bombang. Atau tepatnya, apa.

Di kejauhan, Kateng melihat ada seseorang berlari dengan mantapnya. Ia seorang tentara pengawas. Orang itu berlari terus. Ia sampai di depan rumah Toni, tempat Bram juga berada.

“Meneer, terlihat ada pergerakan orang banyak dengan membawa obor dan pentungan dari arah Barat!”

“Seberapa jauh?”

“Kira-kira 5 mil!”

“Segera perintahkan untuk siaga. Tembak mereka jika mereka tidak menurut,” perintah Bram.

“Siap, laksanakan!”

Dalam sekejap, seluruh pasukan diminta untuk mengambil ancang-ancang. Termasuk Kateng di dalamnya. Kateng mengatur helmnya, supaya pandangannya tidak terhalang.

Matanya membidik ke arah depan, ke arah jalanan yang gelap.

Derap langkah kaki mulai terdengar. Burung dan kelelawar berterbangan dari dalam hutan. Suara mereka berterbangan panik begitu mencekam. Satu dua nyala api terlihat, sampai akhirnya lebih banyak lagi lidah api yang menjilat-jilat nampak di hadapan mereka. Kateng baru saja hendak membidik ke arah kepala salah satu orang. Namun hal itu ia hentikan ketika melihat bahwa yang ia bidik adalah kepala seorang ibu-ibu tua. Kateng mengarahkan senjatanya ke bawah.

Mau apa ibu-ibu tua itu dalam rombongan bajak laut?

Untuk sejenak, para tentara Belanda itu juga ragu-ragu.

“Meneer, ada wanita di dalam rombongan ini. Apa yang harus kita lakukan?” tanya seorang prajurit barak pada Bram.

Bram mematikan cerutunya. Ia membuka dan memantik yang baru.

“Beri tembakan peringatan!”

Seorang pemuda menembakkan revolver ke langit. Suara itu menggelegar bagai gemuruh petir di langit malam.

Sontak suara itu membuat beberapa orang di rombongan ragu-ragu melangkah.

“Pribumi najis yang berbahasa Belanda!” bentak Bram. Ia memanggil Kateng, sepertinya.

Kateng beringsut menghadap dengan enggan.

“Ya, tuanku?”

“Berjalanlah ke arah mereka. Tanya apa yang mereka mau? Aku masih bersimpati kali ini. Mereka bisa kembali dan tidak menghiraukan kami. Tapi jika mereka ingin kekerasan, maka akan kubunuh baik warga sipil, pribumi, bajak laut, atau orang-orang kaummu yang najis-najis itu.”

Perintah yang terkesan kejam. Tapi Kateng tidak punya waktu untuk memasukkan perkataan itu ke hati. Ia pamit pergi dan berangkat ke tengah-tengah mereka. Dua kubu itu diam dalam keheningan. Tidak ada yang bersuara. Hanya terdengar suara jangkrik dan kretek-kretek dari bara api.

Kateng mengamat-amati. Ada yang tidak beres. Dimana para bajak laut itu? Beberapa hari lalu, waktu Ia pergi ke pasar bersama Cening, Ia yakin melihat keberadaan beberapa orang dari mereka yang Ia kenali. Sekarang, mereka seolah menghilang. Kenapa mereka tidak ada?

Ketika Kateng sampai sepelemparan jauhnya dari mereka, ia berteriak kepada para pembawa obor itu.

“Ada gerangan apa datang ke sini?”

Di saat yang bersamaan, seseorang ikutan maju ke depan. Ia bergerak dari balik kerumunan.

“Kau Bugis juga bukan?”

Kateng tidak menjawab.

“Ada gerangan apa ke sini?” Ia mengulang pertanyaan, sekaligus menekankan posisinya.

Orang itu adalah pria paruh baya, dengan kumis lebat, tubuh kurus. Pria itu memegang obor juga. Ia orang lokal.

“Kami tidak suka ketentraman kami diganggu dengan keberadaan orang-orang asing. Kami memberikan waktu tiga hari bagi orang-orang di kompleks Belanda itu untuk pergi dari sini,” ucapnya dalam bahasa Bugis.

“Kalian yang harus pergi dari sini. Percayalah, kalian tidak ingin menghadapi kami,” sekali lagi Kateng berunding.

“Kau ini harusnya di pihak kami. Mereka ini orang-orang serakah yang menjajah kami. Kita tidak boleh biarkan orang-orang kulit putih itu berkuasa!” ujar si pria.

“Di sini kami hanya memikirkan urusan kami sendiri. Silahkan urusi kehidupan kamu sendiri,” Kateng menilik mereka satu per satu.

“Kami tidak bisa melanjutkan kehidupan sehari-hari jika ada mereka di sini. Mereka adalah ancaman. Silahkan tinggalkan pulau ini dan pulang ke tanah milik sendiri.”

Kateng tidak menemukan baik titik terang untuk massa yang berunjuk rasa ini, juga para bajak laut-bajak laut di kerumunan itu.

“Kuperingatkan sekali lagi, mundurlah selagi masih bisa. Jangan-”

Ucapan Kateng terhenti. Tahu-tahu saja, suara letusan terdengar dari belakang. Tangan Bram sudah teracung ke depan. Peluru revolver itu melesat dan meledakkan kepala seorang pemuda pembawa obor. Ia tewas seketika.

Teriakan panik langsung terdengar dari kerumunan. Mereka menghambur dari sana. Sebagian lari pontang-panting ke belakang, sebagian lainnya maju ke depan untuk menyerang.

“Jika mereka masih banyak bicara, itu tandanya mereka ingin mati. Tembak mereka,” perintah Bram.

“Tidak, tunggu dulu!” Kateng memperingatkan. Tapi tentara sudah mengokang senjata.

Ia melompat ke samping kiri, ke arah rerumputan, tiarap di tanah.

Peluru-peluru melenting di udara. Suaranya memekakan telinga, meletus satu persatu, yang kemudian bersarang di tubuh kerumunan yang marah dan bingung. Darah-darah tertumpah. Mereka yang tanpa senjata, mencoba memperkecil jarak. Pun begitu tidak satupun orang yang membawa obor itu berhasil menyentuh prajurit barak. Usaha sia-sia. Mereka tumbang ke tanah, tidak bersisa. Dalam waktu dua menit, semua ditembaki. Bau amis darah memenuhi tempat itu. Banyak genangan darah dan mayat bergelimpangan dengan bau anyir dari kematian.

“Pastikan mereka semua sudah mati,” perintah Bram lagi.

Pasukannya berjalan mengitari mayat-mayat. Ketika melihat pergerakan sedikit, senjata itu akan mengarah ke tubuh sekarat itu, dan menjadikannya mayat betulan. Rintihan sakit kadang terdengar dari gelimpangan orang-orang itu. Satu dua letusan senjata terdengar.

Kateng berusaha bangkit dari tempatnya. Ia menatap nanar pada apa yang baru saja terjadi. 

“Cari wanita-wanita tua yang tadi juga ikut datang. Aku juga melihat ada orang-orang muda, banci pengecut yang lari tunggang langgang. Cari dan kejar mereka. Bunuh mereka juga!”

Sontak dengan perintah itu, tentara yang mendengar mengikutinya. Mereka patuh, bergerak tanpa hati nurani. Mereka semua, berlari dengan senjata di tangan. Manusia-manusia tidak berdaya itu bagai babi hutan untuk diburu.

Di dalam hati, Kateng menjerit. Apa mereka menganggap orang-orang itu bukan manusia? Tidak bisakah mereka menembak kaki-kakinya saja? Atau barangkali membuat luka yang tidak mematikan? Betapapun dilihatnya, bahkan Bombang pun masih memberi kasihan kepada orang-orang yang dikalahkannya. Setidaknya mereka di penjarakan. Masih diberi makan. Walau makanannya juga tidak layak.

Tak sampai sedetik, Kateng menggeleng lagi. Tidak. Bombang pun sama saja. Ia menyiksa tawanannya sampai mereka patuh dan berjanji tidak akan mengingkarinya. Setelah itu, jiwa mereka akan dijualnya pada setan sebagai jaminan. Bombang tidak lebih baik. Bahkan sebagian dirinya berpendapat pembunuhan ini jadi lebih manusiawi daripada yang dibuat Bombang. Apalagi ketika diingatnya kesusahan Abigail. Ia tahu, satu hari di antara tiga hari itu, Abigail pasti pernah berharap untuk mati saja.

“Ternyata hanya segini saja kekuatan bajak laut itu? Apa mereka sungguhan bajak laut? Kenapa tidak ada tangguh-tangguhnya? Apa mereka membawa-bawa ibu mereka untuk dibunuh? Membawa-bawa anak-anak remaja untuk dibantai?” Bram membanting senjatanya ke tanah.

Ia geram, pasukannya tidak seharusnya bersusah-payah untuk menghadapi mereka.

Namun kemudian, terdengar suara senjata dari sisi lain kompleks itu.

“Ada apa di sana?”

Suara jeritan wanita melengking tajam, memecah keheningan pasca bentrokan.

“Segera ke sana. Lihatlah situasinya!” Bram memerintah.

Ia pun naik ke atas kudanya. Hewan itu langsung berderap maju ke arah sisi lain kompleks. Mengitarinya, sebelum akhirnya menghilang dari pandangan Kateng.

Di rumah, Abigail sesekali mengintip dari jendela. Rumah Meneer Toni adalah rumah teraman. Di dalam, Meneer sudah siap sedia untuk membunuh bajak laut itu. Keluarganya, serta Abigail dan Cening berada di bawah.

Toni berada bersama lima orang lainnya, yang berjaga-jaga di bawah. Mereka adalah orang-orang Pribumi seperti Kateng, yang membutuhkan perlindungan.

Pemandangan itu mengerikan. Pemuda-pemuda berpakaian compang-camping berdatangan. Mereka juga membawa obor. Bedanya, kali ini mereka juga menyimpan badhik di tangan kanan.

Prajurit barak berlindung dari balik barikade karung.

“Tembak!” Seseorang memberi komando menembak.

Suara letupan senjata terdengar berkali-kali. Letusan-letusan itu terdengar keras. Banyak dari pemuda itu yang jatuh dan mati. Sebagian yang tidak mati berbalik badan dan berlari, yang kemudian akan dikejar oleh pasukan kalvari.

“Baiklah, sepertinya tugas kita sudah beres di sini. Ayo kita ke depan,” ujar si pemberi komando.

Lihat selengkapnya