Catatan ini adalah tulisan pribadi milik Cornelius Djikman:
Zuiden Celebes, 1790
Tampangnya biasa saja. Ia bagai bocah kulit gelap lainnya yang ada di sini. Tapi ia sedikit berbeda. Kadang, memang Tuhan bisa menempatkan orang-orang berbakat di tempat-tempat tidak terduga. Kateng adalah seorang bocah ajaib dari Celebes.
Pertama aku menjumpainya, ia sedang bekerja membantu ibunya di sawah. Gagal panen hebat melanda Sulawesi. Kurangnya pembasmian hama secara berkala menjadi penyebabnya. Kelaparan saat itu terjadi di kalangan masyarakat Celebes, akan tetapi bagi pejabat VoC itu bukanlah masalah besar. Kami tetap bisa melewati krisis pangan itu.
Bocah itu sedang menggambar sesuatu di tanah lapang. Waktu itu, aku pergi untuk mengancam beberapa orang untuk bisa menanam lebih banyak padi. Aku tidak menyukai tugas itu. Turun ke perkebunan dan sawah-sawah kotor, berlumpur, sama sekali tidak menarik perhatianku. Tapi kami tidak punya terlalu banyak pilihan. Sebagai petinggi, aku harus bisa meyakinkan orang-orang itu bahwa aku tidak bermain-main. Setelah perbincangan di salah satu rumah, aku menyerahkan tugas itu pada beberapa orang rekan yang lain. Aku keluar untuk membakar cerutu. Di situlah, aku menemukan Kateng. Bocah dengan perut buncit, serta tangan yang kurus tinggal tulang. Ia sedang menggambar sesuatu di tanah. Mungkin saat itu, usianya baru lima sampai enam tahun.
Sejujurnya, saat itu aku hanya bosan dan mengantuk. Menyesap sebatang cerutu rasanya tidak lumrah jika tidak ada sesuatu untuk kupandangi. Aku bosan melihat pemandangan sawah setiap saat. Berbekal rasa penasaran, aku mendekati bocah kulit hitam itu. Ia memiliki sebuah batu di tangannya. Bocah itu tidak mengenakan pakaian. Ia bertelanjang dada. Hanya mengenakan sebuah celana dari karung.
Aku tidak akan pernah lupa apa yang dilakukannya. Saat itu ia hanya menggambar sebuah objek geometri sederhana. Sebuah lingkaran. Goresan tangannya cepat, gesit. Ia berputar dengan tangannya terulur ke tanah, ibaratnya ia adalah sebuah jangka. Sebuah lingkaran dengan diameter sekitar satu lengan orang dewasa terbentuk. Sisi-sisinya begitu rapi. Lingkaran itu tercipta dengan efektif, utuh, sempurna. Mungkin di mata orang lain, itu bukanlah hal yang luar biasa. Namun di mataku itu bukan hal biasa.
Sejak kecil, aku selalu ingin bisa melukis. Ada banyak pelukis yang menginspirasiku. Mimpi itu tidak berlangsung lama, setelah kusadari bahwa tanganku gemetar ketika sedang memegang benda, apa pun itu. Aku tidak bisa mengendalikan kuas, layaknya Rembrandt. Dunia seni selalu memukau bagiku, tapi di saat yang bersamaan juga mengecewakan.
Kami kembali pulang ke kompleks Rotterdam Fort. Aguste membawa seorang wanita lokal untuk menjadi ‘pembantu’ di rumahnya. Ia memang biasa begitu. Padahal suami wanita itu ada bekerja di sawah. Entah kenapa selera Aguste sangat membingungkan. Padahal istrinya adalah wanita terhormat yang ia boyong dari Belanda.
Ketika kembali pulang ke Rotterdam Fort, aku tidak bisa tidur dengan nyenyak. Aku terus memikirkan bocah itu, seorang anak kecil yatim yang memiliki bakat, tapi ia bisa berakhir tewas karena hal remeh-temeh seperti kelaparan.
Dua hari setelahnya, aku pergi lagi ke tempat itu. Para petani masih mengerjakan lahan mereka. Ketika aku lewat, mata mereka semua memandangku. Dua perasaan muncul dari sorot mata mereka. Mereka takut dan marah. Tapi selalu rasa takut mereka yang lebih besar. Hal itu baik. Masyarakat lokal ini memang seharusnya takut terhadap kami.
Aku mengetuk pintu rumah, mencari anak dengan ciri-ciri yang kutemui kemarin. Aku mengujinya lagi. Kuminta ia menggambar segitiga sama kaki. Aku membawakan sebuah diagram dari gereja, lambang Tuhan tritunggal. Ia mengangguk, kemudian mengambil batu. Ia mulai mencoret tanah, menarik garis demi garis. Hingga terbentuklah pola geometri itu dengan ukuran yang besar. Bocah itu mudah menyelesaikannya. Aku mengeluarkan penggaris, mencoba mengukur panjang sisi-sisinya. Perbedaan panjang setiap sisi hanya berjarak sekuku saja dari satu sama lain. Namun aku belum puas.
Aku memintanya untuk menggambar sebuah persegi. Kembali, aku mengeluarkan sesuatu dari tas. Di atas kertas itu, tertera pola yang kuinginkan. Pola ini telah kubuat sebelumnya dengan penggaris. Aku ingin dia bisa menirukan pola ini.
Ia mengangguk kembali, kemudian mulai menggambar. Sama seperti hal yang ia lakukan tadi. Ia menggambar di atas tanah, kemudian terciptalah persegi dengan panjang sisi-sisi yang sama persis dengan ukuran sisi sepanjang lengan orang dewasa. Aku mengangguk cukup takjub.
Terakhir, aku memintanya untuk menggambar di atas kertas. Aku memberikannya pensil. Ia mengalami sedikit kesulitan saat menggenggam pensil itu di tangan. Namun setelah kuajari sebentar saja, ia dengan mudah menggambar. Aku mau dia untuk menggambar pipa cerutu milik Aguste, yang kupinjam. Gambar itu tuntas. Yang lebih membuat takjub adalah bahwa ia hanya butuh sekali lihat dalam menyelesaikan gambar itu. Sebuah pipa cerutu yang mirip sekali, terpampang di atas kertas itu. Walau pipa di situ, agak tidak proporsional dengan aslinya.
Begitu saja, aku memboyongnya pulang. Aku juga mengajak ibunya, yang sepertinya baru berusia belasan tahun, untuk ikut bersamaku juga. Tujuanku berbeda tentu saja dari Aguste. Wanita muda ini kuajak pulang supaya ia bisa mengasuh anak ini. Kemudian, aku juga jadi memiliki pembantu dengan biaya cuma-cuma. Kehidupan stabil dan aman adalah hal yang membuat mereka mengikuti kami. Tentu saja, kehidupan di dalam kompleks rumah Belanda jauh lebih baik dari kehidupan tidak tentu di sawah. Perubahan nasib ini membuat Kateng terus menerus didoktrin oleh ibunya, tentang balas budi. Aku menyukai cara perempuan itu memandang kami. Ia melihat kami seperti dewa.
Setidaknya sudah dua minggu, Kateng bersama kami. Keluargaku tidak terlalu ambil pusing dengan keberadaannya. Sehari-hari, aku terus melatihnya untuk menggambar. Untuk gambar-gambar kompleks, ia masih butuh banyak latihan.
----------
Zuiden Celebes, 1795
Satu hal yang kubenci dari keluargaku, adalah anak laki-lakiku sendiri. Namanya Jacob. Usianya dua tahun lebih tua dari Kateng. Anak itu, nyaris membunuh uang berhargaku di kolam kami. Aku bersumpah bahwa Jacob akan merasakan penderitaan paling menyakitkan. Aku membuatnya tidak makan selama dua hari penuh. Berandal kecil itu harus membayar. Beruntung bahwa Kateng dapat diselamatkan dengan pertolongan pertama. Ketika ia sadar dari pingsannya, aku bertanya kepadanya.
“Kenapa kau tidak melawan?”
Karena terbatasnya kosakata miliknya dalam bahasa Belanda, ia hanya menjawab dengan satu kata.
“Bang,” jawab bocah kurus itu.
Rasa takut. Tentu saja. Bola mata hitamnya itu juga masih memancarkan ketakutan, bahkan ketika Jacob tidak berada di sekitar sini. Akan tetapi, aku menyadari bahwa ini adalah mental yang dibuat sejak ia kecil, mental pribumi. Jika ia adalah budak, ketakutan itu hal yang baik. Namun aku tidak ingin ia menjadi budak. Ia akan menjadi pelukis terkenal. Dia akan menjadi pelukis Belanda yang masyur di berbagai bangsa. Aku akan diingat sebagai majikan yang membuatnya seperti itu.
Sejak saat itu, aku menanamkan suatu perasaan lain di dalam diri Kateng. Ia kubesarkan dengan cara Eropa. Aku memakaikannya baju Eropa. Aku membuat dia makan dari meja yang sama denganku. Aku menyewa guru untuk dia bisa belajar bahasa Belanda, bersamaan juga untuk belajar tata krama. Kateng harus sadar bahwa ia adalah orang Belanda. Ia hidup dengan nilai-nilai Belanda. Aku bahkan mengajaknya ke gereja. Sedikit banyak, kuajarkan juga betapa beruntungnya dirinya karena ia bisa hidup bersama kita. Namun tidak terlalu sering, supaya ia merasa bahwa aku tidak bermaksud mencuci otaknya. Walau sebetulnya itulah hal yang coba kulakukan.
Kateng layaknya seperti anak laki-laki yang tidak pernah bisa aku miliki. Ia begitu cerdas. Ia menangkap pelajarannya dengan cepat, untuk ukuran seorang anak pribumi yang tidak pernah mengenal aksara dan huruf-huruf. Ia dengan segera menyaingi kecerdasan Jacob. Ketika usianya 10 tahun, Kateng telah lancar berbahasa Belanda. Ia pintar membaca situasi. Beberapa kali ia kukenalkan pada tamu-tamu yang sering berkunjung. Seolah ada pesan tersirat di antara kita berdua, ia selalu bisa menyulap mereka. Tamu-tamu itu datang, melihat Kateng dengan perasaan meremehkan, tapi pulang dengan perasaan iri. Kateng melakukannya dengan baik. Mulai dari menunjukkan rasa ingin tahu tentang Belanda, memuji-muji tamu yang berdatangan, hingga kepada atraksi gambarnya yang selalu kupertontonkan di depan orang banyak. Kateng begitu memukau dengan gambar-gambarnya. Ditambah lagi dengan memorinya yang ibarat busa penyerap. Kateng hanya membutuhkan waktu beberapa detik saja untuk mengingat semua rupa dari objek yang akan digambarnya.
Pun begitu, Kateng punya masalah. Aku ingat ada saat dimana ia membuatku kecewa karena gambarnya tidak proporsional. Beberapa kali aku memerhatikan bahwa semakin lama, jarak antara wajahnya dengan kertas berubah menjadi sangat dekat. Barulah aku menyadari bahwa Kateng membutuhkan kacamata. Setelah pergi ke dokter mata, Kateng diberikan kacamata. Benda itu mahal, tapi harganya sepadan. Kateng semakin jago menggambar. Ia tinggal bersama kami dan segera menjadi kebanggaanku.
Namun sebuah tragedi terjadi. Harusnya aku menyadarinya. Jacob mencoba membunuh Kateng lagi ketika usia anak itu empat belas tahun. Entah apa yang merasukinya, mungkin perasaan iri atau dengki karena perhatian yang kuberikan pada Kateng. Ia menyelinap mengambil flintlock dari kantorku. Ia mencurinya, kemudian mengajak Kateng ke sebuah tempat yang agak jauh. Beruntung, seorang tentaraku menyadari hal itu. Ia segera melaporkan hal itu kepadaku, dan kejadian itu bisa dicegah.
Hal yang tidak terduga adalah bahwa Jacob ditemukan dengan hidung berdarah, sedangkan senjata genggam itu masih berada di tangannya. Jacob tidak memiliki keberanian untuk menembak, pada akhirnya. Namun Kateng memukulnya telak dan membuatnya terjatuh. Melalui kejadian itu, aku sadar. Aku tidak membutuhkan anak tidak tahu diri itu.
Aku membuang Jacob ke sebuah lokasi kompleks perumahan Belanda yang agak jauh dari Celebes. Tepatnya di Batavia. Kudengar, di sana ada sekolah yang bagus yang bisa mendidiknya tentang kehormatan. Setelah hilangnya Jacob dari area rumahku, aku baru bisa merasa lebih tenang. Tentu saja, istriku menyalak-nyalak soal ini. Tapi keputusanku tidak akan terganggu. Tidak sampai tiga bulan, istriku mengikuti anaknya untuk pergi ke Batavia. Jacob adalah anak kami satu-satunya dan tidak seharusnya seorang ayah melakukan itu pada anaknya sendiri. Kubebaskan ia pergi. Begitu mereka berdua pergi, rumah menjadi lebih lengang dan tenang. Aku bisa berfokus pada pekerjaanku lebih baik.
----------
Zuiden Celebes, 1800
Kateng berusia 15 tahun. Ia sekarang menjadi pemuda yang sangat berbeda dari pertama kali aku bertemu dengannya. Hari ini adalah hari dimana ia akan dikirim ke Eropa. Ia akan mendapatkan lebih banyak koneksi dengan berada di sana. Selain itu, ia akan belajar begitu rupa di sana. Aku terus berpesan padanya supaya ia mempelajari karakter lukisan dari Eropa. Lukisan-lukisan di sana adalah poros seni dunia. Kateng hanya memiliki satu kekhawatiran, yaitu keamanan indonya, orang yang ia sebut ibu itu. Tapi aku meyakinkannya bahwa ibunya akan baik saja. Bagaimana pun juga, aku masih akan tinggal di sini. Ada banyak pekerjaan yang perlu diurus. Aku melihat bahwa dua puluh tahun lagi, VoC akan runtuh. Mungkin bahkan lebih cepat dari itu. Konglomerasi ini sudah terjangkit penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Korupsi merajalela di seluruh badan organisasi VoC. Disusul dengan tekanan dari pemerintah yang sama serakahnya untuk mengambil alih keadaan di Hindia. Mereka kira, semua usaha ini bisa begitu saja diambil alih? Belum lagi dengan ancaman-ancaman yang datang dari orang Inggris. Mau diapakan mereka?
Iya, aku hanya harus bertahan. Aku masih bisa menikmati hidup di area ini. Uangku pada Kateng akhirnya akan terbayar. Ia akan kembali lagi ke sini dalam waktu tiga tahun.
Hari dimana aku melepasnya untuk berlayar adalah hari yang paling menyedihkan. Selepasnya ia berlayar ke laut lepas, aku langsung kembali ke kantorku.
Tidak pernah kusangka seumur hidupku bahwa aku akan menangisi kepergian bocah pribumi itu. Terlepas dari pandanganku yang melihatnya sebagai eigendom[1], ia memberikan banyak kebanggaan tersendiri untukku. Ia memberiku rasa bangga selayaknya seorang ayah. Kadang kupandangi lukisan-lukisan yang pernah dibuatnya itu. Aku ingat ada beberapa tamu yang meminta supaya lukisan-lukisan ini dibuat atas nama mereka. Beberapa peneliti, botanis, artis dari Eropa, memberikanku sejumlah uang yang terbilang cukup banyak untuk lukisan-lukisan itu. Aku dengan senang hati memberikannya. Setelah itu, Kateng akan kusodorkan manisan atau mainan atas upayanya itu. Yang kemudian akan ia tolak, dan memilih agar ibunya dapat dibelikan pakaian-pakaian saja. Ya, bocah itu sangat dewasa.
----------
Zuiden Celebes, 1801
Pelaut VoC adalah manusia rendahan yang seharusnya mati tenggelam di dasar laut. Seharusnya sebuah batu besi diikatkan pada leher mereka dan mereka semua dilemparkan ke laut. Kateng mengadu bahwa ia diperlakukan semena-mena di sana. Beruntung ia bisa mengirimkan surat burung merpati ke sini. Aku sudah siap mengirimkan sebuah armada kapal perang untuk menyusul mereka dan menembak mereka dengan meriam, jika tidak dihentikan oleh Aguste. Aku memberikan mereka ancaman supaya mereka berhenti melakukan itu, jika mereka tidak mau kehilangan nyawa mereka.
Setelah hari itu, aku menantikan surat dari Kateng. Ketika sampai, aku akan langsung membuka dan membacanya. Seusai membaca, baru surat itu kuberikan pada ibunya.
Hari-hari itu, aku menghabiskannya dengan bekerja. Pekerjaan di VoC tidak pernah habis. Selalu timbul pekerjaan baru. Mungkin karena kelelahan bekerja, aku jadi menyukai bermabuk-mabuk ria. Aguste adalah teman yang baik untuk bersenang-senang. Tapi bukan rekan yang baik. Ada satu malam dimana aku terbangun dan mendapati ibu Kateng terbaring di sampingku. Bersamaan dengan Aguste yang juga terbaring bersama tiga perempuan lainnya di kasurnya.
Setelah hari itu, tatapanku tidak pernah sama lagi. Demikian juga dia. Kami mencoba menghindar untuk berpapasan. Tapi pertemuan tidak bisa terelakkan. Akan ada hari-hari dimana aku mabuk, tidak sadarkan diri lagi. Kemudian hal yang sama terulang lagi. Perasaan aneh itu timbul setiap kali aku mabuk, sebuah hasrat untuk tidur dengan perempuan Bugis itu. Tapi di pagi hari, aku tidak mengingat apa pun. Perempuan itu seolah terlalu khawatir bahwa aku akan memarahinya atau mengusirnya. Ia juga tidak membicarakan apa pun. Kami larut dalam keheningan, dimana tidak ada satu pun diantara kami yang membahasnya.
Atas saran Aguste, aku menyewa pelacur yang memiliki rambut pirang dan kulit putih. Aguste sepertinya berlebihan. Ia menyewakanku tidak hanya satu, namun lima perempuan seperti itu. Ada yang berasal dari Belanda, ada juga yang dari Perancis, Jerman, aku tidak terlalu ingat. Satu hal yang pasti, mereka semua berkulit putih. Aku mencoba meniduri mereka semua malam itu, setelah menenggak minuman keras beberapa kali. Aku kembali tidak sadarkan diri.
Entah bagaimana caranya perempuan Bugis itu melakukannya, mungkin ia mengusir semua pelacur itu dari kamarku; ketika pagi tiba ia sudah berbaring lagi di sampingku. Aku tidak tahan dengan semua ini. Kecurigaanku padanya besar. Mungkin sebetulnya, dialah yang menjebakku seperti ini.
Pagi itu aku memarahinya. Aku yakin sekali ia selalu mengajakku untuk tidur dengannya ketika aku mabuk berat. Namun saat itu, ia hanya menangis.
Ketika setelah itu, aku bertanya pada salah satu pelacur itu, ia menjelaskan bahwa akulah orang yang menendang mereka semua dari kamar.
Di situlah aku sadar, bahwa perempuan Bugis itu tidak bersalah.
Setelah itu, aku mendatanginya. Aku bilang kepadanya supaya ia bisa mengunci dirinya saja di dalam kamarnya, jika aku mabuk dan mengajaknya tidur bersama lagi. Tapi aku tidak meminta maaf. Bagiku, itu hanyalah kesalahan yang tidak terkendali akibat minuman keras. Namun mungkin baginya, aku memperkosanya. Atau lebih buruk lagi, memperlakukannya seperti pelacur-pelacur yang kusewa itu. Aku mencoba menyisihkan rasa bersalah. Aneh memang, tapi saat-saat itu, aku memandangnya setara. Aku melihatnya sebagai, selayaknya manusia berperasaan.