Sampah dan Bertuah

Astromancer
Chapter #17

Selayar, Sebuah Pulau Tanpa Pagar

Sepanjang perjalanan, aku sangat menikmati pemandangan laut Sulawesi. Lautan ini membuatku terpana. Sayangnya, aku tengah menceritakan kejadian yang telah kualami kepada Anin. Ia tidak tahu apa-apa di saat kita bertemu waktu itu. Setelah kupikir untuk pertemuan yang kedua ini, ia layak tahu. Bagaimana pun juga, ia temanku.

“Iya, gua mulai ini semua karena ada pewawancara dari National Historic itu yang tengilnya minta ampun. Gua cuma kasih lihat dia satu lukisan yang gua bilang tuh ada kaitannya sama berlian Hortense Wens’ ini. Tapi dia nggak percaya cuma karena ukurannya terlalu gede buat jadi nyata. Gara-gara satu hal itu, gua jadinya harus menelusuri kemana perjalanan berlian itu. Sampai akhirnya gua menemukan kalau mungkin petunjuk selanjutnya akan gua temukan di Selayar,” aku menjelaskannya, mempersingkat semuanya.

Anin mengangguk-ngangguk, takzim mendengarkan.

Kemudian, bergantian Anin yang berbicara. Setelah percakapan, aku baru tahu bahwa dulu ibu dari Anin adalah tetangga Bute. Mereka suka saling bercengkrama di kampung dulu. Anin di masa-masa remajanya sempat kembali lagi ke Sulawesi. Kemungkinan besar, aku juga sudah berada di Belanda waktu itu.

Bute sering mengajak Anin muda naik kapalnya. Beberapa kali juga Anin membantu Bute untuk menjadi tour guide bagi turis yang berkunjung. Sampai akhirnya ia memutuskan untuk kembali lagi ke Jawa. Anin ingin kuliah. Pilihannya saat itu adalah menghabiskan hidupnya di desa bersama ibunya atau pergi mencari peruntungan dengan merantau seorang diri. Anin memilih yang kedua. Terbukti bahwa ia bisa menjadi orang yang cukup berhasil di bidangnya. Aku tidak tahu kalau ternyata pengikut Anin di TOKTOK justru jauh lebih banyak lagi dari di Stargam. Ia jelas sudah sangat berhasil di bidang itu, terlepas terpakai atau tidaknya gelarnya di kuliah dulu.

Sekarang, hanya ada kami berdua yang mengobrol di buritan kapal. Awak kapal yang lain menghabiskan waktu di anjungan, merokok. Berada di dalam untuk waktu yang lama bisa sangat memusingkan, jadi Anin mengajak untuk keluar.

“Gua seneng banget lu ada di sini. Gua kira, gua bakalan sendirian. Ternyata gua ada temen,” Anin menyenggolku. Matanya mengerling, mengedip-ngedip.

“Gua juga nggak nyangka banget lu bisa ada di sini. Gua lagi ancur-ancuran banget nyari tuh berlian.”

“Semoga lu ketemu ya berliannya. Gua kebayang sih, rasanya gimana di bully satu negara. Satu sampai dua komentar yang ngejelekin gua aja kadang bisa bikin gua down. Gimana lu coba?” Anin merangkulkan tangannya.

Aku tertawa lirih. “Iya, gua juga nggak ngerti. Tapi kalau gua ketemu berlian ini, semua orang ini akan diam.”

“Iya, betul,” Anin memberikan simpati.

Ia mengusap-usap bahuku dengan lembut.

Kutatap matanya yang berbinar-binar, diterangnya sinar mentari itu. Anin cakep banget, pikirku dalam hati.

“Gua kangen banget sama lu, tahu nggak,” kataku, memerhatikan gerakan bola matanya yang bulat hitam itu.

Ia melotot sejenak mendengar itu.

“Gua juga. Masih inget nggak sih, dulu kita kalau main selalu pengennya bareng terus?”

“Iya ya? Kita selalu sekelompok ya?”

“Iya tahu! Kalau main bola, lu kiper, gua striker. Kalau benteng, lu yang jagain bentengnya, gua yang lari-larian, nyari tawanan. Gua juga heran. Padahal kita udah gambreng. Tapi tetep aja, bareng-bareng terus akhirnya.”

Aku membalas dengan selenting tawa. “Kalau semua ini udah selesai, kita liburan bareng yuk. Nostalgia masa lalu,” aku berujar, tertawa pelan untuk menutupi rasa grogi.

“Boleh. Kita mau kemana?”

“Ke Bali? Ke Bajo? Lu mau kemana?” Aku bertanya.

“Ayo! Ayo! Gua mau ke Derawan! Ayo kita bakar uang!” Ia menepuk-nepuk tangan.

“Oke. Kalau gua dapat berlian ini, akan gua bayarin semua-muanya.”

“Cuma kita berdua?” Ia bertanya.

Hening sejenak. Aku butuh waktu untuk menjawab.

“Kalau lu nggak keberatan, kenapa enggak?”

“Oke deh!” Ucapnya semangat.

“Eh, ta-tapi, nggak ada adegan aneh-aneh ya. Eh, bentar. Umm, lupain aja deh. Oh, ka-kalau bisa, kita pisah kamar! Eh ... maksud gua. Apa enggak kita harus ajak satu orang lagi kali ya? Eh atau enggak usah ya? Eh, ummm kita lihat nanti aja deh? Heheh,” Anin berujar, tergagap-gagap.

Panasnya matahari membuat kami kegerahan. Aku bisa merasakan tubuhku mulai mendidih. Mungkin, Anin juga. Iya, panas matahari ini begitu menyengat.

Lihat selengkapnya