Keesokan harinya, aku terbangun pada pukul enam pagi. Tepat ketika matahari baru terbit di ufuk Timur. Sayangya, pemandangan yang bisa kusaksikan di pantai ini hanya matahari terbenam. Matahari terbit harus disaksikan dari sisi lain pulau. Namun, itu tidak mengapa. Aku sudah cukup melihat-lihat. Hari ini adalah hari dimana aku sudah harus lanjut bekerja. Notifikasi dari ponselku menyala. Sebuah tulisan yang menyebalkan muncul.
NATALIE IS LIVE ON TOKTOK.
Aku menggeser notifikasi itu dengan satu usapan ibu jari. Tidak penting jika dia siaran langsung atau tidak. Aku tahu bahwa jika aku menonton siarannya, mood yang kupunya akan berubah drastis. Untuk apa memulai hari seperti itu? Terlebih ketika aku bisa menyaksikan pemandangan seindah ini dari pinggir pantai.
Bute telah pamit untuk mengunjungi tempat ayahnya. Awak-awak kapalnya bepergian menjelajah Selayar, sebelum mereka kembali berlayar lagi nanti di siang hari. Aku pun beruntung karena Bute memang sekaya yang dikatakannya. Ia punya beberapa sepeda motor tidak terpakai. Hanya ada satu masalah. Aku tidak bisa menyetir motor.
Kupaksakan diri untuk belajar caranya menyetir motor. Seharusnya ini tidak sesulit sepeda, bukan?
“Weh, mornin’ Raf,” Anin muncul dari balik pintu, menguap. Ia masih mengenakan pakaian semalam.
“Morning!” Aku menyapa balik seadanya.
Tanganku bergetar-getar mencoba menyeimbangkan tubuh.
“Heh! Lu bisa nyetir nggak sih?” Anin tergelak, sembari mengucek matanya.
“Bisa,” ucapku singkat.
“Lu punya SIM motor emangnya?”
“Nggaklah,” mataku berfokus pada laju motor yang bergoyang ke kanan-kiri.
“Udah, berhenti dulu coba,” ujarnya kepadaku.
Aku menahan motor matic itu.
“Gua aja nanti yang bawa. Lu mau kemana emang hari ini?” Anin tergelak.
“Ummm, gua juga nggak tahu sih,” Aku menyandarkan sepeda motor itu.
“Hah? Nggak tahu kemana? Apaan sih lu?” Anin terbahak-bahak.
“Intinya, gua cuma mau cari museum, perpustakaan, kalau enggak situs-situs perkapalan gitulah,” ujarku lirih.
Sepertinya kali ini aku harus mengalah. Insting laki-lakiku jelas tertohok ketika tahu Anin bisa mengemudikan motor ini.
“Kalau lu?”
“Gua?” Anin menggantung kalimat.
“Gua mau ke sekolah yang ada di sini. Gua ada janji untuk ketemu sama guru lama gua,” ucapnya sambil menghampiriku.
“Oh begitu. Jadi, kita jalan kemana dulu nih?”
“Mending kita cari makan dulu yuk,” jemarinya menyentuh bahuku pelan sebelum akhirnya ia beranjak pergi. Ia berjalan lenggak-lenggok masuk ke dalam rumah untuk bersiap-siap.
“Udah, gua yang bawa motor aja. Lu belajar dulu sana di Belanda!” Anin tertawa menjahiliku.
“Gua pasti bisa nyetir motor ini! Lu mandi sana! Lu selesai, gua udah jago bawa motor ini!” Ucapku tidak mau kalah.
Seperti kata Anin, dia memboncengku di motor. Setelah latihan menyetirku membuat motor ini nyaris masuk ke laut, aku terpaksa menghadapi kenyataan. Aku merasa tidak terlalu nyaman, terutama ketika memerhatikan tatapan orang-orang di sekitar yang melihat dengan tatapan aneh. Atau mungkin itu hanya perasaanku saja. Anin memutuskan berhenti di sebuah warung makan. Kami menyantap ikan bakar yang dijajakan di salah satu warung. Suasana pagi begitu damai, kendati ada banyak orang yang berjalan-jalan di sekitar.
“Yah!” Anin berseru tertahan sembari menatap layar ponselnya.
“Kenapa, Nin?” Aku bertanya, sembari menyantap ikan bakar dengan nasi yang tersaji di depan kami.
“Guru gua, kerabatnya ada yang meninggal. Jadi dia hari ini akan jalan ke Bira. Yaelah, batal deh rencana gua.”
“Yah, Bira dimana emangnya?”
“Ya balik lagi ke Sulsel. Capek banget deh,” Anin membalas pesan singkat lewat ponselnya.
“Sampai kapan bakal di sana?”
“Hmmmm, katanya sih dua hari. Karena yang meninggal ini kerabat dekat. Sepupunya katanya.”
“Yah, yaudah deh. Apa berarti lu mau ke Bira dulu?”
“Enggak usah. Gua tinggal di sini dulu aja sampai dua hari. Nanti gua baru ketemu sama dia. Kita muter-muter aja dulu, cari perpustakaan. Lu mau cari petunjuk lagi ‘kan?”
“Lu yakin?”
“Iya. Santai aja, lagian kalau nggak ada gua, lu mau keliling gimana? Orang megang stang aja masih geter-geter,” Anin bersedekap, tawanya mengalir begitu saja, melecehkan martabatku sebagai seorang laki-laki.
“Kurang ajar lu. Liat aja nanti! Gua akan belajar bawa motor hari ini. Besok gua pasti udah bisa nyetir!”
Malamnya aku belajar mengendarai motor tersebut dengan sungguh-sungguh.
Hari-hari itu berjalan begitu cepat. Dari satu perpustakaan, kemudian ke museum, kemudian melompat lagi ke perpustakaan, kami bergerak cepat. Anin kadang memercayakan kepadaku untuk menyetir. Kadang juga ia mengambil alih. Kadang karena terlalu lelah, kami berganti-gantian menyetir. Jelas sekali, waktu dua hari tidaklah cukup untuk mengitari Selayar. Pulau ini mungkin terlihat kecil. Tapi ternyata panjang.
Di tengah jalan, kami sampai lagi di sebuah perpustakaan. Anin tidak habis-habisnya memberikan semangat supaya aku tidak hilang fokus dalam mencari. Anin juga mencari tahu. Walau sebenarnya ada yang menggangguku, sejak dari hari pertama kami melakukan pencarian. Mungkin, menggangu kita lebih tepatnya. Anin melanjutkan pencarian bersamaku, tapi bisa kulihat pikirannya melayang-layang ke tempat lain. Sesuatu jelas sangat membebaninya. Kadang juga bisa kujumpai Anin berlama-lama mengetik sesuatu di ponselnya. Mungkin ia masih harus mengurusi akun media sosialnya. Tapi kerutan di keningnya itu bisa terlihat jelas setiap dia mengeluarkan ponsel.
Aku benar-benar berharap bahwa hari-hari kami di Selayar bisa berjalan dengan baik. Tapi sepertinya tidak.
“Raf, lu yakin petunjuk selanjutnya ada di Selayar?”
“Gua yakin.”
“Oke,” Anin menarik napas panjang.
“Di pulau yang mana?”
“Hah?”
“Di, pulau yang … mana,” Anin bertanya, sembari memperlihatkan peta di ponselnya.
Aku mengerjap-ngerjapkan mata.
“Ini? Bukannya Selayar cuma satu?”
Anin menghela napas.
“Raf, Selayar itu kepulauan. Jadi ada lebih dari satu pulau di Selayar,” ujarnya dengan wajah madesu.
Aku memegang kepala.
“Makanya gua tanya, jangan-jangan petunjuk yang lu cari ada di pulau yang lain?”
Aku segera membuka jurnal Abigail kembali dari saku celana.
“Enggak ada petunjuk apa-apa sih di sini,” aku membaca pelan-pelan isi jurnal itu.
Barisan kalimat terakhir dari Abigail hanya menceritakan pertempuran di kompleks Meneer Toni. Satu-satunya petunjuk yang mengarahkanku ke sini adalah kalimat dari Cornelius Djikman.
Aku segera membuka ponsel.
Kupandangi foto-foto galeri di ponselku. Aku mencari segenap tenaga tentang Selayar dari buku harian Djikman yang telah kufoto. Apa pun yang bisa membantuku untuk menentukan di pulau yang mana.
“Pulau di Selayar ada berapa ya? Apa gua kunjungi satu-satu ya?”
Anin terduduk di atas kursi, lemas. Kakinya lurus terselonjor. Kepalanya terkulai ke arah tembok.
Apa aku barusan salah bicara?
“Ada seratus tiga puluh pulau,” ujarnya.
Aku jelas sekali salah bicara. “Nin, maaf banget ya. Gua jadi bikin lu capek,” aku mengelus pelan kepalanya.
“Bukan, Raf. Gua lemes bukan karena itu,” Ia memaksa menyunggingkan senyumnya.
“Ada hal lain yang bikin gua, nggak enak banget sama lu, Raf.”
Aku menatap wajahnya. Mata Anin sudah berkaca-kaca. Ia seolah bisa menangis kapan saja.
“Kok, jadi lu yang nggak enak? Gua harusnya yang nggak enak, karena nyeret lu ke dalam semua ini. Kita mau istirahat dulu? Cari makan siang dulu boleh sih,” aku masih mengusap kepalanya.
Anin mengangguk dalam bisunya.
Kami duduk di sebuah rumah makan tidak jauh dari perpustakaan. Sebuah tempat yang cukup nyaman untuk istirahat dan menenangkan pikiran sejenak.
“Anin, coba lu cerita dulu. Apa yang bikin lu nggak enak sama gua? Gua nggak papa kok. Gua yakin,” aku menyodorkan teh hangat ke depan Anin.
“Rafa,” matanya memandang ke arahku.
“Lu tahu nggak, ada berapa Kateng di Sulawesi?” Tanyanya sambil mendekatkan tangannya di teh hangat yang kusodorkan.
“Satu?”
“Ya enggaklah,” ia menjawab lirih.
“Ada banyak banget Kateng di Sulawesi. Mungkin bahkan di dunia ini ada ribuan orang bernama Kateng. Harusnya begitu,” Anin tertawa tertahan.
Entah karena tawa itu atau bukan, setetes air matanya tumpah.
“Lu bilang ke gua, kalau hidup lu jadi begini karena lukisan itu bukan? Gua belum nanya banyak soal lukisan itu. Tapi ketika lu sebut bahwa kita mencari semua nama yang berkaitan dengan nama Kateng dan Abigail, perasaan gua langsung nggak enak. Semua ini, nggak mungkin kebetulan. Gua belum berani bilang apa-apa waktu gua dengar tentang persoalan lu. Tapi kayaknya gua harus ngomong,” Anin mencoba menenangkan diri dengan menyeruput teh panas tawar itu.
Aku menyodorkan tissue untuk menyeka air matanya.
“Anin, sebenarnya ada apa? Lu ceritain aja.”
“Rafa,” ia mulai terisak.
“Gua mau ngaku,” ia menggenggam tanganku.
“Gua,” air matanya turun tidak terkendali.
Ia mencoba mengatur tarikan napasnya. “Gua adalah orang yang tinggalin lukisan itu di depan rumah mama lu.”
Hening sejenak.
Untuk sesaat aku merasa duniaku berputar. Saat mendengar kalimat itu, banyak jaringan otak milikku yang putus.
“Hah?”
Anin makin menjadi-jadi. “Maafin gua, Raf. Gua nggak tahu kalau karena lukisan itu, hidup lu jadi begini. Gua orang yang udah ngancurin karir lu di UNESCO. Gua yang ngancurin nama baik lu, hidup lu. Gua tahu gua nggak bisa dimaafin, tapi gua mau lu tahu kalau gua bener-bener minta maaf. Gua sebenarnya udah tahu sejak pertama kali lu cerita. Apa jangan-jangan lukisan Abigail itu adalah barang yang gua tinggalin waktu gua ke Belanda. Ternyata, memang betul,” Anin menarik napasnya yang tercekat.
Ia sekarang butuh lebih banyak lembaran tissue.
Orang-orang di sekitar kami memandangi. Aku merasa ditombak oleh tatapan curiga oleh para pengunjung restoran.
“Oke, tenang dulu ya, Nin,” Aku menyodorkan lebih banyak tissue.
“Tapi … hah? Apa? Gimana ceritanya dah? Hah? How? Kenapa bisa kaitannya jauh banget gini dah?”
Ya, sudah kubilang. Koneksi-koneksi di pikiranku terputus. Bagaimana caranya menjembatani semua hal ini?