Angin malam berembus pelan, membuat pohon-pohon Damar di area kebun bergoyang. Tidak hanya damar yang tumbuh di sana, pohon Sengon dan Jati Belanda ikut bergoyang, mengikuti arah angin berembus. Bulan September, angin malam perlahan berubah bak angin musim dingin. Sekonyong-konyong hembusannya membekukan apa pun yang disentuhnya. Tak terkecuali Kateng dan Abigail yang sedang duduk-duduk di depan teras rumah Cornelius Djikman.
“Jadi apa yang akan kau lakukan setelah ini?” Tanya Kateng kepada gadis Belanda yang berada di sebelahnya.
“Aku tidak tahu. Aku hanya mengikutimu ke sini,” Abigail berujar sejujurnya.
Mereka duduk agak berjauhan, dipisahkan oleh sebuah meja kecil yang dibuat oleh pengrajin kayu dari Jawa.
Kemarin adalah hari traumatis untuk mereka berdua, menyaksikan teman mereka terbakar hidup-hidup karena serangan bajak laut, bukanlah hal yang mereka bisa lupakan begitu saja. Cening sudah begitu baik kepada mereka. Perpisahan yang tragis itu membatu di dalam diri mereka. Kateng membutuhkan teman untuk menumpahkan isi hatinya. Terlebih lagi Abigail. Mereka mengenang Cening. Abi bahkan sampai menangis. Namun sekarang, mereka sudah lebih lega.
“Kita sudah bebas sekarang. Tidak ada lagi yang perlu kita takutkan. Bombang sudah tewas. Kau tidak perlu takut lagi,” Kateng membetulkan posisi kacamatanya.
“Aku, aku tidak takut,” gadis itu menjawab ragu-ragu. Dia tidak tahu apa yang membuatnya menjawab seperti itu.
“Aku yang seharusnya bertanya, setelah ini apa yang akan kau lakukan?” Abigail memilih untuk mengalihkan topik pembicaraan ke arah yang lain.
“Aku akan tinggal di sini, tidak tahu akan sampai kapan. Tapi yang pasti, aku akan melukis dan membalas utang budi yang kumiliki pada Tuanku, Cornelius Djikman.”
“Aku cukup kaget ketika dia menamparmu kemarin,” Abigail tergelak tertawa.
“Kau pikir aku tidak?” Kateng ikut tertawa.
Untuk sesaat, mereka bisa tertawa. Seolah beban berat yang berada di pundak mereka telah lepas, mereka merasa inilah bebas. Mereka aman. Bagaimana pun, Rotterdam Fort adalah pusat dari pemerintahan Belanda di area Sulawesi.
“Bagaimana kalau kau juga tinggal dulu di sini? Sebenarnya, kau juga tidak punya tujuan bukan?” Kateng bertanya, menyandarkan diri pada kursi.
“Hmmm,” Abigail menatap ke arah langit malam.
“Aku hanya ingin untuk sampai ke sini. Tidak ada keinginan yang lain. Yang Aku tahu bahwa berada di sini jauh lebih baik daripada berada di Belanda,” Abigail melipat tangannya. Sedikit bergidik karena dingin.
“Aku tidak mengerti. Kenapa kau justru ingin berada di sini? Bukankah Belanda memiliki semuanya?”
“Tidak juga. Negara itu memiliki segalanya, namun tetap merasa kosong. Itulah yang kulihat dari mereka. Semua permainan politik mereka didasarkan atas nama keserakahan yang tidak akan pernah cukup bahkan jika Tuhan datang. Coba katakan kepadaku, berapa lama VoC berada di Hindia? Katakan kepadaku, berapa kali mereka bolak-balik melakukan pelayaran di jalur rempah?”
“Aku tidak tahu. Tapi ketika aku lahir, mereka masih menguasai kampungku.”
“Ratusan tahun mereka berada di sini. Mereka mengeruk kekayaan dari tanah-tanah orang lain di berbagai negeri. Tapi mereka tidak pernah puas. Aku belajar sesuatu dari ayahku dulu. Semakin banyak harta yang kau miliki, maka semakin miskin kau akan merasa. Semakin banyak kau mengambil hak orang lain, maka semakin gila kau akan terus mengambil. Orang-orang miskin di sini pun, diperlakukan demikian.”
Seharusnya Kateng menggali lagi tentang ayahnya Abigail. Tapi ia mengurungkan niat itu, mengganti pertanyaan itu dengan pernyataan.
“Aku kira kau tidak peduli terhadap kesejahteraan orang-orang di sini.”
“Mereka juga adalah manusia yang diciptakan Tuhan Kateng. Imago dei.”
Kateng terdiam sejenak, tidak bisa melanjutkan pembicaraan karena dua hal. Satu, tidak tahu arti Imago dei. Dua, dia tidak bisa berhenti untuk tidak mengagumi Abigail. Gadis ini jelas berbeda. Ia memiliki pandangan yang begitu mulia. Tidak seperti orang-orang Belanda yang lain.
“Jujur, dari semua hal, aku menginginkan hidup di sini dengan sejahtera dan damai. Aku bisa bilang bahwa ini bisa menjadi perhentian yang baik di hidupku. Tetapi, aku tidak bisa melakukannya. Aku tahu, kau juga. Ada hal yang sama-sama harus kita lakukan,” Abigail menatap pemuda di sampingnya.
Kateng tidak mengerti, apalagi yang mereka berdua harus lakukan?
“Kau tidak tahu?”
“Apa?”
“Menyelamatkan orang-orang yang ditawan Bombang,” Abigail menuntaskan kalimatnya sembari memeluk tubuh lebih erat karena dingin.
“Bombang sudah tewas,” Kateng menjawab ketus.
“Apa kau tidak ingin menyelamatkan pamanmu?”
“Tidak terlalu. Bagaimana pun juga, ia hampir melukaimu kemarin.”
Mendengar itu Abigail bersedekap tangan.
“Mengapa hal itu mengganggumu?”
Kateng menimbang-nimbang, apa yang harus dikatakannya sekarang. Ia tidak pernah betul-betul menjawab pertanyaan seperti itu. Ketika ia bertanya pada dirinya sendiri tentang Abigail, pikiran pria itu berputar-putar. Ia tidak ingin menjawab. Ia tidak ingin mengatakan apa pun. Namun saat ini, sebuah pistol pertanyaan teracung padanya.
“Karena, karena kau adalah penyelamatku,” jawab Kateng sekenanya.
Bukan jawaban yang baik, Kateng berpikir di dalam hati.
“Sungguh?” Intonasi bicara gadis itu melengking sedikit.
Kemudian diikuti dengan tawa terbahak-bahak. Abi tertawa sampai memegangi perutnya.
“Kau ini seperti anak kecil. Tentu saja paman itu tidak bermaksud menyakitiku.”
“Tapi ia mengancammu dan bisa menembakmu kapan saja. Juga, Cening. Begitu juga dengan Meneer Toni. Kuharap ia baik saja.”
“Aku juga berharap demikian. Tapi kita tidak pernah tahu siapa yang bisa keluar dari pertempuran itu hidup-hidup. Pamanmu akan mati jika tidak menuruti Bombang.”
“Ia pasti masih hidup. Pertempuran bergeser jauh dari pemukiman.”
“Entah kenapa, justru di tengah pertempuran itu pamanmu menghilang.”
“Ya, aku juga tidak tahu ia kemana.”
“Bagaimana kalau kita menyelamatkannya, jika ia masih hidup?”
“Tidak akan. Aku tidak ingin membahayakan dirimu.”
“Kau kira aku ini seorang gadis kecil? Oke, kita sudah sepakat. Ayo kita selamatkan semua orang di dalam kapal itu,” Abigail terus mengutarakan keinginannya dengan nada mengejek.
“Aku tidak ingin meresikokan apa pun. Di sini kau aman. Jika harus ada yang menyelamatkan mereka, maka kita bisa meminta bantuan dari Djikman. Ia memiliki tentara. Kita tidak. Ia bisa menyerang mereka semua sekaligus dan membuat keadaan kita lebih aman.”
Kateng menyudahi percakapan. Di sini, jelas logika Kateng berjalan dengan sangat baik. Ini membuat Abigail juga bisa berpikir lebih jernih. Tidak bisa meresponi kalimat itu, Abigail terdiam mematung. Ia tahu ia harus berdebat lagi, tapi tidak ada yang bisa keluar dari mulutnya.
“Kau ini seperti anak kambing yang dulu kupelihara di rumah Indoku,” Kateng tahu-tahu berujar.
Abigail mengkerutkan kening.
“Kau bilang wajahku mirip kambing?”
“Aku tidak bicara soal wajahmu. Tapi, apa kau merasa mirip kambing? Haruskah aku meminta indoku untuk membawakanmu sayur-sayuran saja besok? Coba mengembik,” Kateng meledek tanpa ekspresi.
“Kau keterlaluan,” Abigail mendengus kesal.
“Lihat caramu mendengus. Kau mirip sekali dengan kambingku dulu.”
“Sebenarnya kita lagi bicara apa sih?”
“Aku juga tidak tahu. Aku kedinginan, ini sudah malam. Aku lelah. Aku tahu kau lelah juga. Ayo kita tidur,” Kateng bangkit berdiri, sudah beranjak masuk.
“Tunggu,” Abi juga berdiri, menyusul pria itu.
Sekarang teras rumah mereka sepi. Tapi suara mereka terdengar selintas dari dalam ketika mereka berjalan-jalan di dalam rumah itu.
“Kenapa aku mirip kambing?”
“Kau suka menyeruduk tanpa alasan. Kadang kau juga mengembik. Begitulah dirimu,” Kateng berkomentar tanpa menatap wajah gadis itu.
Gadis itu memandang punggung pria Bugis itu dengan jengkel. Entah darimana datangnya keinginan itu, tapi sekarang ia jadi ingin menyeruduknya dengan segenap tenaga. Wa;au kemudian keinginan itu ia urungkan.
Hari-hari berjalan dengan lancar. Kateng banyak beristirahat supaya ia bisa lebih cepat pulih dari luka-lukanya. Beberapa kali Djikman mengatakan betapa beruntungnya dirinya karena dari sekian banyak hal yang telah melukainya, sepuluh jari tangannya tetap aman dan lengkap. Meski begitu, Kateng hanya bisa menatap ke sembilan jari kakinya.
Setiap harinya, Kateng akan mengobrol dengan Djikman dan ibunya. Ia sangat merindukan ibunya. Ibunya sudah pasti begitu.
“Indo, sudah jangan repot-repot. Aku bisa mengurus diri sendiri,” Kateng berujar ketika melihat ibunya yang sedang mengambilkan makanan.
“Kau harus makan yang banyak. Lukamu harus segera pulih.”
“Iya, tapi aku barusan saja makan,” Kateng berkelit, mendebat.
“Sudahlah, makan saja. Kau pasti tidak makan dengan baik selama jadi tawanan. Ajak juga gadis Belanda itu. Siapa namanya?”
“Abigail, bu. Panggil saja dia Abi.”
“Iya, Abi.”
Entah di hari ke berapa, Kateng sadar juga bahwa hubungan antara Indonya dengan Djikman lebih spesial dari yang ia duga. Ia tidak menyangka bahwa Djikman ternyata menyimpan perasaan pada ibunya. Ia tidak tahu juga bahwa ibunya juga menyukai pria Belanda itu. Permasalahannya adalah keluarganya yang tidak diurusnya lagi itu, yang berada di Batavia. Hal terbaik yang dilakukan Djikman sebagai seorang ayah adalah mengirimkan mereka uang.
Permasalahan yang lain adalah tuntutan sosial dari kalangan orang–orang Belanda di sekitar mereka. Jika mereka tahu Djikman sudah membangun keluarga dengan orang pribumi di sini, pasti mereka semua mengkerutkan kening. Djikman tidak pernah terang-terangan mengakuinya di depan semua orang, walau pembantu terdekat di rumah Djikman mengetahuinya. Mereka selalu tutup mulut, tidak pernah membahas keluarga Djikman baik yang baru atau yang lama. Begitu juga Djikman.
“Kita sudah sepakat, itu adalah halaman yang ia tutup rapat-rapat,” ujar ibu Kateng, suatu ketika saat mereka sedang berjalan-jalan di luar.
Kateng harus mendapat sinar matahari untuk pulih. Abigail membantu memapah Kateng untuk berjalan.
“Aku tidak pernah menanyakannya terlalu banyak lagi setelah ia juga tidak menghiraukan mereka. Untuk diriku, yang terpenting adalah keselamatanmu, aku, dan kesejahteraan hidup kita berdua,” perempuan Bugis itu kemudian memeluk anaknya yang berdiri di sampingnya.
“Tapi itu berarti indo akan selalu berada di sini. Apakah itu hal yang indo mau?” Kateng lanjut bertanya.
“Jika itu berarti keamanan untuk kita berdua, aku bisa tinggal di sini selamanya, Kateng.”
Mendengar hal itu, Kateng sadar bahwa komitmen indonya sudah mantap.
Menjadi seorang pribumi yang hidup berdampingan dengan seorang pejabat Belanda, jelas akan menimbulkan banyak perdebatan di kalangan pemerintahan Belanda. Djikman juga mengetahui hal tersebut. Tapi dari luar, Langi terlihat layaknya pembantu rumah tangga pada umumnya. Siapa sangka, pria Belanda itu berakhir memilih wanita Bugis tersebut ketimbang istrinya sendiri. Hal yang tidak pernah dibayangkan Kateng seumur hidupnya. Bagaimana bisa seorang Belanda dan seorang pribumi bersatu seperti ini? Tapi ketika ia memikirkan soal Abigail, ia juga tidak bisa mendebat terlalu banyak. Seperti biasanya, pikirannya akan menyuruhnya berhenti berpikir jika bicara soal gadis itu.
“Kau juga, Abi. Aku berharap juga kau bisa aman berada di sini,” Langi memandang lurus ke arah Abigail.
“Ummm, terima kasih banyak untuk perhatiannya, nyo-nyonya,” Abigail ragu-ragu memanggilnya nyonya.
“Panggil saya Indo saja. Seperti Kateng,” perempuan muda itu tertawa, tersenyum hangat ke arah Abigail.
Abigail balas tersenyum juga. Tetapi keramahtamahan itu lebih seperti ujung tombak yang dingin, yang diasah ibunya di depannya. Setidaknya belum digunakan untuk saat ini. Abigail tahu ada maksud lain dari pernyataan ibu Kateng.
“Kau pasti sangat kesulitan selama ini. Istirahatlah dulu di tempat ini selama beberapa saat. Aku yakin di sini, engkau akan menemukan sebuah tempat yang tidak pernah kau temukan sebelumnya sepanjang kau berada di Hindia. Kau akan aman di sini. Djikman memiliki semuanya untuk melindungi kita,” wanita itu mengusap lengan Abi.
Pernyataan itu membuat Abigail agak tertegun. Betapa percayanya perempuan Bugis ini kepada seseorang yang telah menjajah, mengambil alih lahan, dan memperbudaknya. Tetapi hal itu tidak mengapa. Karena setelah waktu yang cukup lama, Abi menyadari bahwa yang diinginkan oleh ibu Kateng, hanyalah sebuah tempat dimana ia bisa menghabiskan masa tua tanpa harus khawatir tentang apa pun.
Hari-hari berjalan dengan sangat baik. Kateng bisa melukis lagi. Abigail bisa menulis. Langi yang tidak terbiasa berdiam diri tidak melakukan apa-apa, akan melakukan semua hal untuk memastikan rumah tetap dalam kondisi rapih dan terjaga. Djikman bertugas mencari uang. Seakan keempat orang yang awalnya tercecer, terpisah itu, menjadi satu keluarga yang utuh dan harmonis.
Djikman mungkin tidak terlalu menunjukkannya, tapi ia ikut andil dalam bertumbuhnya Kateng. Kateng diperlakukan seolah anaknya sendiri. Mungkin di saat ia menghilang, sering ia bayangkan betapa banyaknya hal yang tidak dilakukannya dengan Kateng saat ia masih ada. Beberapa hal yang seharusnya dilakukan antara ayah dan anak, yang ironisnya tidak dilakukan dengan anak kandungnya sendiri, semata karena alasan bahwa Kateng lebih sefrekuensi dengannya. Mereka bisa bercakap-cakap sampai malam tentang lukisan, tentang dunia di luar Hindia, tentang kenangan masa lalu yang kelam dari masing-masing pribadi, tentang impian terdalam, tentang perang Napoleon, tentang perang yang terjadi di Inggris, tentang opium, tentang jenis tembakau yang tumbuh subur di Hindia, tentang sejarah, sampai tentang masyarakat lokal. Di topik yang terakhir, ada perbedaan pandangan yang mencuat.
“Akan ada masanya dimana masyarakat lokal akan menjadi lebih baik,” ujar Kateng.
“Iya, tapi jika pun mereka menjadi lebih baik, mereka masih berada di bawah kekuasaan Hindia-Belanda. Negara ini membuat bangsa-bangsa jajahan menjadi lebih maju dengan berkembangnya pengajaran ilmu pengetahuan.”
Kateng dan Cornelius Djikman duduk di dalam ruang tamu. Waktu sudah menunjukan pukul sepuluh malam. Mereka sibuk mengobrol setelah waktu makan malam.
“Tetapi kebanyakan orang menjadi pengerja lahan, kalau tidak mereka menjadi pesuruh, pembantu, atau kuli. Apakah mereka belajar sesuatu dari Belanda?”
“Mereka memilih untuk tidak memanfaatkan keadaan mereka dengan baik. Belanda bisa menjadi seperti ini, karena kami memajukan keadaan.”
“Mereka hanya tidak memiliki kesempatan, bukan?” Kateng berkelit, mencoba beralasan.
Djikman tertawa cekikikan. “Di tanah seperti ini? Di tempat dimana tongkat kayu ditancapkan dan bisa menjadi cassave[1]? Di tempat di mana orang bisa menjaring ikan dimana-mana? Satu-satunya alasan mengapa Hindi berada di bawah kekuasaan Belanda adalah karena mereka tidak memiliki kemauan untuk maju. Sama seperti orang Amerika Latin, Sri Lanka, dan Cina. Jika mereka mau, mereka bisa. Jangan lupakan mereka bahkan hanya memiliki dua musim di sini. Kesusahan apa yang mereka alami sehingga mencegah mereka untuk belajar? Di Eropa, musim dingin selalu menghantam keras kerajaan. Tapi kami bisa berkembang dan menjadi lebih baik. Katakan kepadaku Kateng, alasan apalagi yang orang-orang ini miliki selain karena kemalasan mereka?”
Kateng tidak bisa menemukan kata-kata. Ia terdiam sejenak. Setelah kemudian menghela napasnya panjang.
“Betul. Mungkin, karena … karena mereka belum terpikirkan apa pun?” Kateng menjawab. Sebuah jawaban yang lebih mirip pertanyaan.
Mungkin bukan mereka yang belum terpikirkan apa pun. Mungkin Kateng yang belum terpikirkan apa pun.
“Karena mereka malas berpikir,” Djikman bangkit dari kursinya dan berjalan santai di ruang tamu itu.
Ia menghadap ke arah jendela. Ke arah dimana langit malam bercahaya di bawah pendar redup dari purnama. Ia menggoyangkan gelas anggurnya.
“Kateng, setelah melihat keadaan orang-orang di sini, aku sudah tahu sejak awal. Kelemahan orang-orang ini, yang berada di Celebes, atau Batavia, atau di Borneo, atau bahkan di Ternate, dan Tidore. Mereka sama saja. Orang-orang ini punya banyak perbedaan. Jika kau berjalan sedikit saja dari sini ke area Celebes Utara. Apa yang akan kau dapatkan? Perbedaan. Perbedaan itu membuat orang curiga. Perbedaan membuat orang berprasangka. Bahasa, suku, dan ras yang berbeda dapat dirasakan hanya dengan jalan sedikit saja. Perbedaan itu tidak hanya perbedaan antar pulau, tapi juga antar desa dan kota. Mereka tidak akan pernah bersatu karena sejak awal mereka tidak pernah ditakdirkan bersama.
“Apa kau pikir, jika seandainya ada suatu keajaiban yang membuat kami pergi dari Celebes, orang-orang di sini akan hidup baik-baik saja? Kau tidak mengira bahwa akan ada lagi orang dari kerajaan di Utara Celebes, atau Java, atau Borneo yang akan mendatangi tempat ini? Tempat ini akan langsung diserang untuk diambil alih. Selama apa pun kekuasaan yang berada di Zuiden Celebes, itu tidak akan bertahan. Karena pada hakekatnya, Kateng,” Djikman menghampiri pemuda yang masih terdiam itu.
“Manusia selalu ingin menguasai yang lebih lemah. Di dunia ini, kau hanya akan menjadi yang mengancam atau terancam. Belanda mengetahui itu. Eropa mengetahui itu. Itulah mengapa kami membangun banyak hal untuk membuat kami semakin kokoh. Kami tidak ingin diancam. Lebih baik bagi kami untuk mengancam, menodongkan kekuatan itu pada orang-orang yang berada di bawah. Kami adalah sumber kekuatan yang menyatukan orang-orang ini di bawah pemerintahan yang teratur. Perbedaan di tempat ini adalah sumber kekacauan. Tapi jika semua orang mengetahui bahwa mereka hanya perlu takut dan patuh di bawah satu kekuasaan, mereka bisa dikendalikan.”
Untuk sejenak, Kateng merasakan ada kuasa dari kalimat itu. Kalimat tajam dan dingin seperti pisau es yang diutarakan oleh Djikman, yang bisa ia rasakan berasal dari sebuah perasaan terdalam darinya.